Gadis Iklim

oleh -21 kali dilihat
Ilustrasi gadis kecil
Ilustrasi gadis kecil-foto/Pixabay
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Ketika pentungan polisi menghantam kepalaku. Tetiba wajah girang Awanara sedang mengepung ingatanku.

Ingatan sangat nyata. Saat itu, pagi sedang hujani gerimis. Awanara tak pergi sekolah. Ia sedang batuk-batuk. Aku yang tiba dari Makassar tengah malam. Tak sempat bertemu dengannya. Dia telah tidur.

“Jangan bangunkan, dia baru saja tidur,” kata Ayah.

Aku patuhi saran Ayah. Setelah cuci muka. Aku ke kamar. Kantuk juga menguasai mataku. Di mobil, aku tak bisa tidur. Selalu begitu setiap naik mobil.

KLIK INI:  Bunga Badaria di Musim Hujan

Aku lebih suka naik mobil penumpang daripada bawah motor atau mobil sendiri ketika pulang kampung. Kebiasaan itu bermula ketika aku bergabung dengan media yang fokus pada isu lingkungan hidup.

Menggunakan kendaraan umum, sebuah upaya sederhana mengurangi polusi udara—lebih ramah lingkungan.

Ketika Awanara dibangunkan oleh batuknya jelang subuh. Dia tak lagi tidur. Aku samar-samar mendengar dia membongkar semua barang bawaanku. Yang lebih banyak buku.

Buku-buku yang kubawa itu kebanyakan buku tentang lingkungan dan buku-buku kiri. Buku-buku itu akan membantu liputanku tentang Anoa, satwa endemik Sulawesi yang pernah dianggap punah. Mereka hidup di sekitar Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng.

Aku juga membawa beberapa poster dari para pejuang lingkungan. Sebagai motivasi. Greta Thunberg salah satunya. Aku mengagumi gadis asal Swedia itu. Ia adalah pejuang iklim yang gigih. Tak kenal takut. Tak malu kehilangan kulit glowingnya.

Ia mulai berjuang seorang diri. Bolos sekolah saat usianya masih belia, 12 tahun. Bukan bolos untuk main game, tapi untuk berdemo seorang diri di depan kantor Parlemen Swedia—menuntut para politisi dunia melakukan lebih banyak hal untuk melestarikan lingkungan.

KLIK INI:  Seiring Perubahan Iklim, Pencurian Air oleh Korporasi Besar Merajalela

Gerakannya itu, kemudian diikuti oleh anak-anak sekolah di  seluruh dunia. Mereka membolos untuk menyuarakan isu perubahan iklim. Demi lingkungan Lestari, demi masa depan.

Gerakan yang dimulai  2018 itu mendapat ganjaran, pada 2019  Thunberg dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Thunberg jadi idola baru, jumlah siswa yang ikut serta mogok sekolah mencapai lebih dari 2 juta orang di 135 negara.

Saat Awanara menemukan poster gadis Swedia itu. Ia berlari ke kamarku. Berteriak. Girang sekali. Ia mengira itu adalah foto itu, meski mereka berdua jauh dari kata mirip.

KLIK INI:  Masih Ada Ribuan Spesies Pohon yang Belum Ditemukan

“Om, ini siapa?” tanyanya lantang. Aku yang setengah sadar antara tidur dan tidak, kaget dibuatnya.

Ia menyalakan lampu kamar. Membangunkanku dengan paksa.

“Ini siapa, kenapa mirip denganku?” tanyanya

“Itu ada namanya, bacalah!”

Greta Thunberg,” bacanya

“Apa yang dilakukan?” tanyanya lagi

“Protes pada pejabat,” jawabku. Singkat saja.

Aku bangun, membuka tas lalu mengeluarkan majalah Time edisi 2019  yang menobatkan Thunberg sebagai salah satu  orang paling berpengaruh di dunia.

Awanara terkagum-kagum. Ia membuka gawainya, mencari berita tentang gadis itu. Lalu dengan bangga berujar, “Aku akan ke penyulingan daun cengkeh Pak Nurhalodo berdemo,”.

Dan benar saja. Batuk menghalanginya ke sekolah, tapi tak menghalanginya berdemo seorang diri. Ia membawa poster Thunberg dan sebuah tulisan “Berhenti membunuh kami dengan Asap,”

Ayah kaget, orang tua Awanara pun begitu. Tatapan mereka mengarah padaku dengan penasaran.

KLIK INI:  Destinasi Pepohonan
 Awanara melawan

Aku pikir ponakanku itu hanya bercanda. Namun, begitu orang-orang geger dengan apa yang dilakukannya. Aku berlari ke penyulingan daun cengkeh Pak Nurhalodo. Benar saja Awanara berdiri di sana membentangkan poster Thunberg dan tulisan protesnya.

Bila ada yang harus disalahkan. Akulah orangnya. Karena akulah Awanara membuat kekacauan di pagi hari. Saat orang-orang bersiap beranjak hendak ke kebunnya.

Awanara sepertinya telah sangat muak dengan Pak Nurhalodo. Mantan kepala sekolah di sekolahnya yang dua tahun lalu telah pensiun.

Dari kelas satu hingga kelas empat SD, Pak Nurhalodo selalu mengajar Awanara. Awalnya dia kagum pada gurunya itu. Sebab suka membagikan permen kepada muridnya dan tak suka memberi tugas pekerjaan rumah.

Namun, segalanya berbalik arah. Saat Awanara kelas lima SD. Pak Nurhalodo mendirikan penyulingan daun cengkeh.

Penyulingan itu didirikan di tengah pemukiman. Tepat di pinggir jalan. Sejak adanya penyulingan daun cengkeh itu. Banyak warga yang menderita sakit batuk dan sesak napas. Lima bayi meninggal dunia dan tujuh orang lansia. Mereka terserang batuk dan sesak napas.

Para petani yang air sawahnya dialiri air penyulinga Pak Nurhalodo, banyak yang menderita gatal-gatal. Air tercemar, jemuran berbau asap. Mata perih.

Awanara, setiap hari memaki Pak Nurhalodo. Rasa hormatnya menghilang.

KLIK INI:  Jati Belanda Ibu

Banyak warga yang ingin protes. Tapi, tak punya nyali. Pak Nurhalodo dekat dengan Kepala Desa. Dan besannya mantan Kapolsek. Warga selalu saja ngeri jika berhadapan dengan polisi.

Apalagi, Pak Nurhalodo dianggap pula penyelamat perut warga. Sebab saat cengkeh alpa berbuah. Ada daunnya yang dapat berubah jadi rupiah.

Tiap hari dua mobil pikap Pak Nurhalodo akan mondar-mandir mengangkut daun cengkeh. Minyak atsiri dari daun cengkeh lebih banyak daripada gaji pak Nurhalodo sebagai PNS.

“Aku harus melawan Pak Nurhalodo,” kata Awanara dengan tekad tak luntur.

“Bagaimana caramu, warga pada diam saja,” tantangku.

“Seperti yang dilakukan Greta Thunberg,”

Aku membiarkan Awanara berdiri di depan rumah Pak Nurhalodo. Warga bubar dengan sendirinya. Mereka menganggap anak kecil kelas 6 SD itu tak waras.

KLIK INI:  Upaya BPKH Wilayah VII Makassar Dukung FOLU Net Sink 2030
Greta Thunberg dari kampung terpencil

Setelah aksi pertamanya itu. Awanara semakin rajin mencari tahu tentang Thunberg. Ia kagum pada gadis yang menolak naik pesawat itu.

Ia juga semakin paham, perubahan iklim adalah momok mengerikan. Lebih berbahaya daripada Covid-19 yang rasa-rasanya penuh manipulatif.

Setiap hari, ia melakukan aksi demo itu, pada akhirnya media mulai menyorotnya. Pak Nurhalodo merasa terusik.

Banyak warga dan anak sekolah ikut aksi. Tak ada jalan lain, polisi mesti turun tangan. Polisi memukuli warga yang berdemo. Banyak yang ditangkap.

Awanara selamat. Masih di bawah. Namun, tak demikian orangtuanya. Orangtua Awanara ditangkap.

Awanara adalah Awanara, meski orang tuanya ditangkap. Ia tetap menjadi Thunberg. Tetap berjuang.

KLIK INI:  Perkotaan Rentan Dampak Perubahan Iklim, Dibutuhkan Rencana Kota Hijau

Ketidakmenyerahannya itu, membuat polisi mencurigaiku sebagai orang yang memprovokasinya. Aku dicari.

Pak Nurhalodo juga tahu, aku adalah jurnalis lingkungan. Yang gencar bergerak menyadarkan masyarakat akan pentingnya arti lingkungan hidup.

Dia mengira, akulah yang mengompori Awanara. Aku memanfaatkannya untuk menambah pengikut instagram.

“Aku akan mengundang Thunberg datang ke kampung, membantuku melawan Pak Nurhalodo.” Ketika Awanara mengatakan itu. Aku lihat kebencian yang terlalu tanak di matanya.

Sesal yang mengetuk

Aku terkadang menyesal mengenalkannya dengan si Thunberg itu.  Apa yang dilakukan Awanara, mengundang media datang meliputnya. Bahkan diangkat oleh media asing. Awanara, digelari Greta Thunberg dari Asia—Gadis Iklim

 Aksi Awanara tak berhenti. Sementara Pak Nurhalodo dan para pendukungnya, tak ingin menutup penyulingan daun cengkehnya

Di suatu malam yang hujan. saat aku sedang membaca laporan tentang Anoa. Satwa endemic Sulawesi yang dilindungi itu. Lima polisi datang menangkapku.

Mereka menuduhku ada di balik aksi protes Awanara. Ketika aku menolak untuk ditangkap. Pentungan polisi menghantam kepalaku.

Yang kuingat saat itu adalah wajah girang Awanara mendapati poster Thunberg. Begitu wajah girang Awanara memudar. Aku pun tak ingat apa-apa. Barangkali aku pingsan. Aku baru ingat ketika telah berada di dalam sel.

“Di negara ini, mengkritik kerusakan lingkungan adalah kriminal, pejuang lingkungan adalah penjahat,” teriakku.

Para polisi tertawa mendengarnya. Wajah girang Awanara kini memudar, berganti wajah menjengkelkan Pak Nurhalodo.

 Kindang 2024

KLIK INI:  ProKlim, Upaya Unggulan KLHK Hadapi Perubahan Iklim