Resep Masakan dari Sungai

oleh -46 kali dilihat
Ilustrasi-foto/Pinterest
Nona Reni

Di tengah kemelut ketidak-stabilan ekonomi yang melilit leher rumah tangganya. Wardi memutuskan melangkah ke sungai.

Di sungai itu jika tak mancing, ia akan menyisir hingga hulu sungai dan menyetrum ikan atau udang-udang kecil.  Jika airnya kebetulan surut, maka ia akan mengumpulkan sampah botol-botol plastik. Botol itu akan ia masukkan ke dalam karung lalu dipanggul pulang.

Seharian Wardi berdiam diri di sungai, puasa membuatnya tak ingin berendam dalam air. Nanti jadi makruh, ia teringat ceramah Pak Ustadz semalam sebelum taraweh.

Di kampung, jika Ramadhan, masjid akan ramai oleh dakwah kiai. Biasanya kelar tarawehan jam 10 malam. Banyak yang menyimak sambil menahan kantuk, ada pula yang menahan ingus yang seakan hendak jatuh.

KLIK INI:  Pada Banyak Hal, Aku Ingin

Begitulah warga kampung, tak ingin mereka lewatkan tarawehan meski kesehatan mereka sedikit terganggu.

Sore jelang buka Mawardi baru pulang dari sungai. Tak ada ikan atau udang kecil hasil setrum dan pancingan. Hanya ada sebuah buku.

“Aku menemukan ini.”

Istrinya, Hawalia mengambil dan mencermati buku itu.

ANEKA RESEP MASAKAN PADANG.

Begitu yang tertulis di sampul buku itu.

Hawalia yang menunggu suaminya membawa sedikit lauk terpaksa menelan kecewa. Entah kali berapa dapurnya kosong, dompetnya kosong dan lauk pun ikutan kosong. Hanya ada air mineral saja dalam galon. Isinya juga tak lebih dari sepuluh gelas.

KLIK INI:  Kemarau Ingatan

Air mata Hawalia hampir jatuh. Kemiskinan benar-benar telah menggenggam erat tangannya.

Ia berpikir, andai dulu tak menikah dengan Wardi pengangguran desa itu, mungkin ia tidak akan semenderita itu. Andaikan dulu ia tak tertarik dengan kegantengan Wardi dan rela dipersunting hanya bermodalkan cinta, mungkin nasib dan garis tangannya akan berbeda. Dahulu banyak lelaki yang menggilainya.

Kini, badannya semakin kurus, tak terawat dan kumal. Tak ada lagi yang tertarik padanya apalagi ia mempunyai empat anak yang hanya selisih satu-satu tahun.

Dengan tangan bergetar, dibukanya buku itu. Resep pertama Ayam Cabai Hijau.

“Kapan aku terakhir kali makan ayam?”

Pertanyaan itu muncul di kepala Hawalia. Rasanya sudah bertahun-tahun ia tak makan ayam. Uang yang diberi oleh Wardi tak pernah cukup untuk menebus harga daging ayam murah sekalipun.

Ingatan tentang rasa daging dan kuah ayam yang kental semakin menggila di kepalanya. Hampir-hampir Hawalia meneteskan air liurnya.

“Astgafirullah, lagi puasa.” Gumamnya.

KLIK INI:  Toraja di Waktu Senja yang Hujan

Tapi, matanya tak bisa lepas dari buku masakan itu. Dibacanya lagi, resep ayam goreng balado, kari ayam, rendang bola daging, gulai sotong, kambing cincang. Lagi-lagi, Hawalia mengingat kapan terakhir kali ia memakan masakan enak itu.

Ia hitung-hitung lagi usia pernikahannya dengan Wardi. Tujuh tahun. Ya tujuh tahun sudah ia tidak pernah lagi menikmati semua itu. Tujuh tahun lalu terakhir ia mencicipi masakan itu ketika resepsi pernikahannya. Lepas itu, Wardi membawanya keluar dari rumah orang tuanya dan memilih mengontrak.

Sebagai pasangan muda, Wardi tak punya keterampilan apa-apa. Hanya satu yang ia kuasai. Keterampilan di atas ranjang. Hal itu pula yang membuat Hawalia tiap tahun harus rela ngeden di depan bidan desa.

“Tutup kandungan saja. Anakmu loh sudah empat.” Begitu tawar bidan desa waktu ia melahirkan anak bungsunya.

“Tidak, kata Pak Ustadz banyak anak banyak rejeki.” Kata Wardi.

Tanpa berkata-kata lagi, bidan desa itu meninggalkan ruangan. Mungkin bidan itu tak habis pikir kenapa usulannya ditolak.

KLIK INI:  Hujan yang Berhenti di Bibirmu

Hawalia sebenarnya setuju ia tutup kandungan. Baginya memelihara empat anak terlalu berat. Untuk mencukupi gizi keempatnya ia harus rela berpuasa. Jika tak, ia akan memakan sisa-sisa anaknya.

Pernah terbesit keinginan Hawalia untuk pergi jauh, mencari kerja dan hidup bebas menjauh dari kemiskinan. Tapi ia tak rela meninggalkan anak-anaknya.

Selain mengasuh anak, ia tak punya keahlian lain. Di tatapnya kembali buku resep masakan itu, sambil membayangkan betapa enaknya seandainya aneka masakan itu tersaji di atas meja makannya.

***

Rutinitas Wardi tetap sama, menyisiri sungai setiap hari. Tak lama lagi rutinitas itu akan berhenti. Ketika hujan siang malam mulai bertamu. Ia tak bisa lagi menyungai.

Di kolong rumahnya, banyak barang rongsokan dan dianggap tak berguna oleh orang lain yang ia kumpulkan dari sungai. Ia selalu khawatir jika barang-barang yang susah payah dikumpulkan akan kembali ke sungai terseret banjir.

Karena, setiap ke sungai ia tak pernah lagi fokus mencari ikan atau udang. Ia hanya ingin membersihkan sungai itu. Agar ketika hujan siang malam bertamu. Rumahnya bisa terbebas dari banjir.

“Berhenti ke sungai, malu sama tetangga kamu jadi pemulung, jadi tukang bersih,” tegur Hawalia geram.

Wardi tak menggubris teguran dan kemarahan istrinya. Ia tetap saja ke sungai. Sehabis salat Subuh. Ia telah menyisiri sungai. Membebaskannya dari sampah.

KLIK INI:  5 Peristiwa Alam yang Hanya Bisa Dijumpai di Musim Hujan

Cibiran warga kampung menyengat telinganya. Namun, demi menyelamatkan barang-barang yang didapatkan dari sungai. Ia juga tak menggubris cibiran itu.

Aksinya itu, membuat istri Pak Ustadz simpatik. Ia yang biasa membuang sampah ke sungai menghentikan kebiasaannya.

Ia merasa tertampar dengan aksi Wardi, yang menerapkan hidup Islami—menjaga kebersihan lingkungan.

KLIK INI:  Geliat Positif dari Bank Sampah 'Butta Barakka' SD Inpres Pannara Makassar

Istri Pak Ustadz bertekad, setiap jelang buka puasa. Ia akan menyiapkan makanan untuk Wardi dan keluarganya. Tekad itu benar-benar diwujudkan.

“Ini imbalan Wardi yang membersihkan sungai,” jelas Istri Pak Ustadz ketika membawakan makanan buka puasa untuk keluarga Wardi.

Hawalia membukanya ketika istri Pak Ustadz telah pergi. Betapi melelehnya liaurnya. Masakan itu, seperti yang tersaji di buku resep makanan yang dibawah Wardi dari sungai. Air matanya menggerimis.

KLIK INI:  Mengenang Ajip Rosidi dalam 9 Puisinya yang Bercerita tentang Alam

Ketika Pak Ustadz mengetahui apa yang dilakukan istrinya kepada keluarga Wardi. Ia pun ingin menyampaikan pada jamaah taraweh agar tak membuang lagi sampah ke sungai. Ia ingin mengajak warga setiap hari Jumat, diadakan pembersihan sungai. Dan Wardi ditunjuk sebagai penanggung jawabnya.

Apa yang dilakukan warga kampung itu, sampai ke telinga Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten. Pihak DLHK pun mengunjungi rumah Wardi membawa bantuan.

Wardi juga diundang ke DLHK Kabupaten untuk mendapat penghargaan sebagai pejuang lingkungan.

***

Ketika hujan siang dan malam akhirnya bertamu. Banjir yang menjadi langganan tahunan tak lagi terjadi. Barang-barang rongsokan Wardi di kolong rumahnya tak kembali ke sungai.

Barang-barang itu, dengan pendampingan dari DLHK Kabupaten didaur ulang menjadi barang yang lebih berguna. Banyak ibu rumah tangga yang dulu mencibir keluarga Wardi menjadi pekerja daur ulang di rumah Wardi yang kini menjadi “kantor” Bank Sampah.

Hawalia tak pernah lagi marah jika Wardi ke sungai. Namun, kini ia punya masalah lain. Rasa cemburu yang membakar. Karena Mawardi menjadi idola ibu-ibu di kampungnya.

Setiap cemburu menguasainya, Hawalia akan membuka buku resep makanan padang yang dibawah Wardi dari sungai. Lalu mempraktikkan isinya. Sesekali ia berpikir akan menuang racun tikus ke dalamnya lalu diberikan kepada Wardi. Namun, setiap pikiran itu muncul, ia akan beristigfar berkali-kali.

KLIK INI:  Warani