Pantai yang Bersalin Nama

oleh -13 kali dilihat
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Anak-anak berhamburan ketika lelaki itu datang. Meninggalkan mainannya di Turungan Ara. Lelaki itu datang tak sendiri. Ia bersama empat temannya. Semuanya menenteng  senjata. Berseragam tentara pula.

Wajah mereka tak terlalu ramah. Senyum seperti telah lama menghilang dari wajah mereka. Sorot mata mereka tajam. Penuh curiga dan waspada.

“Di mana rumah panrita lopi?” tanya lelaki itu. Suaranya berat. Terasa mengintimidasi.

“Itu, Pak?” jawabku sambil menunjuk rumah Puang Lahamu. Suaraku terdengar bergetar dan lututku gemetaran.

KLIK INI:  Para Pembunuh Bumi

Aku tak pernah segemetar itu seumur hidupku. Bahkan saat berhadapan dengan badai laut yang garang. Karena aku selalu tahu, laut tak akan menelanku hidup-hidup.

Aku hanya akan gemetaran bila bertemu dengan Sukahati. Perempuan tercantik di kampungku, Ara—yang tak lama lagi akan jadi istriku.

Aku dan Sukahati masih memiliki pertalian keluarga. Sangat lumrah menikah dengan keluarga sendiri.  Dunia luar masih sangat tertutup saat itu. Tahun 1962.

Meski kami masih keluarga dan saling menyukai. Namun, adat istiadat tetap jadi lubang hitam yang nganga. Sangat dalam.

Sebagai pelaut dengan penghasilan tak seberapa. Keluargaku sulit menjangkau uang panai yang ditetapkan keluarga Sukahati, 75 ribu rupiah.

Uang 75 ribu rupiah bukan jumlah sedikit. Jalan rumah tangga bersama Sukahati rasanya akan tertutup. Apalagi ada Rahiming, saingan beratku untuk mendapatkan Sukahati.

KLIK INI:  7 Puisi Frans Nadjira yang Bermetafora Alam untuk Mengenang Sang Penyair

Rahiming, adalah anak Puang Lahamu, sang panrita lopi. Ayah Rahiminglah yang dicari lelaki berseragam dan menenteng senjata itu.

Ketika mereka menuju rumah Puang Lahamu. Aku, antara senang dan takut. Senang karena jika ayah Rahiming ditangkap. Persainganku dengannya bisa berakhir.

Namun, jika Puang Lahamu ditangkap, siapa yang akan mengajariku membuat lopi  ‘perahu, kapal’. Kampungku, Ara, Bulukumba adalah kampung para panrita lopi—ahli membuat perahu—perahu pinisi.

Pembuka pintu jodoh

Malam tiba, lelaki itu tak pulang. Warga kampung Ara dipanggil ke rumah Puang Lahamu. Di sana, lelaki itu bercerita—Irian Barat berada dipusaran konflik. Belanda tak ingin menyerahkannya ke dekapan Indonesia. Padahal Indonesia telah merdeka. Tak ada alasan Belanda tak angkat dari sana.

KLIK INI:  Sebab Angin Tak Mengenal Wangi Tubuhmu

Kebebalan Belanda mencetuskan ide Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961. Diutuslah Mayjen Soeharto oleh Presiden Soekarno untuk melawan Belanda yang tak tahu diri itu.

Demi kelancaran serangan, dibentuklah Operasi Mandala. Pemimpinnya  adalah Mayjen Soeharto. Mereka bermarkas di Makassar. Jaraknya 164.15 km dari Bulukumba.

“Kami butuh perahu kecil untuk menyusup, semacam sekoci untuk pendaratan,” terang lekaki itu. Lalu ia menyesap kopinya dengan sangat nikmat. Wajahnya kini lebih ramah, meski senjata tetap dalam pangkuannya.

“Alimin ini adalah orang Bulukumba, dialah yang menunjukkan kampung pembuat perahu ini. katanya di kampung inilah pinisi dibuat,” kata lelaki itu lagi. Ia menunjuk lelaki di samping yang berambut sedikit panjang.

“Berapa banyak perahu, Pak,” tanya Puang Lahamu.

“20, ukurannya 9 x 2 x 0,90 meter. Kerjakan dalam waktu singkat, 20 hari saja. Jadi satu perahu dikerjakan satu hari,” tegas lelaki itu. Tak ada tawar menawar, termasuk upah para pekerja.

Puang Lahamu terlihat lemas. Ia menatap para tetamu malam itu di rumahnya. Meminta persetujuan. Tapi kami hanya diam saja.

Kami bersyukur, kampung kami dilirik oleh komandan Operasi Mandala, Soeharto. Kami dilibatkan dalam pembebasan Irian Barat.

KLIK INI:  Menghidupkan Air

Siang dan malam kami bekerja. Tak ada kata istirahat. Tak ada kata lelah. Dan ajaib, perahu pesanan Soeharto itu selesai hanya dalam waktu 18 hari saja.

Turungan Ara bersalin wajah

Lelaki itu datang lagi. Kali ini anak-anak tak lagi berhamburan lari bersembunyi. Mereka meneriakkan sumpah pemuda. Para tentara yang mengikuti lelaki itu, terlihat sangat menikmati keindahan Turungan Ara (Pantai Ara).

“Ramadding, ini upahmu, cukup untuk melamar Sukahati,” kata Puang Lahamu sambil memberikan upah membuat perahu. Aku tak pernah berharap akan diupah. Bagianku pun hanya angkut kayu dan menghaluskan.

Aku bangga ikut serta membantu membebaskan Irian Barat. Aku ingin menolak upah itu, tapi Puang Lahamu mendesakku menerimanya.

Aku melirik ke arah Rahiming. Wajahnya memerah menahan geram.

KLIK INI:  Pohon Kenangan

Aku tak pedulikan sikap Rahiming. Gerimis turun dan aku berlari ke Turungan Ara yang berpasir putih selumbut terigu.

Di sana, Sukahati sedang menikmati gerimis. Aku menghampirinya. Ia menghindar malu-malu.

“Ini,” kataku singkat sambil memperlihatkan upah yang kudapat dari Puang Lahamu. Suaraku bergemuruh.

Sukahati tak menyahut. Wajahnya memerah.

Suka cita kemenangan

Operasi Mandala yang dipimpinan Mayjen Soeharto berhasil. Orang-orang di kampungku bergembira. Mereka membakar semua ikan hasil tangkapan nelayan. Lalu berpesta di Turungan Ara.

Mereka bersuka cita, sebab jadi bagian dari kemenangan itu. Kemenangan bersejarah. Dan kampungku, Ara mengambil bagian dari sejarah itu.

Dan ketika aku menjadi kepala Desa Ara di tahun 1970an. Aku mengganti nama Turungan Ara  menjadi Pantai Mandala Ria. Pantai yang memiliki pasir putih menghampar indah, ombak yang bernanyi sepanjang waktu.

Nama itu untuk mengenang Pembebasan Irian Barat, agar selalu basah di ingatan. Ketika anak ketigaku lahir adalah Perempuan. Aku dan Sukahati sepakat menamainya Manda Ria. Itu tanda terima kasihku pada Mayjen Soeharto yang telah mencukupkan uang panaiku.

KLIK INI:  Serentang Jarak
Resah yang menanak dirinya

Deburan ombak Pantai Mandala Ria masih sama. Di usiaku yang semakin senja. Aku dan Sukahati kerap menghabiskan waktu di pantai. Mengenang masa muda kami yang romantis.

Pantai Mandala Ria kini tak lagi sama, telah tersulap jadi tempat wisata. Orang-orang ramai berkunjung. Kunjungan yang membawa suka cita.

Sayangnya, kunjungan itu juga membawa duka cita. Pengunjung membuang sampah seenaknya.

Di usia kami yang senja, kami kerap pula membersihkan pantai Mandala Ria. Sampah-sampah plastik yang di bawa pengunjung dan ombak merampas keelokannya.

“Bukan manusia, membuang sampah sembarangan.” Umpatan itu jadi ritus Sukahati setiap kami berkunjung ke pantai.

Setiap ia mengumpat begitu, aku melihatnya jauh lebih muda dari usianya. Sukahati kembali muda. Diam-diam aku selalu berdoa, semakin banyak yang membuang sampah di Pantai Mandala Ria agar Sukahati tak pernah menua. ***

Maret 2024

KLIK INI:  Kunang-kunang di Mata Vhy