- Bagaimana Tanaman Mendengarkan Kita? - 21/04/2024
- Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia - 28/12/2023
- Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa - 10/11/2023
Klikhijau.com – Dalam beberapa dekade terakhir, ada ratusan kota di dunia laksana terpanggang oleh sengatan panas (beat stroke). Kota-kota laksana neraka yang membakar penghuninya. Suhu panas terus meningkat drastis, hingga tibalah kita pada suatu keyakinan penuh: pemanasan global (global warming) sungguh-sungguh nyata. Ia bahkan bergerak lebih cepat dari yang diprediksi ilmuan.
Jangan-jangan, ini belumlah apa-apa. Boleh jadi kita baru di tahap-tahap awal menuju suhu terpanas yang kelak melumpuhkan aktivitas manusia di luar ruangan di siang hari.
David Wallace-Wells dalam bukunya “The uninhabitable earth” mengulik hal ini. Kata David, suhu bumi yang terus menanjak akan mengantar kita pada malapetaka super ekstream. Bumi, kelak tak bisa berpenghuni.
Trend angka kematian yang meningkat tajam di sejumlah kota-kota di dunia akibat gelombang panas terik, satu fakta empirik yang tak terbantahkan. Tragedi dibalik sengatan panas itu telah menewaskan 2.500 orang di India pada 1998. Dua tahun kemudian, tercatat ada sekira 55.000 orang tewas karena gelombang panas di Rusia. Sejak 2016, David juga mencatat bahwa gelombang panas telah memanggang Timur Tengah dengan suhu melebihi 37 derajat Celsius. Di Arab Saudi, suhu panas bahkan mencapai 48 derajat Celcius yang dikenal dengan musim-musim terberat bagi muslim yang menjalankan ibadah haji dan umroh dalam beberapa tahun terakhir.
Bayangkan, betapa gelombang panas hingga 35 derajat Celcius mencekik AS bagian selatan yang puncaknya amat terasa di medio 2023. Demikian pula Afrika Utara yang suhunya mendekati panas membara hingga 50 derajat Celcius.
Dikutip Reuters, Pusat Prediksi Lingkungan Nasional AS kemudian mengumumkan bahwa tahun ini adalah hari-hari terpanas yang pernah tercatat secara global. Gelombang panas telah mendesis di seluruh dunia dan kini telah kita rasakan sama-sama. Suhu panas tak hanya membakar kulit, mendidihkan otak, memantik stres kolektif – juga ketimpangan sosial yang menganga.
Kota dan ruang tertutup
Beberapa dekade terakhir, penduduk dunia terus bergerak mengepung kota. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa dua pertiga penduduk dunia akan hidup di kota-kota di tahun 2050 mendatang. Prediksi ini berpotensi bergerak lebih cepat.
Kota-kota di dunia seolah tiada henti menghadirkan fatamorgana dan ilusi kesejahteraan. Orang-orang datang dari segala penjuru menyesaki kota sebagai visi masa depan dan demi impian menjadi manusia mutakhir.
Pada ruang kota yang disesaki jutaan orang itu, suhu panas terus meningkat. Selain karena pergerakan manusia berebut sumber daya dan menggunakan energi untuk hidup—kota kini disulap dengan infrastruktur super canggih yang melulu berbau bangunan fisik. Mulai dari sarana transportasi publik, fasilitas hiburan, pusat kuliner dan kawasan pemukiman untuk menampung populasi manusia yang meroket berlipat ganda. Kota terus dibanjiri manusia, meski bola panas melingkupinya.
David Wallace mencatat bahwa ada sekira 354 kota besar di dunia saat ini dengan suhu musim panas maksimum rerata 35 derajat Celcius bahkan beberapa lebih tinggi. Diprediksi, pada 2050 mendatang, akan bertambah jumlahnya mendekati angka 1.000 (seribu) kota di dunia dengan sengat suhu panas memanggang.
Kota-kota akan menjelma layaknya mesin oven kue yang membuat otak manusia mendidih. Bakal ada sekira 1 miliar orang berisiko kena stres akibat panas. Juga ancaman kematian hingga ratusan ribu jiwa akibat efek langsung panas tak terhindarkan. Demikian David Wallace menggambarkan situasi terburuknya perihal kenaikan suhu bumi saat ini dan tahun-tahun mendatang.
Ilmuan iklim Friederike Otto dari Institut Perubahan Iklim dan Lingkungan Grantham di Imperial College London Inggris menyebut era ini sebagai tonggak sejarah yang tak layak dirayakan. Ia bahkan menyebut situasi ini sebagai hukuman mati bagi manusia dan ekosistem. Selain sebagai tahun terpanas, 2023 juga tercatat menempati rekor baru meningkatnya emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca plus EL Nino yang mendorong suhu ke catatan terburuk sepanjang masa.
Kota kini ibarat ruang tertutup yang pengap dan dilingkupi bola-bola api. Kota panas membakar dengan durasi lebih panjang di setiap tahunnya. Lalu, dalam situsasi ini pula sebagian besar kota-kota di dunia dirundung ketimpangan sosial. Kemiskinan dan tersingkirnya penduduk asli akibat alih fungsi lahan dan pembangunan yang tak menimbang keberlanjutan (sustainability).
Celakanya, warga miskin dan pinggiran adalah klister sosial paling rentan akan dampak dari gelombang suhu panas. Pada level paling dasar, menurunnya kualitas lingkungan di perkotaan seperti kualitas udara yang buruk, sanitasi hingga akses air bersih telah memperburuk situasi. Belum lagi adanya kelangkaan sumber daya yang berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita, kesehatan yang terganggu hingga meningkatnya angka kriminalitas.
Ketimpangan dan kota masa depan
Pada akhirnya kita perlu memikirkan ulang bagaimana kota-kota di dunia dibangun dan bagaimana segenap kemewahannya itu justru menggerus dua hal. Pertama, lenyapnya kekayaan tak kasat mata bernama kebudayaan (culture). Plus nilai-nilai luhur yang pernah dianut warganya berpuluh bahkan beratus tahun sebelum hasrat membangun kota dikuasai segelintir pemodal atas nama pembangunan.
Kedua, laju infrastruktur yang tak berorientasi jangka panjang dan mengebiri daya tampung lingkungan (carring capacity). Tidak sedikit kota-kota besar di dunia dibangun di atas penderitaan kelompok marginal, punahnya keanekaragaman hayati bahkan lenyapnya situs-situs bersejarah.
Untuk konteks Indonesia, kota-kota telah dikepung masalah sosial dan ekologi jauh sebelum dampak krisis iklim memperburuk situasi.
Meski demikian, tak sedikit pun menyurutkan laju urbanisasi dari waktu ke waktu. Kota tetaplah impian dan pusat-pusat uang dihabiskan dalam semalam-dua malam. Kita terlalu hipokrit mengakui bahwa desa-desa sedang dibangun agar pemerataan pembangunan terlaksana dan agar kota tak sesak menampung impian dari pelosok – faktanya, segala sumber daya di desa diboyong pula ke kota dengan ragam cara. Melalui Pendidikan, gaya hidup, hingga politik yang semakin pragmatis membawa semangat urban yang individualistik.
Karena itu, sudah saatnya kita mengoreksi langkah dalam menumbuhkan kota. Kota tak lagi bisa dibangun dengan nalar serampangan ala paradigma antroposentrisme yang melihat pembangunan berpusat pada manusia.
Membangun kota perlu disulut dari semangat yang holistik dan futuristik. Perlu mengalokasikan sumber daya untuk menyiapkan warga kota sebagaimana dipikirkan Pritjof Capra, warga yang melek literasi lingkungan (eco literasi). Dengan begitu, segenap warga kota secara kolektif akan melibatkan diri dalam aksi-aksi pemulihan lingkungan karena kesadaran utuh memandang bumi sebagai natural capital.
Langkah ini hanya bisa terwujud ketika di level kebijakan (policy), para pengambil kebijakan menganut satu pendekatan holistik dan transdisipliner yang diperkenalkan oleh Jamie D Bastedo (1984) bahwa sumber daya harus dikelolah dengan menimbang aspek ABC (abiotik, biotik and culture).
Dua hal ini perlu terus disuarakan demi menjaga asa tetap optimis dapat terus bergerak dalam aksi-aksi pemulihan bumi dan tidak terjebak dalam kurungan Peti sebagaimana imajinasi penyair Taufiq Ismail tentang kisah Fariduddin Attar yang melihat dunia seperti peti dimana orang-orang terkurung di dalamnya hanya sedang sibuk membuat peti-peti kecil.