Batas Antara Manusia dan Binatang

oleh -55 kali dilihat
Tanah Duka, Tanah Luka
Ilustrasi-foto/Pixabay
Nona Reni

Batas Antara Manusia dan Binatang

 

Ujung jalan mengajarimu tentang hutan yang muda gaib
Di telan beton dan mobil besar yang didatangkan dari negeri jauh

Pepohonan yang dibabat habis oleh mesin sensow
Menyayat telinga binatang yang mulai gelisah kehilangan rumah

Barangkali tak ada batas antara manusia dan binatang,
begitu kata seorang caleg yang kalah dalam pemilu minggu kemarin
Seperti jembatan gantung, kayu kanan kirinya keropos
Dihempas beban kehidupan

Hujan tak datang-datang
Di ujung jalan sana pun tidak
Tak ada bunyi lebih tabah selain nyanyian kemarau

Tiba-tiba makanan pokok menanjak naik jelang hari besar keagamaan.
Beras menghilang dari supermarket berlogo merah
Gula menanjak di minimarket berlogo biru

Tapi binatang tak makan sembako
Tak ada sisa untuk mereka, selain memangsa satu sama lain

2024

KLIK INI:  Sumpah, Ini Hanya Cerpen Sampah

Pohon Tak Pernah Lupa

 

Ada yang hidup di dalam laci meja yang terkunci
Di atasnya terdapat pot-pot bunga tiruan, tersudutkan keadaan dan kesepian

Meja itu, meja yang tak sempat dirampungkan oleh tukang
Lacinya sewarna tanah
Menyimpan rencana sekaligus bencana
Kuncinya dibawa lari pria berseragam lima tahun lalu

Laci meja itu tak pernah salah mengeja asal usulnya
Ia tahu dari pohon mana ia berasal
Tapi sekuat apapun ia berusaha tumbuh
Tak ada ranting, maupun daun di tubuhnya kecuali bunga tiruan di atas pot itu.

Laci meja itu hidup di antara orang-orang yang lihai menyimpan daripada memberi
Lebih keras menolong diri sendiri ketimbang orang lain

Kelak suatu sore, seorang berseragam membuka kunci laci meja itu
Laci itu akan menyusun wajahnya menjadi surat-surat perjanjian
Di mana pria berseragam itu hidup dari sepucuk tanda tangan
Dengan satu-satunya napas, ia meneken kontrak kerja sama bersampulkan APBN

Lalu berjalan menuju dapur, mencuci tangannya berkali-kali.
Lama, lama sekali.

2024

KLIK INI:  Siang di Hari Kerja

Hutan dalam Mata

 

Asap rokok mengabut di teras rumah kayu itu
Diam-diam menghilang dalam dadaku
aku batuk tiga kali
Lelaki perokok di sampingku mencibir
Mengataiku lemah
Batuk hanya karena asap rokok

Aku tersenyum padanya
Membunuh rasa ingin debatku
Lalu menepuk lembut bahunya
Sebelum melangkah pergi

Ia menahanku, tak membiarkanku beranjak
Dimatikannya rokoknya itu
Lalu puntungnya dibuang begitu saja
Ke dalam mulutnya

Aku ingin protes
Tak baik membuang puntung rokok sembaran tempat
Kutahan saja protes itu

Anehnya
Asap rokok terus mengepul
Bukan lagi dari rokok dan bibirnya
Tapi seluruh rumah kayu dan hutan dalam mataku
Juga laut di mulutku

2024

KLIK INI:  Secangkir Kopi yang Hutan