Kisah Para Pemburu Buah Dao di Pesisir Sungai

oleh -247 kali dilihat
Kisah Para Pemburu Buah Dao di Pesisir Sungai
Pohon Dao - Foto: Wikimedia.org
alfian nawawi

Klikhijau.com – Tidak ada ‘mesin waktu’ terbaik untuk pulang sejenak ke masa silam, selain mengendarai kenangan. Dengan ingatan, kita bisa tiba ke sebuah lekuk waktu di masa kecil saat wajah berkerut menikmati buah Dao.

Buah Dao atau Dracontomelon merupakan spesies tumbuhan berkayu dari keluarga Anacardiaceae, merupakan buah lawas paling diminati.

Pohonnya tidak mudah dipanjat begitu saja. Selain jaraknya yang jauh, harus melewati pinggiran sungai dan menerabas rawa-rawa di tepi hutan kecil, batangnya pun terlampau besar untuk ditaklukkan oleh kami.

Namun, anak-anak desa adalah para petualang yang selalu beruntung. Salah satu atau dua orang teman yang paling jago memanjat dijadikan pionir. Endingnya mudah ditebak, para pemanjat lebih banyak menikmati dao di atas pohon.

Sementara kami yang menunggu di bawah pohon hanya bisa menelan air liur. Kalaupun ada buah dao yang dijatuhkan, kualitasnya beda jauh dengan dao yang  di saku celana para pemanjat.

Air sungai mengalir seperti tarian indah dengan batu-batu kecil yang  di dasarnya. Cahaya matahari menembus celah-celah daun pohon dan menciptakan refleksi gemerlap di permukaan air yang tenang .

KLIK INI:  Mangrove sebagai Pelindung Alami Garis Pantai

Di sekitar sungai, menjulanglah pohon-pohon yang gagah dan menjuntai dedaunan hijau. Cabang-cabangnya mengelilingi langit biru seperti tangan-tangan raksasa yang merangkul dunia.  Pohon-pohon itu adalah penjaga alam yang teguh, menopang langit dengan rimbunnya dedaunan dan akar-akar yang meluas di dalam tanah.

Burung-burung kecil, kami menyebutbya ‘dong dongi’  riang berkicau  menyambut matahari yang pulang saat petang dan datang saat fajar.   Kupu-kupu dengan sayap berwarna-warni menari-nari di antara bunga-bunga yang mekar. Dan jaman itu belum ada yang mengenal aglonema, padahal bunga-bunga hias yang mahal bebas tumbuh liar dan saat itu belum ada kaum emak-emak pencinta bunga hias.

Kehadiran serangga-serangga yang kecil dan tak terhitung jumlahnya mengisi ruang dengan getarannya yang halus, menjadi bagian tak terpisahkan dari simfoni alam yang ajaib. Menangkap jangkrik? Ah itu sudah rutinitas yang wajib. Kandangnya sangat unik, karena dikurung ke dalam sebuah kotak terbuat dari ‘bilopa’, yang sengaja didesain mirip radio transistor. Saat malam tiba, para jangkrik pun ‘menyiar’ mengiringi kami yang menuju mimpi malam.

Pada masa itu, belum banyak ‘bundu-bundu’, istilah untuk UMKM warung kecil, yang menjual snack berbagai merk seperti hari ini. Kami menyebutnya ‘garoppo’. Praktis, anak-anak kecil seperti kami lebih leluasa punya alasan untuk menjelajahi pohon-pohon yang buahnya bisa dijadikan camilan.

Selain dao, ada pula buah yang rasanya sangat menyebalkan, yaitu songi. Rasanya kecut sekali. Namun buah yang paling ‘meresahkan’adalah ‘settung’, jenis lainnya adalah ‘kacapi’. Betapa tidak meresahkan, jauh kami berjalan tapi kerap ada yang lupa membawa garam.

KLIK INI:  Kabar Buruk, Kopi akan Punah

Kampung kami, Palampang, di utara Kabupaten Bulukumba,  punya beberapa area paling mengesankan di bagian pinggirannya. Kami kerap menjelajahi Liku Bajang yang   menantang, melintasi Hakke Bahie yang sebenarnya di masa sekarang adalah serupa ‘tempat uka-uka’.

Kadang kami berendam berlama-lama di sungai yang mengalir dengan riang. Mandi di pancuran dengan derasnya air yang menyegarkan.

Namun , kami tidak pernah bertemu dengan babi hutan. Anehnya, saat kami dewasa, babi hutan justru sering muncul di ladang-ladang para petani,  Apakah wilayah kekuasaan mereka terganggu? Babi hutan, yang tak pernah kami jumpai di masa kanak-kanak, tiba-tiba muncul dengan ganas.

Tak heran, perburuan babi hutan kadang dilakukan oleh para pemburu resmi dengan ekspedisi berilid-jilid. Namun babi hutan tak kunjung tertumpas. Agaknya, babi hutan mampu menjaga populasi mereka dengan baik.

Apakah kelangkaan sumber makanan di kawasan hutan mendorong mereka menyerbu lahan pertanian dan ladang? Entahlah.

Di sepanjang rute petualangan kami masa kecil dulu, tidak ada secuil pun sampah plastik. Ada sejumlah sampah namun bisa diurai oleh alam, seperti daun pisang bekas pembungkus kue putu, sanggara unti, apem, atau pun cacing umpan untuk memancing yang ditinggalkan oleh orang-orang dewasa.

Tidak ada sampah plastik karena masa itu kami nyaris tidak pernah makan snack. Ritel-ritel belum ada. Bundu-bundu belum menjual segala macam ‘kue aneh’ yang ringan dan tak mengenyangkan seperti sekarang

Kami jadi punya mimpi kampung kami dipenuhi bundu-bundu yang menjual khusus gogoso dan lemmang di pagi hari. Ada yang menjual tenteng dan kue-kue tradisional lainnya. Dan tentu saja tidak ada yang dibungkus plastik. Hanya satu yang tidak boleh dijual, yaitu buah songi!

KLIK INI:  Antara Patroli, Penyadartahuan, dan Durian