Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia

oleh -38 kali dilihat
membaca
Ilustrasi membaca - Foto/ Prasanna Kumar di Unsplash
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Sentralisasi ala Orde Baru Soeharto selama lebih dari tiga dekade dianggap memantik ketidakadilan antara pusat dan daerah. Pemerataan pembangunan tidak terjadi, sebab pembagian kue negara lebih condong pada Jakarta dan Jawa. Bagian timur Indonesia mengalami keterbelakangan dari segala hal, baik dari aspek Pendidikan, kesehatan, ekonomi hingga infrastruktur.

Fakta ini tentu satu hal yang paradoksal, mengingat kekayaan sumber daya alam justru ada di bagian Timur Indonesia. Kekayaan alam dan sumber daya dari Timur boleh dikata dikeruk untuk Jakarta dan Jawa. Kebijakan ekonomi pembangunan nasional yang tidak merata dan berkeadilan ini telah menyisakan penderitaan panjang bagi masyarakat yang ada di Timur.

Gejolak sosial dan gelombang kritik dari Timur selama bertahun-tahun pernah tersulut karena ketidakdilan Jakarta dan luar Jakarta. Gerakan sipil Papua merdeka misalnya adalah bentuk perlawanan panjang dari Timur sebagai reaksi atas ketimpangan ekonomi. Gerakan di Papua juga pernah melebar ke Maluku hingga ke Pulau Sulawesi dengan Gerakan Sulawesi Merdeka pada era 1990-an. Bila ditelisik secara mendalam, gerakan-gerakan separatis ini ditabuh dari kesadaran akar rumput yang bertahun-tahun tertinggal secara ekonomi.

Ketika reformasi 1998 pecah, tuntutan rakyat melalui mahasiswa dan gerakan civil cociety antara lain penghapusan korupsi dan isu pemerataan pembangunan. Reformasi tampaknya sekaligus menandai reruntuhan rezim Soeharto dengan tatanan sentralisme, menuju tatanan baru yakni desentralisasi. Karenanya, reformasi juga membawa semangat baru kebangkitan daerah-daerah. Melalui semangat desentralisasi, pembangunan pasca reformasi diandaikan lebih berfokus pada pemulihan ekonomi dengan pemerataan pembangunan.

KLIK INI:  Mengapa Narasi Lingkungan Selalu Absen dalam Kontestai Politik?

Politik lokal, korupsi dan politik transaksional

Beberapa tahun pasca reformasi, lahirlah UU No 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya adalah desentralisasi atau otonomi daerah (otoda). Undang-undang inipula yang mengilhami pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung oleh rakyat. Demokrasi di tingkat lokal sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang dimaksudkan untuk memberikan kemandirin politik bagi daerah. Pemerintahan daerah yang demokratis diharapkan melahirkan proses pembangunan yang lebih baik, berwawasan lokal dan memangkas sebagian besar kekuasaan pemerintah pusat.

Setahun kemudian, tepatnya pada 2005, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pertama kali digelar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Lalu, dua tahun berselang, ketentua Pilkada dilakukan revisi dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007. Sejumlah revisi teknis pelaksanaan Pemilukada diperbaharui sebagai turunan dari revisi Undang-undang. DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang menggelar kepala daerah pertama pada 2007.

Pada 2015,Pilkada serentak pertama kali diselenggarakan pada 9 Desember 2015 untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2016. Peserta pilkada serentak ini dilaksanakan di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota. Pilkada serentak ini berlangsung di 269 wilayah yang mencakup sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota di Indonesia.

KLIK INI:  Antara Patroli, Penyadartahuan, dan Durian

Pilkada 2017 Pilkada serentak kembali digelar pada 15 Februari 2017 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota.yang masa jabatannya berakhir pada tahun Pemilihan kepala daerah di tahun 2017 dilakukan secara serentak di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 Kota. Pilkada 2018 Pilkada serentak kembali digelar pada 27 Juni 2018 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota.

Pemilihan kepala daerah di tahun 2018 dilakukan secara serentak di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Pilkada 2020 Pilkada serentak kembali digelar pada 9 Desember 2020 untuk memilih pemimpin daerah di tingkat provinsi dan juga kabupaten/kota.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dalam Pasal 201 ayat 8 disebutkan, Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Setelah lebih dari dua dekade pasca reformasi, demokrasi di tingkat lokal mengalami dinamika cukup tinggi. Pada periode awal, beberapa daerah di Indonesia terbilang sukses menggelar Pilkada dengan tokoh-tokoh lokal pilihan yang memang representatif suara rakyat.

Beberapa daerah Kabupaten/Kota cukup sukses membangun daerahnya. Membangun kemandirian ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan lebih fokus pada pengelolaan sumber daya secara mandiri. Daerah-daerah yang memang kaya sumber daya alam seperti Kutai Kartanegara dan sekitarnya tampil terdepan sebagai daerah maju. Sebaliknya, daerah-daerah yang minim sumber daya justru jalan di tempat dan tertinggal jauh.

Arus balik desentralisasi politik di daerah adalah proses demokrasi yang semakin transanksional. Kemunculan local strong man dan kekuatan non formal berpengaruh alias informal politic tampaknya mewarnai politik lokal di Indonesia pasca reformasi. Perjalanan demokrasi di tingkat lokal justru menghadirkan penguasa-penguasa lokal atau raja-raja lokal yang berlatarbelakang elit kultur dan pebisnis lokal. Fenomena ini disatu sisi menarik karena kepemimpinan politik lokal digelar secara demokratis, namun di sisi lain memberi ruang bagi kandidat yang tidak kompeten.

KLIK INI:  5 Pesan Metaforik Perihal Sampah dan Foto Menawan yang Menyertainya

Pilkada langsung yang menyuburkan praktik politik transaksional juga telah dirasuki pengaruh para cukong yang bermain di belakang layar. Merekalah yang memberi modal logistik saat pertarungan dan tentu menagih janji balas budi pasca terpilih. Kondisi inilah yang telah membuat demokrasi di tingkat lokal jatuh di tingkat paling rendah. Praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah tidak lepas dari mahalnya biaya politik yang harus dipenuhi setiap kandidat. Terhitung setidaknya ada dua pembiayaan besar yang harus dibayar kandidat, biaya kendaraan politik dan biaya pemenangan politik—jumlahnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang jumlah sekira 310 politikus.

Politik tanpa narasi lingkungan

Preferensi politik pemilih di Indonesia yang masih transaksional mengafirmasi potensi politik uang mandarah daging di setiap momentum Pilkada. Kondisi ini di satu sisi dilatarbelakangi oleh tiga hal setidaknya. Pertama, kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah berpotensi menjadi sasaran empuk praktik politik uang; kedua, rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi memicu rendahnya kesadaran pemilih rasional; ketiga, pendekatan kandidat yang tidak berbasis pada visi dan gagasan membuat proses politik cenderung transaksional.

Pada beberapa data hasil Pilkada di sejumlah daerah di Indonesia, narasi politik yang dibangun kandidat lebih berorientasi pada isu-isu populer. Antara lain isu ekonomi, Pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya. Isu-isu mengenai lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan tidak menjadi prioritas bagi kandidat. Preferensi ini juga berdasarkan survey- survey poltik yang dilakukan kandidat yang menunjukkan bahwa isu lingkungan tidak populer dalam masyarakat.

Konsultan pemenangan politik tentu akan menggunakan narasi atau program yang dianggap populer dan marketable secara elektoral. Itulah sebabnya, dalam menyusun program kerja, kepala daerah terpilih tidak menjadikan program lingkungan sebagai prioritas utama.

Selain itu, durasi periode kepemimpinan politik para kepala daerah yang hanya berdurasi 5 tahunan, membuat para kepala daerah terpilih fokus pada pembangunan infrastruktur. Hal itu karena mereka ingin memastikan bahwa capaian kinerja yang dilakukan adalah sesuatu yang bersifat faktual dan kasat-mata. Dapat dilihat secara fisikal dan dapat dijual sebagai karya monumental.

Tren demokrasi transaksional ini berdampak terhadap pembangunanan yang mementingkan aspek income ketimbang menjalankan program dengan pendekatan pembangunan yang ramah lingkungan. Minimnya isu lingkungan dalam kepemimpinan politik di daerah juga berdampak menurunnya kualitas lingkungan hidup, ancaman kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup masyarakat.

Selain itu, eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengindahkan aspek lingkungan tidak menjadi perhatian bagi pemerintahan di daerah. Tampaknya, Kepala Daerah lebih fokus untuk membangun pencitraan politiknya secara personal (personal branding) ketimbang mengurus dan menjaga keerlanjutan kekayaan sumber daya daerahnya.

Pada sisi lain, kepala daerah yang kritis terhadap pembangunan berkelanjutan belakangan tidak berdaya dengan adanya UU Cipta Kerja Omnibus Law. Seluruh urusan pengelolaan sumber daya daya alam termasuk pertambangan menjadi kewenangan pusat. Proses perizinan tambang yang dipermudah dengan UU Cipta Kerja tidak memberi ruang kritis pada Kepala Daerah untuk mempertimbangkan suatu investasi. Faktanya, investasi di suatu daerah tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara ril dalam masyarakat. Penguasaan sumber daya ekonomi hanya milik para kapital dan pemodal. Masyarakat lokal seringkali hanya jadi penonton dan korban dari

investasi. Tanahnya dirampas dan dihargai murah, sumber-sumber penghidupannya rusak akibat alih pungsi lahan hingga krisis lingkungan akibat kerusakan ekosistem.

Epilog: Menuju Masyarakat Melek Literasi Lingkungan

Sejatinya, demokrasi kita sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Demokrasi dibangun untuk menjawab suatu tuntutan publik untuk hidup lebih baik, lebih sejahtera, berkeadilan serta berkelanjutan.

Dalam konteks ini, narasi lingkungan dalam politik sudah selayaknya menjadi isu fundamental. Pendidikan politik yang dilakukan partai politik tidak hanya diarahkan untuk mendorong partisipasi politik secara formal, tetapi juga memberi pencerahan mengenai hak-hak politik yang harus dipenuhi penguasa. Mulai dari hak mendapatkan penghidupan yang layak, hingga hak dalam mendapatkan kualitas hidup dan kualitas lingkungan hidup terbaik.

Karenanya, demokrasi yang berkualitas perlu diperkuat dengan mewujudkan gerakan civil society yang lebih berdaya. Warga negara yang tidak hanya terlibat aktif memilih dan dipilih setiap kontestasi, tetapi juga melek literasi lingkungan.

Filsuf Fritjof Capra menggaris bawahi mengenai pentingnya warga negara yang melek literasi dengan istilah ecoliterasi. Menurut Capra, ‘Eco’ berakar dari bahasa Yunani yang artinya rumah tangga, atau dalam arti luas berarti alam semesta, bumi tempat tinggal semua kehidupan (lingkungan hidup). Kemudian ‘Literacy’ dari bahasa Inggris yang artinya melek huruf atau dalam pengertian luas yaitu keadaan manusia yang sudah paham tentang sesuatu.

Demokrasi yang dibangun dengan basis warganya yang melek literasi lingkungan akan membuka jalan suatu kepemimpinan politik yang berbasis pada keberlanjutan sumber daya. Pada level inipula, politik akan bergerak lebih produktif, lebih kritis. Masyarakat yang memaham tentang literasi lingkungan tentulah akan memilih calon-calon pemimpinnya baik di parlemen maupun di eksekutif secara kritis. Mereka akan melihat track record calon pemimpinnya secara berhati-hati dan memastikan bahwa visi politik yang dijalankan sungguh-sungguh untuk keadilan sosial dan keberlanjutan sumber daya.

Kita berharap suatu saat demokrasi di Indonesia akan mengarah pada diskursus ecoliterasi, semoga!

KLIK INI:  Aksi Teatrikal Buang Sampah di Balai Kota Tasikmalaya, Inikah Puncak Kemarahan?