Paradoks Politik Hijau

oleh -150 kali dilihat
Paradoks Politik Hijau
Ilustrasi - Foto: Pixabay
Nurhidayatullah B Cottong
Latest posts by Nurhidayatullah B Cottong (see all)

Klikhijau.com – Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sistem politik demokratis dengan ciri khas sebagai negara kesatuan (unitary state) dan memiliki sistem pemerintahan presidensial. Sistem politik Indonesia didasarkan pada Konstitusi Negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan setiap lima tahun. Presiden memiliki kekuasaan eksekutif yang luas dan memimpin pemerintahan secara terpusat. Dan komponen yang paling fundamental dalam negara kita adalah Partai Politik.

Konstitusi yang dikenal sebagai UUD 1945, adalah hukum dasar yang mengatur tata cara pemerintahan negara, hak-hak dasar warga negara, serta prinsip-prinsip dasar sistem politik dan hukum kita. Belakangan Indonesia secara teratur dan serentak mengadakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih presiden, anggota DPR, DPD, dan Pilkada. Dengan dalil bahwa pemilu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis yang transparan.

Sistem politik Indonesia terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan dan ragam partai politik dalam negara kita. Yang menarik dan menjadi isu global terkait “climate change”.

Apakah isu tersebut juga masuk dalam kajian strategis terhadap konsep kemajuan negara kita versi Pemerintah?

KLIK INI:  Saatnya Menerapkan Sederet Cara Berikut Ini Agar Hidup Lebih Sustainability

Kebijakan Lingkungan di Indonesia

Pada prinsipnya, kebijakan lingkungan mencakup berbagai inisiatif dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengelola, melindungi, dan melestarikan lingkungan alam negara kita.

Soal-soal perlindungan hutan, penanganan sampah plastik, konservasi biodiversitas, perubahan iklim, pengelolaan air, pengendalian pencemaran udara, energi terbarukan, perlindungan hutan mangrove, pengelolaan limbah B3 dan partisipasi masyarakat. Tentu saja partisipasi yang dimaksud adalah keterlibatan pada perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan lingkungan.

Termasuk soal MDGs (Millenium Development Goals) ke SDGs (Suistainable Development Goals) yang kian dianggap lebih presisi terhadap pembangunan berkelanjutan yang secara administratis digaungkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2000.

Pertemuan Tingkat Tinggi PBB di New York pada 25 September 2015 secara resmi mengadopsi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, yang mencakup 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan 169 target yang lebih spesifik. Agenda ini diadopsi oleh 193 negara anggota PBB. Salah satu kesepakatan yang menarik adalah nilai implementasi untuk mengukur kemajuan sebuah negara adalah Indeks.

Pembangunan Manusia (IPM). Artinya, logika dasar majunya sebuah daerah atau negara adalah dengan melihat IPMnya.

Lantas, sejauh mana keberpihakan pemerintah soal kebijakan lingkungan saat ini? Sebagai catatan, implementasi kebijakan lingkungan adalah salah satu isu strategis SDGs yang mesti jadi perhatian serius, walau kerap menuai kontraversi dimasyarakat, terutama komunitas hijau. Sebab, pembangunan (konsep kemajuan) kadang dianggap tidak balance dengan etika lingkungan.

KLIK INI:  Tiga Perempat Orang Hidup di Negara tanpa Sumber Daya Alam Berkelanjutan

Paradoks Smart City dan Green City

Konsep  “smart city” dan “green city” mencerminkan sejumlah tantangan dan pertentangan yang terkait dengan upaya untuk menggabungkan teknologi super canggih dalam pembangunan perkotaan dengan tujuan keberlanjutan lingkungan.

Contohnya beberapa daerah kemudian membentuk pusat center atau kerap disebut Command Center. Infrastruktur yang kemudian dianggap keren dengan fasilitas memadai.

Konsep smart city sering menekankan penggunaan teknologi tinggi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas hidup di kota. Ini bisa termasuk penggunaan IoT (Internet of Things), jaringan cerdas, dan analitik data yang canggih.

Namun, penggunaan teknologi ini dapat menghasilkan konsumsi energi yang tinggi dan dampak lingkungan negatif jika tidak dikelola dengan baik. Smart city acap kali melibatkan pengumpulan dan analisis data yang luas untuk memantau dan mengelola berbagai aspek kehidupan kota, seperti lalu lintas, transportasi umum, dan keamanan.

Ini bisa menghadirkan masalah privasi dan keamanan data dalam konteks individu, kelompok maupun kelembagaan. Mobilitas dan kepadatan Kota, ini bisa mencakup pengembangan transportasi umum yang efisien dan otonom.

Namun, peningkatan mobilitas juga bisa meningkatkan lalu lintas dan kepadatan kota, yang dapat memiliki dampak negatif pada lingkungan dan kualitas udara. Pengendalian yang tidak terkendali dapat memperburuk degradasi lingkungan dan ketidaksetaraan sosial.

Untuk mencapai keseimbangan antara smart city dan green city adalah tantangan yang kompleks, tetapi merupakan langkah yang penting dalam membangun kota yang cerdas, inklusif, dan berkelanjutan untuk masa depan. Salah satu contoh mengapa perlu adanya AMDAL sebelum perencanaan pembangunan muncul agar mengevaluasi seluruh elemen dan menetapkan batas toleransi terhadap pembangunan dan kelanjutan ekosistem.

Contoh menarik yang tidak dapat ditiru adalah salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Sinjai. Dimana dalam berbagai sumber yang muncul di media, salah satu pembangunan fasilitas umum yang disebut Alun-Alun pada tahap progress pembangunan, disisi lain AMDALnya baru akan dirumuskan.

Secara logika, bagaimana kalau hasil analisanya (AMDAL) tidak memperbolehkan dibangun Alun-Alun tersebut karena terjadi kerusakan lingkungan? Apakah Pembangunan akan dihentikan? Jika dihentikan bagaimana dengan anggaran yang telah berjalan? Kalau dilanjut akan berdampak jangka Panjang pada lingkungan. Sebuah pilihan yang rumit.

Artinya, ilustrasi proyek pembangunan tersebut seolah AMDAL hanya formalitas belaka, isu lingkungan dianggap angin berlalu. Urgensinya masih dipertanyakan. Itulah kenapa ilustrasi tersebut tidak patut di contoh daerah manapun. Dan perlu disclaimer bahwa ini salah satu contoh kecil di Negara kita, banyak yang lebih fatal.

KLIK INI:  Mengapa Narasi Lingkungan Selalu Absen dalam Kontestai Politik?

Pembangunan dan Kerusakan Lingkungan

Perubahan iklim akibat pembangunan yang tidak pro terhadap lingkungan adalah masalah serius yang berkaitan dengan dampak negatif pembangunan manusia terhadap lingkungan alam. Pembangunan yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan perubahan iklim yang cukup serius dan mengancam peradaban manusia.

Beberapa referensi menyebutkan, seperti; Pertama, Emisi Gas Rumah Kaca. Salah satu kontribusi terbesar terhadap perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan oksida nitrat (N2O), yang dihasilkan oleh pembangunan yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil ini melepaskan GHG ke atmosfer dan menyebabkan peningkatan suhu global.

Kedua, Deforestasi adalah penggundulan hutan untuk keperluan pembangunan, pertanian, dan industri menyebabkan penurunan kemampuan hutan dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Ini juga mengurangi habitat alam dan keanekaragaman hayati. Masih soal Kabupaten Sinjai, sumbangsi terbesar PDBR ada pada bidang pertanian, kehutanan dan perkebunan yang sangat identik dengan soal ini. Sejauh mana kebijakan untuk mengelola hasil yang didapatkan untuk ketahanan lingkungan dimasa yang akan datang. Salah pengeloaan maka potensi alam akan tergerus dan banyak banyak menanti.

Ketiga, soal urbanisasi yang Tidak Terencana, pembangunan kota yang cepat tanpa perencanaan yang baik dapat menghasilkan peningkatan emisi CO2 dari lalu lintas, konstruksi bangunan, dan penggunaan energi yang tidak efisien. Kepadatan penduduk dan kemacetan lalu lintas juga dapat meningkatkan konsumsi energi yang berlebih.

Keempat, Penggunaan Air dan Sumber Daya Tanah yang Tidak Berkelanjutan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan dan perubahan dalam penggunaan lahan, seperti pengeringan rawa-rawa atau konversi hutan menjadi lahan pertanian, termasuk pertambangan yang tidak memenuhi unsur pertambangan (illegal) dapat mempengaruhi iklim lokal dan regional bahkan nasional dan global. Ini bisa menyebabkan perubahan pola hujan, potensi banjir, erosi tanah dan masalah lainnya.

Kelima, Penanganan limbah yang buruk dan pencemaran lingkungan dapat mengganggu ekosistem dan berkontribusi pada perubahan iklim melalui pelepasan bahan kimia beracun dan penghancuran habitat sedikit demi sedikit. Pembangunan yang diluar prinsip-prinsip SDGs juga dapat membuat komunitas lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, kenaikan permukaan laut, dan perubahan suhu yang ekstrem.

KLIK INI:  Apa Itu Keberlanjutan atau Sustainability?

Potret Kerusakan Lingkungan

Sangat segar diingatan kita tentang beberapa peristiwa yang disebabkan oleh manusia (korporasi) beberapa dekade terakhir.  Seperti perambahan hutan yang terjadi sejak 1980-an di wilayah Kalimantan dan Sumatera dengan maksud untuk perkebunan sawit, pertambangan batu bara, dan pembangunan infrastruktur telah menyebabkan deforestasi yang besar di kedua pulau ini, pun selain itu Kebakaran Hutan marak terjadi hampir tiap tahun di musim kemarau.

Lalu kita area tengah, ada pencemaran Sungai Citarum, Jawa Barat sebagai salah satu sungai yang terkenal paling tercemar di dunia karena pencemaran industri dan domestik, serta masalah persampahan. Lalu destinasi paling banyak dikunjungi wisatawan, selain pantainya yang indah juga terkenal dengan kerusakan terumbu Karang di perairan sekitar Bali.

Konflik Pertambangan di Papua dan daerah daerah lain yang memiliki potensi pertambahan, seperti kalimantan, maluku dan sekitarnya serta sebagian sulawesi tentunya. Bahkan Kabupaten kabupaten tertentu, cenderung ditemukan ilegal mining. Contoh, sebut saja Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan, belakangan salah satu kawan yang tengah menyusun tesis perihal tema terkait menemukan beberapa pertambangan galian c yang tak berizin, beroperasi tanpa izin alias ilegal. PeDenya, pemerintah menarik pajak dari situ dan menjadikan pertambangan dan penggalian sebagai salah satu target empuk penarikan pajak. Apakah? itu menjadi alasan  terus beroperasi karena seyogyanya pemerintah dapat bagian? Para penyuka informasi boleh mengkonfirmasi langsung ke Pemerintah setempat terkait soal itu, sebab lumayan menarik untuk diulas.

Penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan penangkapan ikan secara ilegal telah mengancam populasi ikan dan keberlanjutan sumber daya laut, Kenaikan Permukaan Air Laut yang berdampak besar pada wilayah pesisir Indonesia, menyebabkan banjir, erosi, dan ancaman terhadap komunitas pesisir.

KLIK INI:  Komitmen Lingkungan, Gojek Targetkan ‘Three Zeros’ pada 2030

Partai Politik dan Ideologi Lingkungan

Sebagai hal yang paling fundamental dalam negara kita. Bagian ini akan fokus pada Partai politik dalam peranannya mengatasi masalah lingkungan. Peran mereka dapat bervariasi tergantung pada platform dan komitmen partainya.

Pembentukan Kebijakan Lingkungan erat kaitannya dengan kekuasaaan yang dimiliki Partai politik dalam parlemen. Ia dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan lingkungan di pemerintahan, baik di leval lokal maupun nasional. Mereka dapat mendorong kebijakan yang mendukung pelestarian alam, pengurangan emisi gas rumah kaca, perlindungan sumber daya air topik lainnya yang pro terhadap environmental ethic.

Kontrol Terhadap Perusahaan dan industri. Pengaruh besar terhadap perusahaan dan industri dalam mengawasi praktik-praktik yang merusak lingkungan dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.

Juga, secara spesifik partai politik dapat mendorong investasi dalam energi bersih dan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Termasuk Kemitraan Internasional untuk mengatasi isu-isu lingkungan global seperti yang kita ulas dari awal.

Selain berperan penting dalam membangun itu semua, partai politik sebagai center dapat memberikan pendidikan politik yang diiringi kebijakan yang maksimal. Tanpa itu nihilisme. Pertanyaannya, problemnya, partai politik mana yang bisa dilabeli sebagai partai hijau? Saya rasa anda paham yang saya maksud bukan soal warna jaketnya. titik.

KLIK INI:  Kota dan Tumpukan Sampah di antara Lapis-lapis Kesadaran

Asbabunnuzul “Green Politic”

Green politic atau dalam bahasa keseharian kita adalah politik hijau. Peristiwa yang sebenarnya memiliki akar yang cukup dalam adalah pada awal Abad ke-20. Pembentukan Taman Nasional di Amerika Serikat sebagai salah satu momen keberpihakan pada lingkungan secara kelembagaaan dan berbagai upaya konservasi alam.

Buku seperti “A Sand County Almanac” karya Aldo Leopold (1949) memainkan peran penting dalam kesadaran akan pentingnya pelestarian alam. Ditahun 1960-an pula, munculnya gerakan lingkungan modern, terutama di Amerika Serikat, dengan peristiwa seperti pencemaran Sungai Cuyahoga dan penerbitan buku “Silent Spring” karya Rachel Carson (1962). Ini mendorong legislasi lingkungan yang lebih ketat Juga, membuka cakrawala berpikir manusia soal lingkungan di masa itu.

Tahun 1970, hari Bumi pertama kali dirayakan dan lembaga-lembaga lingkungan seperti Greenpeace dan Friends of the Earth didirikan. Pada tahun 1972, Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia diadakan di Stockholm, yang menjadi tonggak penting dalam diplomasi lingkungan internasional.

Delapan tahun kemudian, tahun 1980 muncul partai-partai politik hijau di Eropa, seperti Partai Hijau Jerman, yang memperjuangkan isu-isu lingkungan dalam politik nasional. Lalu, Konferensi Bumi Rio pada tahun 1992 menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim dan Konvensi Kerangka Kerja tentang Keanekaragaman Hayati. Ini adalah upaya internasional untuk mengatasi isu lingkungan secara global.

Kemudian awal abad 21. Perubahan iklim menjadi salah satu isu utama di seluruh dunia. Kesepakatan Paris pada tahun 2015 adalah salah satu tonggak penting dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Gerakan politik hijau terus berkembang dan berperan dalam mendorong kebijakan-kebijakan lingkungan yang lebih ketat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Termasuk di Indonesia.

KLIK INI:  Antara Patroli, Penyadartahuan, dan Durian

Sejarah Politik Hijau di Indonesia

Di Indonesia, Partai Hijau pertama kali muncul pada tahun 1999 yang diinisiasi salah satu tokoh lingkungan, Prof. Emil Salim. Adalah seorang ekonom dan mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Dikenal sebagai salah satu advokat lingkungan terkemuka di Indonesia dan telah berperan dalam mengangkat isu-isu lingkungan dan keberlanjutan dalam politik Indonesia.

Emil Salim bersama dengan sejumlah aktivis lingkungan turut berperan dalam pembentukan PHI. Walau PHI sudah terbentuk, namun belum berhasil memenangkan kursi parlemen dalam skala besar. PHI memainkan peran penting dalam mengangkat kesadaran akan isu-isu lingkungan dalam politik Indonesia.

Histori advokasi, Ada perlawanan terhadap Deforestasi. Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat deforestasi tinggi. Gerakan lingkungan, aktivis, dan LSM bekerja keras untuk memerangi deforestasi, terutama terkait dengan perkebunan kelapa sawit dan industri kayu. Juga beberapa erta kaitannya terhadap Kasus HAM.

Sederet kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan yang besar seperti kasus Lapindo mudflow di Sidoarjo pada tahun 2006 telah memicu protes dan perjuangan hukum oleh aktivis dan LSM lingkungan.

Dalam catatannya, walau dilevel internasional, partisipasi Indonesia sebagai peserta aktif dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB dan telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkuat mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pengakuan Keanekaragaman Hayati dan Kesadaran Lingkungan Masyarakat, terutama millenial dan gen z secara statistik cenderung positif peduli terhadap Lingkungan. Namun, catatan baik itu lagi-lagi sebagian besarnya hanya sebatas retorika, seperti yang sampaikan Jokowi, Presiden RI dalam KTT G20 di Bharat.

Hal baiknya, konsep politik hijau sedikit demi sedikit mulai terlihat sebagai rencana prioritas untuk pembangunan yang berkelanjutan. Lalu, jika Presiden sudah peduli? Bagaimana dengan pelaksana teknis, pemerintah daerah hingga desa. Akankah kebijakannya pro terhadap lingkungan? Selalu menarik diulas dalam berbagai diskursus ilmiah.

KLIK INI:  Tentang Labolontio dan Serang