Toraja di Waktu Senja yang Hujan

oleh -67 kali dilihat
Ilustrasi-hujan
foto-etsy.com
Ilham Aidil

“Di sini kita bisa hidup lebih tenang dan menikmati hijaunya perbukitan.”

Sepasang suami istri itu memutuskan untuk bertani setelah masa pensiunnya tiba lebih awal. Halim, ia pensiunan dokter sedang istrinya, Ratmi, bekas karyawan bank—perempuan itu usianya lima belas tahun lebih muda dari Halim.

Setelah bertahun-tahun lamanya tinggal di kota, mereka memutuskan kembali ke kampung halamannya. Sudah lelah menghirup udara kota yang sesak dan banjir yang selalu berulang tahun di rumahnya.

Lelaki berusia 56 tahun lewat beberapa hari itu ingin menikmati masa tuanya. Hidup dengan suasana yang baru. Menikmati desau angin dan kesejukan alam Rumbia. Dengan begitu ia merasa bahagia dan jauh dari kesan mewah.

KLIK INI:  Bercocok Cinta di Gelombang

Bersama istrinya, lelaki itu mengolah lahannya yang selama ini tidak terurus. Mereka ingin hidup lebih sederhana. Banyak yang menawarinya untuk jadi kepala desa. Tetapi ia menolak. Tidak ingin pusing lagi dengan kerja-kerja kepala yang menguras banyak pikiran dan mengurus anggaran untuk pembangunan desa.

Barangkali ia ingin seperti Marah Roesli, penulis buku Siti Nurbaya. Tapi siapa menyangka ia banyak menulis Cerpen di media-media lokal, yang selalu ditungguinya setiap akhir pekan. Meski namanya selalu muncul di koran, tetapi tidak ada yang mengenal dirinya. Lebih memilih nama samaran.

Ia suka menikmati kopi dan membaca di pagi hari. Di kota ia masih bisa berlangganan dengan loper koran yang biasa mengantarkannya di pagi hari, tetapi di sini, sebagai gantinya ia membaca buku-buku.

Di rumahnya ada banyak buku-buku yang dikoleksinya selama dua puluh tahun, yang harapannya bisa membuat perpustakaan untuk masyarakat di desanya. Salah satu impiannya yang belum terwujud. Lelaki itu di sela-sela waktunya suka menulis. Bukan sebagai pekerjaan tetap sebagai hobi. Hanya orang gila yang bisa bertahan hidup dengan menulis. Jika ada bisa dihitung jari dan cukup beruntung.

Sambil menyeruput kopi susu dan mencicipi singkong rebus buatan istrinya, Ratmi, lelaki berkacamata itu membaca buku tentang proses tanam jagung. Ia banyak berkonsultasi dengan pendamping lapangan dari perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Tetapi ada beberapa hal yang membuatnya tidak cocok. Penggunaan bahan aktif kimia yang berlebihan pada tanaman, yang bisa merusak tanah dan lingkungan. Ia tidak ingin bertanam hanya untuk mencari keuntungan. Bukan itu yang ia cari. Ia memilih membuat pupuk alami, pengomposan dari daun-daun kering dan kotoran hewan.

KLIK INI:  Pohon Seribu Tahun

Dan juga ia tidak ingin menebang pohon yang sudah bertahun-tahun lamanya itu, ia hanya memanfaatkan lahan yang bisa saja, untuk bercocok tanam tanpa harus mengorbankan pohon-pohon lainnya.

Musim hujan datang terlambat setelah hampir satu semester dihantam badai El Nino. Banyak petani yang mengeluhkan nasib mereka. Ladang tidak dapat ditanami, kering dan tandus. Di sanalah sumber kehidupan para petani. Bagaimana bisa mereka bertahan hidup, jika musim tanam tidak kunjung tiba. Tidak ada yang bisa dinanti sedang asap dapur harus tetap mengepul.  Bantuan sosial tidak bisa menyelamatkan dari lapar lebih lama, itupun sudah dipotong untuk kebutuhan administrasi. Tetapi bagi sebagian petani, masih bisa bertahan, situasi sulit sudah biasa dilewatinya. Masih tetap bisa menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi tanpa harus mengiba pada pemerintah.

Sepasang suami istri itu menghabiskan waktu hampir sepuluh hari menanam jagung di kebunnya. Setelah di hari-hari sebelumnya sudah dibersihkan dari rerumputan dan tanaman pengganggu lainnya serta tanah yang telah digemburkan. Berbekal pengetahuan yang didapatnya dari buku yang dibacanya, nonton YouTube dan saran dari orang-orang, ia memberanikan diri menanam jagung meski di hari-hari pertama dibantu oleh orang yang diberikannya upah. Pengalamannya masih minim. Terakhir kali ia menanam jagung saat masih kecil. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Lebih terbiasa memegang pulpen.

Sepasang suami istri itu seperti memasuki kehidupan yang baru. Kucuran keringat dinikmatinya. Istrinya yang orang kota itu seperti tumbuh kembali sebagai anak remaja di mata lelaki berkacamata itu. Sekilas wajah istrinya tidak banyak yang berubah. Masih cantik dan putih. Saat melihat istrinya tersenyum, lelaki yang kini dihinggapi uban di kepalanya itu bagai pemuda desa yang tampan. Tubuh yang seharusnya sudah rapuh itu menjadi tampak lebih segar. Mereka bercakap ria. Saya yakin penghuni Desa Rumbia ini juga akan tersenyum. Pepohonan, serangga, burung-burung dan binatang lain yang melihatnya akan bersiul.

KLIK INI:  Seperti Pernah

Jika di belahan bumi yang lain ada musim semi, di mana bunga-bunga bermekaran indah dan hangat, maka di sini ada musim hujan yang dingin dan gerimis, yang membuat tanaman hijau dan bernapas panjang. Sepasang suami istri seperti menikmati kedua musim itu di waktu yang bersamaan. Tidak ada yang berubah senyum istrinya masih sama saat ia pertama kali melihatnya. Tulus dan lembut.

Segala upaya dilakukan lelaki itu untuk membahagiakan istrinya. Tidak pernah kekurangan. Selalu berkecukupan. Semua kebutuhan istrinya terpenuhi. Jika ingin ke Singapura, Turki dan berkeliling Eropa bisa ia penuhi. Tapi siapa yang menyangka Istrinya di usianya yang sekarang masih kerap dihantui perasaan sedih dan sepi ditinggal suaminya ke luar kota di tahun-tahun yang telah berlalu dan ada hal yang selalu mengusik pikirannya. Dipendamnya. Ia tumbuh bagai bunga mawar yang tidak tersentuh. Mekar dan mewangi.

KLIK INI:  Sajadah Subuh di Akar Walenreng

Sepasang suami istri itu bergegas membersihkan tubuh yang berkeringat berlumpur bercampur hujan setelah pulang dari kebun. Dalam suasana sore, Ratmi masih sempat membuat secangkir kopi dan pisang goreng untuk suaminya. Rasa dingin seperti lenyap. Tetapi ada keheningan yang pecah ketika sang istri menikmati pisang goreng bersama suaminya itu.

Tidak pernah terpikir bagaimana hujan yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang layu dan aromanya yang khas itu bisa membawa dirinya kembali pada hari-hari yang diam-diam terluka. Ada sesuatu yang meruntuhkan keikhlasannya. Ia berupaya mereka ulang setiap kebersamaan yang telah dilaluinya. Namun bagaimanapun, tidak dapat dipungkirinya, sebagai perempuan yang telah lama menikah, Ratmi mendambakan anak dari suami yang tidak bisa memberinya keturunan. Kemampuan bercocok tanam di kebun tidak sebaik di kehidupan rumah tangganya. Mandul.

Sore yang hujan, tatapan Ratmi yang selalu kelihatan manja kini menjadi perbincangan di kampung. Termasuk pemuda pendamping petani di lapangan yang sering mampir ke rumahnya ketika suaminya pergi ke kebun.

KLIK INI:  Hujan Hijau

Di ruang yang sederhana, hanya ada satu meja dan kursi sofa tua, mereka leluasa bertatap muka tanpa pengawalan. Kelihatan pemuda itu masih seumur jagung baru selesai dari bangku kuliah dari jurusan pertanian. Belum ada pikiran untuk masa depannya. Seperti ranting pohon kersen yang tertarik, mudah patah, pemuda itu terperangkap dalam pandangan mata Ratmi yang masih bening.

Dalam suasana dingin dan segalanya terjadi begitu saja. Lamat-lamat, ia menahan rasa dan hasratnya. Tetapi Ratmi tidak kuasa memberontak. Menahan badai dalam dirinya. Hatinya digempar debar yang tidak beraturan.

Pipi Ratmi memerah. Akhirnya pemuda itu mendaratkan ciuman di bibir Ratmi hingga mereka saling melempar ciuman dan merekatkan pelukan di kursi tamu sebelum akhirnya mereka berpindah ke kamar yang berdinding tripleks membuat papan berderik berbunyi. Jendela tertutup rapat. Hujan makin deras dan suasana kian sunyi. Tidak ada masalah, tidak ada orang yang akan tahu, tidak akan ada yang mendengar.

Hujan terus menderas, perempuan itu mengikuti kata hatinya yang selalu diselimuti rindu dan sepi. Ia sudah lama merindukan kehangatan dari lelaki, yang tidak pernah didapatkan dari suaminya. Digarap dan ditanamilah lahan yang telah basah oleh pemuda itu. Tidak ada gentar. Ia seperti menemukan Savana yang indah dengan bunga-bunga yang bermekaran. Tidak ada ilalang. Terobatilah segala rindu Ratmi yang telah diinginkannya sejak lama.

KLIK INI:  Surat Hujan

“Pulanglah.”

“Tetapi,”

“Sebentar lagi suami saya akan pulang.”

“Tetapi,”

“Temui saya lagi kembali dan bawa saya pergi dari sini.”

“Saya mencintaimu Ratmi.” Ucap lelaki itu dengan tulus.

Ratmi hanya tersenyum mengantar lelaki itu menuju anak tangga rumahnya.

***

DUA bulan kemudian. Pemuda itu membawa Ratmi pergi dari rumahnya meninggalkan suaminya. Mereka berpisah. Tinggallah Halim sendiri dengan hari-hari yang sunyi dan menikmati puisi Sapardi Djoko Darmono, Hujan Bulan Juni.

Ratmi dan lelaki yang kini bersamanya mencari suaka di tempat yang lain di Toraja. Belakangan ternyata terungkap sebuah rahasia. Bekas suami Ratmi memiliki dua perasaan yang berbeda. Ia menyukai perempuan, namun lebih menyukai laki-laki.

“Di sini kita bisa hidup lebih tenang dan menikmati hijaunya perbukitan di waktu senja.” Ucap pemuda yang bernama Faldi kepada Ratmi. Bukan pemuda lagi. Kini mereka menjadi sepasang kekasih yang diakui oleh agama dan dilindungi oleh negara.

Di Toraja mereka membuka Kedai Kopi Toraja dan leluasa menikmati hijaunya perbukitan.

KLIK INI:  Rumah Pohon Alea