Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa

oleh -90 kali dilihat
Demmatande
Para Narasumber di Seminar Nasional Pengusulan Pahlawan Nasional Demmatande, Mamasa 9 November 2023 - Foto: Ist
Anis Kurniawan

Kali pertama masuk ke nusantara sekira abad ke-16, utusan Belanda datang laksana tamu asing. Utusan Belanda tentu tercengan dengan ibu pertiwi yang subur loh jinawi dengan rempah-rempah melimpah. Apa yang dilihatnya secara empirik dengan mata telanjang boleh jadi melampaui espektasi awal dari sumber-sumber data yang dikumpulkan tentang nusantara.

Mata siapa yang tak membelalak dengan kelimpahan sumber daya dan keelokan negeri nusantara. Namun, Belanda cukup cerdik, mereka tidak langsung melancarkan agresi dan dominasinya. Penjajahan bangsa Belanda dijalankan dengan proses politik yang lambat, bertahap dan melintasi jendela waktu yang lama sebelum akhirnya dapat menguasai batas-batas wilayah nusantara.

Pada abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) semakin mengukuhkan dominasi ekonomi dan politik di pulau Jawa terutama pasca runtuhnya kesultanan Mataram. Di abad inipula, ekspansi kekuasaan Belanda semakin meluas tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa. Apakah pribumi tinggal diam? Tidak! Di beberapa wilayah, perlawanan melawan Belanda gencar dilakukan.

Pada tahun 1900-an, ekspansi Belanda sudah benar-benar mengakar dan merambah hingga sejumlah wilayah strategis di Pulau Sulawesi. Praktik kerja paksa dan penyerobotan lahan meluas hingga ke kampung-kampung. Jejak sejarah ekspansi kolonial Belanda mendapati dua tipologi pribumi: ada kelompok atau individu yang berdamai bahkan berkoloni dengan penjajah—ada pula kelompok dan individu yang tegas dan berani menyatakan perlawanan terhadap tirani penjajah.

KLIK INI:  Aksi Teatrikal Buang Sampah di Balai Kota Tasikmalaya, Inikah Puncak Kemarahan?

Jejak historis Marsose, pasukan elit anti-gerilya bentukan Belanda mengafirmasi hal itu. Pasukan elit super sadis Marsose, sebagian besar personilnya adalah pribumi terlatih yang memilih bekerja untuk penjajah. Selama masa penjajahan, kolonial Belanda memang sangat cerdik, baik dalam hal strategi perang, politik devide et impera, hingga kemampuan adaptasi perang darat dengan kondisi alam nusantara yang berat.

Pada tahun 1907, tentara Belanda mulai masuk ke wilayah Mamasa dan dalam waktu yang tidak lama, tepatnya pada 1909 Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mamasa. Rakyat di kampung-kampung tidak tinggal diam. Sejatinya mereka melakukan perlawanan keras, meski sporadis karena persenjataan yang tidak seimbang.

Di beberapa momen harus mengakui kekalahan dan terpaksa bergerilya dari hutan ke hutan. Tercatat ada banyak korban jiwa selama periode peperangan darat di Mamasa sejak Belanda melancarkan agresinya. Ini menunjukkan dua hal; pertama, semangat perlawanan dan patriotisme rakyat untuk melawan penjajah; kedua, adanya konsolidasi lintas pejuang untuk bersatupadu melawan koloni Belanda.

Belanda menancapkan hegemoni kekuasaannya di wilayah  Mamasa ditandai dengan keberhasilannya membuat maklumat penaklukan yang bunyinya sebagai berikut: (1) raja-raja yang ditaklukkan mengakui tunduk kepada pemerintah Belanda; (2) mengakui bahwa daerah kerajaannya merupakan daerah wilayah Hindia Belanda; (3) tidak akan berhubungan dengan pemerintah asing tanpa seizin pemerintah Belanda.[2]

Demmatande, pemberani dari kampung Paladan

Hegemoni Belanda berujung pada penindasan, kerja paksa, perampasan tanah hingga penarikan pajak tinggi pada kaum pribumi. Daeng Matande atau Demmatande bersama rakyatnya di kampung Paladan sedang hidup baik-baik saja ketika agresi Belanda mendekati wilayah Pitu Ulunna Salu. Sebagai kepala kampung, Demmatande sudah tentu memiliki kualitas leaderhip yang kuat, ia pemimpin yang bertanggungjawab dengan kehidupan warganya. Namun, kedatangan Belanda mendekati Pitu Ulunna Salu mengubah segalanya.

KLIK INI:  Kota dan Tumpukan Sampah di antara Lapis-lapis Kesadaran

Kabar burung sudah berseliweran kala itu, orang-orang pribumi akan dikerahkan untuk kerja paksa. Demmatande waspada, sebagai pemimpin di komunitasnya, ia tidak ingin membiarkan ada penindasan pada rakyatnya. Sayangnya, kekuatan Belanda memang sangat besar. Lebih dari dua tahun sejak 1910 rakyat Mamasa dikenakan kerja paksa untuk membangun jalanan menuju Polewali (Tionggo) atau Kunyi yang sekarang perbatasan Mamasa Polewali (Jembatan Kunyi) sampai Takatidung (Kota Polewali). Ini adalah hukuman bagi rakyat Mamasa yang tidak bisa membayar pajak perkepala kepada Kolonial Belanda.

Demmatande terlibat langsung sebagai bagian dari korban kerja paksa oleh antek-antek Belanda yang bengis, kejam dan kadang bertindak di luar batas kemanusiaan. Hal inilah yang membuat Demmatande memberontak. Lelaki pemberani ini tidak ingin berlarut-larut dalam tirani penindasan. Satu kata, lawan! Sebagai pemimpin kampung yang kharismatik dan didengar oleh rakyatnya, ia dengan tegas meminta seluruh rakyat kampung Paladan dan seluruh rakyat Pitu Ulunna Salu pada umumnya untuk pulang alias berhenti mengikuti praktik kerja paksa.

Keputusan seorang Demmatande melawan perintah Belanda jelas sebuah keberanian tingkat tinggi. Ini adalah sifat kepahlawanan yang memandang kemerdekaan adalah hak dasar sebagai manusia. Pilihan ini memiliki risiko yang tidak kecil, di depannya ada tentara marsose yang bengis. Sebagai lelaki pemberani, genderang perang sudah telanjur ditabuh—Demmatande dan pasukannya sudah siap menghadapi segala risiko.

Benar saja, kampung Paladan, termasuk kediaman Demmatande pun diobrak-abrik oleh Belanda bahkan sebelum Demmatande dan rakyatnya tiba.[3] Kemarahan Demmatande pun tersulut. Api semangat perlawanan berkobar-kobar. Tidak jalan lain selain perang dan perlawanan mengangkat senjata. Sebagai pemimpin kampung, Demmatande berhasil meyakinkan rakyatnya untuk Bersatu, berperang melawan kezaliman. Kemampuan dan kharisma seorang Demmatande membuat masyarakat Pitu Ulunna Salu mendukung sepenuhnya. Bila ditelisik secara mendalam, Demmatande jelas seorang pemimpin berpengaruh. Ia memiliki modal sosial (social capital) yang kuat di tengah rakyatnya sehingga visi perjuangannya dapat diterima secara saksama. Hal ini juga tak terlepas dari dirinya yang seorang keturunan Bangsawan[4] terhormat di Kampung Paladan.

KLIK INI:  Ruang Publik Perkotaan yang Lebih Cair dengan Lomba Senam Longwis

Keputusan Demmatande membuat pihak Belanda terkejut dan terheran-heran. Ini jelas kabar tak sedap bagi tentara Belanda. Karenanya, utusan Bapak Parengnge’ Orobua bernama ‘Takke’ segera menyampaikan peringatan. Sebuah pesan yang sebetulnya bermakna negosiasi untuk tidak menggencarkan perlawanan. Pesan Bapak Parengnge’: apa yang akan terjadi nanti kalau kamu melawan pemerintah Belanda?

Apa boleh buat, keputusan yang diambil tidak lagi bisa ditarik lantaran sebuah bujuk rayu. Tak ada lagi kompromi. Pada “Takke”, Demmatande berpesan tegas dengan suara lantang bahwa ia dan pasukannya memilih melawan demi membela kehormatan rakyat Pitu Ulunna Salu. Ia ingin berdiri dengan kepala tegak, sekalipun di depan mata ada benteng kokoh yang sedang dihadapinya. Dalam konteks ini, Demmatande menunjukkan karakter kepemimpinannya yang tegas, lugas dan penuh komitmen.

Demmatande menegaskan barah perlawanan setidaknya karena tiga hal: (1) ia tidak ingin rakyatnya dijajah oleh bangsa Belanda: (2) ia menolak segala praktik penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan Belanda pada rakyatnya: (3) ia menghendaki kemerdekaan yang hakiki dengan membela haknya sebagai warga pribumi. Tiga hal ini setidaknya merepresentasi suatu kepentingan besar (kepentingan umum). Visi perjuangan ini, sekali lagi, bukan karena kepentingan Demmatande semata, tetapi menyangkut kepentingan banyak orang—kepentingan tanah air, ibu pertiwi yang dirangkulnya.

Itulah sebabnya, konsolidasi perlawanan melawan Belanda dilakukan dengan sokongan segenap rakyat di kampung Paladan. Dibawah kepemimpinannya, seluruh pasukannya pun diarahkan untuk masuk ke Benteng Salubunga yang sudah tertata baik. Sebagai benteng alami, ditanamlah pohon bambu betung (pattung) dan ragam jenis tumbuhan demi menangkal serangan tentara Belanda. Beberapa rumah pun dibangun dalam Benteng Salubunga sebagai tempat tinggal sementara pasukannya selama menyiapkan perang melawan Belanda.

Pada 11 Agustus 1914, serangan membabi-buta pun datang dari tentara Belanda dibawah pimpinan Komandan Detasemen Vraagan, seorang perwira marsose yang terlatih. Demmatande yang memimpin pasukan benar-benar sangat siap akan hal ini. Kerja kerasnya bersama pasukannya membuahkan hasil. Tentara Belanda berhasil dipukul mundur.

Lalu, pada serangan kedua pada 9 Okrober 1914 yang dilancarkan tentara Belanda dengan pasukan yang lebih besar, Demmatande bersama pasukannya masih sulit ditembus. Lagi-lagi karena kokohnya Benteng Salubunga. Tentara Belanda yang dipimpin Loys Coortes harus mundur. Perlawanan Demmatande dan pasukannya sangat kokoh meski secara kuantitas pihak tentara Belanda lebih banyak dengan senjata lebih canggih. Tembakan senjata Meriam yang dilesatkan Demmatande menyebabkan tewasnya beberapa tentara Belanda sebelum akhirnya kocar-kacir dan mundur.

KLIK INI:  Mangrove sebagai Pelindung Alami Garis Pantai

Dua peristiwa ini teramat sangat heroik dan menggambarkan semangat pantang menyerah. Perlawanan fisik yang dilakukan Demmatande dan pasukannya melawan penjajah merepresentasi semangat patriotime dan daya juang tinggi. Tentara Belanda pun berpikir keras untuk menyiapkan perlawanan lanjutan. Dengan kecerdikannya, Belanda memasukkan mata-mata alias penyusup yang mengintai lebih dalam pergerakan Demmatande dan pasukannya.[5]

Pada serangan tentara Belanda yang ketiga, 20 Oktober 1914, dengan kekuatan yang lebih besar dan informasi yang lebih lengkap, terjadilah pertarungan super sengit. Tidak main-main, tentara Belanda menyiapkan kekuatan sekira 180 tentara yang didatangkan dari Mamuju, Enrekang, Parepare dan Makassar. Taktik tentara Belanda rupanya berhasil, pasukan Demmatande yang sedang keluar mencari bahan makanan dicegat untuk kembali ke Benteng Salubunga.

Hal ini mengurangi kekuatan pasukan Demmatande dalam benteng. Perang selama empat hari empat malam menjadi pertarungan tersengit di kampung Paladan. Demmatande tidak ingin menyerah begitu saja, ia tetap berupaya sekuat tenaga. Namun, karena kekuatan yang semakin tidak seimbang, pasukan Demmatande terdesak oleh tentara Belanda. Demmatande bersama puluhan pasukan setianya harus gugur di medan pertempuran. Demmatande wafat bersama istri tercintanya pada 24 Oktober 1914 di Benteng Salu Bunga. Perlawanan hingga titik akhir tersebut menewaskan sedikitnya 170 orang tentara Belanda. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana daya juang dan keberanian Demmatande.

Sementara sebagian besar pasukan Demmatande meloloskan diri yang di kemudian hari tetap bergerak melanjutkan perlawanan atas tirani Belanda. Pasukan militan Demmatande bahkan terus berkembang melawan penjajah. Mereka antara lain Saudara kandung Demmatande bernama Deppalanna dan Bongga Opa dan beberapa pasukan lainnya membuat benteng Puang. Perlawanan pada penjajah belum selesai, sebagaimana adagium, mati satu tumbuh seribu…! Semangat juang seorang Demmatande telah mendiami orang-orang setelahnya.

KLIK INI:  Bumi, Manusia, dan Pertobatan Ekologis

Demmatande, Pahlawan dari Mamasa

Perjuangan Demmatande dalam mengusir penjajah tidak dapat lagi disanksikan adanya. Peristiwa sejarah ini sangat faktual dan sangat penting dicatat oleh negara sebagai bagian dari etos juang melawan penjajah khususnya di Mamasa.

Masyarakat Mamasa sudah sepatutnya berbangga dengan sejarah perlawanan pahlawan Demmatande. Spirit kepahlawanan Demmatande menandai adanya jejak peradaban di Mamasa. Semangat ini penting mewarisi generasi muda. Seorang tokoh pejuang sekaliber Demmatande telah menginspirasi kita semua. Demmatande telah berjuang keras hingga titik darah penghabisan dan berkat perjuangannya pula kita dapat merasakan buah kemerdekaan. Negara besar menghargai pahlawannya dan tidak melupakan sejarah. Sejarah adalah sumber inspirasi.

Demmatande adalah seorang putra terbaik bangsa yang layak disematkan gelar pahlawan nasional. Keberaniannya memilih ‘melawan’ ketimbang ‘kompromi’ dengan Belanda, sebuah panggilan jiwa yang dijalankan secara sadar. Dari Mamasa, Demmatande berkontribusi penting terhadap bangsa ini—karenanya ia layak diapresiasi atas jasa-jasanya pada negara.

Merujuk pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26 Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Seorang pahlawan nasional adalah seorang yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang dipersyaratkan baik syarat umum maupun syarat khusus. Mereka adalah seorang yang pernah memimpin perjuangan, memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak menghianati bangsa dan Negara. Pahlawan nasional adalah seorang tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan, pengabdian dan perjuangannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya, gagasan, pemikiran besar, atau karya besarnya diakui, dan sejumlah kriteria lainnya.

Demmatande telah memenuhi seluruh syarat-syarat normatif sebagai pahlawan nasional. Perjuangannya sudah berlalu, lebih dari satu abad, namun semangat perjuangannya tidak pernah pupus. Begitulah jejak seorang pejuang, Demmatande tidak pernah mati, etos juang dan semangatnya selalu terpatri dalam diri kita semua.

Adalah menjadi tugas kita semua, para stakeholders terkait, pemerintah daerah, para tokoh masyarakat dan warga Mamasa khususnya untuk mendukung penyematan Pahlawan Nasional pada Demmatande atau Daeng Matande. Ini penting agar etos juang dan nasionalisme senantiasa terjaga dalam jiwa anak-anak bangsa.

KLIK INI:  Laut Biru, Laut tanpa Plastik

Refleksi dan pembelajaran

Setelah lebih dari seratus tahun perjuangannya, Demmatande memang perlu terus dikenang dan dibicarakan. Segala tempat-tempat yang pernah dilewatinya haruslah dijadikan situs-situs penting, sebagai pengingat dan sumber pembelajaran bagi generasi selanjutnya.

Nama Demmatande telah diabadikan di Mamasa antara lain sebagai nama jalan, nama desa/kampung, musium Demmatande, situs pemakaman dan lainnya—ini jejak penting yang perlu dilestarikan. Ingatan tentang Demmatande adalah kebanggaan bagi orang Mamasa, bukan semata bagi keluarga dan kerabatnya. Demmatande telah menjadi milik orang Mamasa dan Sulawesi Barat bahkan miliki ibu pertiwi Indonesia.

Sumber-sumber literasi tentang Demmatande sudah seharusnya dikembangkan. Biografi lengkap tentang dirinya harus diterbitkan sebagai sumber literatur wajib. Bila perlu dibuat/disusun novel biografi sebagaimana buku-buku tentang pahlawan dan tokoh-tokoh penting di Indonesia lainnya. Demmatande sangat layak untuk dituliskan. Bahan-bahan literatur dibutuhkan agar transformasi nilai kepahlawanan dari Demmatande dapat dipahami, lalu diinternalisasi pada diri setiap generasi.

Musium Demmatande sudah selayaknya dilestarikan dan dijadikan rumah penghayatan. Musium memungkinkan setiap orang menemukan jejak seorang tokoh. Kita perlu belajar banyak dari daya juang seorang Demmatande.

Daya juang dan semangat kepahlawanannya harus kita miliki. Maka, dengan mengenalnya lebih dekat, setiap kita akan merasakan getaran spirit pengorbanannya untuk tanah air. Tantangan generasi muda di era ini tentu lebih kompleks, namun daya juang senantiasa dibutuhkan untuk Indonesia lebih baik. Jiwa kepemimpinan Demmatande perlu diwarisi oleh kita semua. Bahkan, dibalik keberaniannya secara fisikal melawan Belanda, Demmatande menyimpan satu kekuatan penting sebagai pembelajaran kunci disini yakni ‘daya cinta’—Demmatande bertempur karena kecintaan pada rakyatnya, pada ibu pertiwi—melampau cintanya pada dirinya sendiri yang dikorbankan.

Panjang umur perjuangan!

[1] Disampaikan pertama kali pada Seminar Nasional Pengusulan Palhlawan Demmatande, Mamasa 9 November 2023, diolah dari berbagai sumber.

[2] Kontrak pendek yang ditandatangani Djalalu Ammana Inda sebagai Mara’dia Mamuju dan tanggal 19 Agustus 1909 telah disetujui dan disahkan dengan SK Gubernemen tanggal 14 Juli 1910 Nomor 17 yang menandai penaklukan Belanda hingga ke tanah Mandar, meski demikian perlawanan sengit masih bermunculan. (Sejarah Mandar II, halaman 104).

[3] Demmatande dan rakyatnya masih berada di perbatasan Polewali Mamasa (sekarang Desa Matande Kecamatan Messawa dalam perjalanan pulang ke kampung Paladan.

[4] Demmatande adalah salah satu dari 6 bersaudara dari keturunan bangsawan (Tana’bulawan), ayahnya bernama Bongga Masirin dan Ibunya bernama Aruanbulawan.

[5] Mata-mata didatangkan Belanda dari Polewali bernama “Puanna Patara” yang ditugaskan membaca strategi Demmatande.

KLIK INI:  Revolusi dari Dapur, Praksis Ekologi Kaum Muda