Tidak Ada Senja di Hutan Camba

oleh -99 kali dilihat
Ilustrasi suasana senja
Ilustrasi suasana senja-foto/Pixabay-Zyzyka
Ilham Aidil

Sore itu Firman mampir di sebuah warung, perbatasan Bone-Maros setelah perjalanan yang cukup lama. Ia berangkat dari Bone kota, dari pukul dua siang. Harusnya sudah tiba di Makassar sebelum Magrib, tapi siapa yang bisa menduga, motor yang dikendarainya, bannya kempis dan bocor halus, karena tidak ada bengkel yang dekat, ia mesti mendorong motornya sekitar satu kilometer jauhnya.

Firman sebenarnya menyukai kopi hanya karena asam lambungnya biasa naik ketika minum kopi, ia memutuskan berhenti minum kopi beberapa bulan ini. Dan itu ujian berat baginya. Ia hanya memesan Indomie telur dan air mineral.

Tadi malam ia dapat kabar dari dosen pembimbingnya untuk bertemu terkait skripsinya yang sudah berjalan tujuh puluh lima persen. Tinggal sedikit lagi. Kabarnya dosennya akan ke Australia mengambil short course selama enam bulan. Dan itu berarti ia mesti menunggu sampai dosennya kembali. Sedang waktu wisuda periode terakhir sisa sembilan puluh hari lagi. Mesti menunggu tahun berikutnya lagi.

Besar harapan ia mesti menyelesaikan kuliahnya tahun ini, ingin menyenangkan kedua orangtuanya, dan juga tahun ini tahun keenam dia di kampus, sudah hampir DO, tapi apa boleh buat, harapan itu pupus.

KLIK INI:  Ditetak Ayah

Hujan yang turun seperti menambah gerimis di dadanya. Hijau daun sepertinya tidak memberi warna pada jiwanya yang berubah kecokelatan. Ia seperti disergap rasa cemas dan lelah. Terlihat dari raut wajahnya.

Saat menikmati mie yang sudah disajikan di depannya, Ia menerima pesan di HPnya dari Tenri, memintanya agar bertemu di Kafe Mizuta Makassar malam ini. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya. Tapi tidak bisa lewat telepon. Ia berupaya menenangkan dirinya.

Sepanjang perjalanan lelaki itu jalan menurun dan menikung di Mallawa. Tapi di matanya jalan itu seperti lurus saja. Atau karena sudah terbiasa melaluinya. Berkilo-kilo dilewatinya seperti tidak ada hambatan. Mobil bermuatan berat yang ada di depannya bisa dilewatinya dengan mudah. Menyalip di sela jalan yang sempit. Menerobos jalan yang berlubang. Seperti sudah diperhitungkannya dengan baik.

Tidak ada pemandangan memukau selain hutan-hutan yang rimbun yang dilaluinya. Monyet-monyet yang masyarakat setempat menyebutnya dare biasa berdiri di pinggir jalan itu menunggu makanan dari orang yang lewat, tidak kelihatan.

Tidak ada senja, ini Camba. Jalannya membelah hutan, licin, dan banyak sisa bongkahan batu yang terpotong. Gelap datang lebih cepat karena mendung dan hujan. Untungnya jalan poros Kappang-Camba tidak tutup, karena perbaikan jalan, proyek negara yang sudah bertahun-tahun lamanya belum juga tuntas. Padahal sudah banyak pohon yang dikorbankan untuk pelebaran jalan itu.

KLIK INI:  Setangkai Bunga Surga

Semenjak proyek nasional itu dijalankan, alat-alat berat dan para pekerja diturunkan ke lapangan, hutan yang dilalui tidak lagi begitu mistis. Juga sudah ada beberapa warung kecil di pinggir jalan, yang setiap saat orang bisa mampir.

Hutan tetaplah hutan yang mesti dipelihara dan dijaga. Jika tidak, bisa menimbulkan bencana di kemudian hari. Longsor, banjir dan satwa-satwa akan kehilangan tempat tinggalnya.

Firman sepertinya menyimpan sesuatu yang belum bisa diungkapkannya sekarang tentang Tenri. Lelaki berambut gondrong itu seperti didesak rasa penasaran yang berlebihan. Harus menemui Tenri malam ini. Titik.

“Kita ketemu sebentar jam 8 di kafe Mizuta. Penting.” Begitu isi chat Tenri ke Firman.

Entah kenapa kata-kata Tenri selalu menjadi kata perintah yang tidak bisa ditolak oleh Firman. Ia terlihat begitu payah dan selalu mengikuti kemauan Tenri.

Menyadari senja tidak akan ada di Camba, ia mempercepat laju kendaraannya yang sebentar lagi malam. Firman sebenarnya bukanlah lelaki senja ataupun gerimis. Ia orangnya datar-datar saja. Namun semenjak mengenal Tenri, ia belajar mengenal apa itu senja. Meskipun sampai sekarang ia tidak tahu apa maknanya. Ia bukan orang yang puitis apalagi romantis. Apa karena ia dari jurusan Matematika murni. Bisa dibilang ia pendukung bumi datar, bukan bulat. Baginya keindahan hanyalah melihat wajah Tenri, bukan senja. Perempuan yang memiliki lesung pipi di pipi kanannya itu.

KLIK INI:  Pamata

Tenri dan Teori Al Jabbar tentang persamaan, sama rumitnya. Hanya saja mempelajari Tenri jauh lebih rumit dan tidak ada rumus paten untuk memecahkannya. Kepala Firman seperti hutan. Penuh belantara, kadang berlumut.

Dan lebih mengherankan lagi Tenri adalah anak kehutanan sementara ayah Tenri adalah seorang guru yang Hobbi berkebun.

Bagaimana mereka bisa saling mengenal masih menjadi sebuah misteri.

Malam itu Firman tiba di Antang dengan kuyup, mantel yang dikenakannya tidak cukup menahan hujan berjam-jam lamanya dan melewati jalan menuju kosnya yang penuh genangan karena drainase yang menyerah menahan luapan air hujan dan aliran air di situ-situ saja. Ia masih sempat ke kosnya mandi dan ganti baju.

Sesampainya di kafe, Tenri sudah ada lebih dulu di dalam. Ia sudah memesan cappucino milk toping ice cream. Ia menikmati kopinya di cuaca dingin seperti ini sambil sesekali melihat jam di tangannya. Dilihatnya bibir Tenri yang dilapisi gincu tertutupi toping ice cream. Firman telat lima menit.

“Kenapa lama sekali?”

KLIK INI:  Resep Masakan dari Sungai

Lima menit bagi Tenri adalah waktu yang cukup panjang untuk menunggu. Sementara bagi Firman itu waktu yang sudah sangat cepat setelah berjam-jam menembus hujan dan melewati hutan, jalan yang menikung.

Firman percaya pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban.

Tempat yang dulu selalu menjadi tempat mereka bertukar pikiran, acara bukber teman posko KKN, dan kegiatan-kegiatan lainnya berubah mendadak, menjadi tukar rasa dengan risau yang panjang.

***

“Bagaimana dengan kita, firman?”

“Bagaimana maksudnya, Ri?”

“Ya, sudah.”

“Sudah apanya?”

“Dasar bodoh,”

“Saya sudah dilamar, tidak lama lagi saya akan menikah.”

Ooh, ternyata Firman dan Tenri menjalin hubungan yang aneh. Tidak pernah saling mengungkapkan perasaan, namun saling menjaga rasa. Saling menyimpan.

Entah kenapa mendengar ucapan Tenri, tiba-tiba Firman merindukan masakan ibunya, sayur asam belimbing dan lawara.

KLIK INI:  Hujan yang Berhenti di Bibirmu

Baru saya ingat peristiwa itu, sini saya ceritakan. Firman dan Tenri bertemu di tempat KKN, ditempatkan di lokasi dan posko yang sama di Soppeng. Membuat mereka akrab selama dua bulan itu. Menjalankan program kerja, diskusi dan lain-lainnya. Hanya karena sering dibuatkan teh di pagi hari oleh Terni, sebenarnya Firmannya yang terlalu percaya diri, padahal itu untuk semuanya. Firman jatuh hati. Tetapi tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Yang diperagakan hanyalah gimik. Tempat yang selalu diingatnya yang menyimpan banyak kenangan. Tenri sebagai perempuan yang tumbuh di lingkungan Muhammadiyah, ia tidak ingin berpacaran. Ia ingin lansung ta’aruf dan menikah. Namun ia mesti diperhadapkan dengan lelaki yang lebih hutan daripada hutan itu sendiri.

Menyingkat cerita

Pernah suatu ketika Tenri dengan perasaan yang tergantung dan sudah dua kali Ia mengirim pesan melalui Instagram di bulan yang berbeda di tahun yang sama di 2023.

“Tidak mau datang ke rumah.”

Sinyal berkekuatan kuat itu harusnya bisa ditangkap oleh Firman. Tetapi sialnya, Firman memang betul-betul datang ke rumah Tenri di Sinjai. Betul-betul ia hanya untuk bertamu dan ngobrol ringan saja dengan orang tua Tenri. Tidak ada hal penting yang dibicarakan selain skripsi. Padahal Ayah Tenri sudah memancing rasa ingin tahunya. Dasar batu gunung. Kemampuan berpikir, rasa dan hatinya tidak berfungsi dengan baik jika berhadapan dengan urusan seperti ini.

KLIK INI:  Memancing Bekas Bibirmu
****

“Lalu saya harus bagaimana Tenri?”

Tenri terus menanti tetapi lelaki di hadapannya hanya kayu mati. Perempuan yang telah lama menanti itu menangis.

“Sudah, saya akan menikah dengan orang yang baru saja datang melamar saya.”

“Saya minta maaf Tenri, saya tidak tahu apa yang mau saya bilang. Saat itu saya belum siap, ini belum juga selesai kuliah.”

“Ternyata kamu bisa bicara, tapi tidak peka. Bulan depan acaranya.”

“Kalau begitu biarkan saya menjadi lelaki yang tetap…,”

Firman mengambil nafas sepertinya ada yang mengganjal di tenggorokannya.

KLIK INI:  Lelaki Penjaga Kebun

“Mencintaimu meski kamu sudah menikah.”

“Berarti selama ini kamu mencintai saya?”

“Orang bodoh,” ucap Tenri.

KLIK INI:  Toraja di Waktu Senja yang Hujan

Setelah dua tahun lebih menjalani kisah yang aneh itu, malam itu di kafe Mizuta, Cinta yang sama-sama tumbuh di balik rindang pohon Bulu Dua Soppeng seperti menemui muaranya bagai air yang mengalir dari gunung di Bulu Dua. Bertahun-tahun disimpannya dalam dada bagai orang yang tersesat dalam hutan mencari arah terbitnya matahari. Entah siapa yang memulai kisah yang bodoh ini. Bukan Beatrice dan Dante, Cleopatra dan Mark Antony. Bukan juga Jamil dan Buthainah. Bukan. Akhirnya mereka saling mengakui perasaan mereka masing-masing. Kisah itu terlalu jauh bagi pria nomaden yang kini tinggal di Antang. Kisah ini lahir seperti bunga liar yang tumbuh di antara beton-beton.

Dan kamu tahu apa yang selanjutnya terjadi?

Mereka sepakat..

(Yah, pembaca bisa menentukan sendiri)

Tenri mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ternyata buku dan diletakkannya di meja untuk Firman, Musim Bunga yang Bisu karya Rachel Carson untuk dibaca. Terselip sebuah undangan pernikahan. Ia lalu pergi seperti daun pisang yang tertiup angin sementara Firman tinggal diamuk sepi.

Makassar, 27 Januari 2024

KLIK INI:  Menikmati Akhir Pekan Bersama 3 Puisi Bertema Hujan dari M. Aan Mansyur