Kota dan Tumpukan Sampah di antara Lapis-lapis Kesadaran

oleh -262 kali dilihat
Kota dan Tumpukan Sampah di antara Lapis-lapis Kesadaran
Penampakan sampah berserakan di sebuah kanal di Kota Makassar - Foto: Ist
Ishak Andi Kunna

Klikhijau.com – Manusia berkesadaran, hidup dalam berlapis-lapis pertanyaan tentang yang telah, sedang, dan akan terjadi. Pertanyaan itu merupakan wajah peredaran waktu di masa lalu, kini dan akan datang.

Saat menyusuri jalan di perkotaan Makassar yang padat merayap, pandangan mata dimanjakan oleh deretan bangunan gedung. Ia menampilkan arsitektur yang beraneka rupa. Di sana ada gedung pendidikan, perkantoran, kawasan industri, rumah toko. Tak hanya itu, Kota Makassar punya wajah lain dengan gerobak kaki lima yang rata-rata beredar di malam hari.

Pada ruang lainnya, kita pun akan disuguhkan dengan dominasi transportasi mobil dan motor.  Di sepanjang jalanan, kendaraan seolah berlomba memadati jalan yang kian sempit. Tapi, entah jalan yang kian sempit atau kendaraan yang telalu banyak? Mungkin demikian memang kota yang tak menyediakan mode transportasi umum. Wajah-wajah itu, semuanya  dikemas dalam desain modernisasi. Sebuah zaman yang (tak sepenuhnya) maju. Di baliknya ada paradoks.

Lihatlah, di antara padat kendaraan, asap dari cerobong knalpot menguap di udara. Ia menjadi polusi. Yang lain,  antrian panjang kendaraan saling mendahului di tengah kemacetan. Di pinggir jalan,  tumpukan sampah yang melepas gas-gas metan dan aroma khas; busuk.

KLIK INI:  Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api

Sampah dan kita

Perihal sampah, sebagaimana akan diulas dalam tulisan ini. Tema sampah sengaja saya pilih untuk turut serta memaknai Hari Peringatan Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023 yang dirayakan belum lama ini.

Dulu, seorang kawan satu kontrakan, Ardi, pernah berkata, “Bang, pembungkus mie instan itu bukan sampah ketika ia masih berguna”.

Ardi ada benarnya juga. Apa pun itu akan menjadi sampah ketika dengan sadar kita tidak mengfungsikannya. Termasuk pikiran dan rasa.

Coba dibayangkan, bagaimana kita menyiasati hasil belanja untuk kebutuhan sandang dan papan di pasar tradisional? Dapatkah kita mengemas ikan cakalang dan ikan teri basah tanpa membiarkan tetesan darahnya mengenai pakaian kita dan belanjaan lainnya.

Sampai hari ini, pertanyaan di atas masih sulit untuk dijawab. Sehingga di tengah kerumitan itu, hadirnya kantong kresek plastik tetap menjadi pilihan utama bagi emak-emak berdaster yang mengemas ikan, sayur, singkong, sagu, timba plastik, panci dan sendal jepit dalam satu waktu dan tempat.

KLIK INI:  Merancang Transisi Teratur Dunia Nol Bersih 2050

Di sepanjang jalan, mudah kita menjumpai kemasan plastik yang berceceran, juga semudah kita melihat tumpukan sampah di komplek-komplek perumahan atau terpajang di areal parkiran rumah toko, terlebih di pasar.

Plastik yang beraneka rupa dan bentuk menemani keseharian kita yang sibuk dalam setiap urusan. Belum lagi, jika ditambah dengan persoalan hidup yang tidak kunjung usai. Tentu, di situasi ini, kita menjadi begitu rentan untuk mengidap penyakit lupa dan tidak peduli akan hal-hal di luar diri kita. Begitu pula plastik yang tidak berguna lalu dibuang menjadi tumpukan sampah.

Dalam zaman kekinian ini, kita hidup melebur dan menyatu dengan segala bentuk keseharian. Kecanggihan teknologi membuktikannya melalui kecepatan transfer data, suara juga uang. Dan di sisi lain, percepatan teknologi juga membuktikan bahwa perasaan cemas, gelisah, tekanan dan ketakutan itu semakin tidak berjarak dalam keseharian kita.

Mungkin kita bertanya, lantas apa yang harus kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya?

Manusia dan kebersadaran

Manusia sebagai mahluk berkesadaran dan penuh cinta telah teruji untuk bagaimana hidup menyatu dengan alam kemudian menciptakan keseimbangan.

KLIK INI:  Sampah di Lokasi Bencana Sulbar Menumpuk, Komunitas Laut Biru Turun Tangan, Aksinya Inspiratif!

Mencintai alam dan lingkungan bukan lah semata jargon yang diteriakkan. Tapi bagaimana ia menjadi laku dalam keseharian, jika dilakukan secara terus menerus maka akan meniscayakan budaya dalam perilaku.

Mari kita mulai dengan menyiapkan tempat sampah, kemudian memilah jenis sampah organik dan anorganik. Selanjutnya perlahan dan pasti, kita mulai memahami istilah Tiga R yakni Reduce, Reuse dan Recycle.

Pemahaman itu menghantar kita bertindak untuk menangani sampah dengan cara mengurangi penggunaannya, tidak membuangnya jika masih bisa di gunakan kembali dan bagaimana didaur ulang agar produksi sampah berkurang.

Dalam perjalanan pulang, saya teringat seorang kawan yang meyakini bahwa dua hal yang tidak bisa berubah dalam diri manusia, yakni fitrah dan insting.

KLIK INI:  Ruang Publik Perkotaan yang Lebih Cair dengan Lomba Senam Longwis