Lelaki Penjaga Kebun

oleh -553 kali dilihat
Lelaki Penjaga Kebun
Ilustrasi/foto-catataniseng.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Sore, sekitar pukul enam belas. Seorang lelaki tua sering datang silaturahim dengan keluarga atau sekadar membelikan sesuatu di kios pinggir jalan di kampungnya. Orang-orang di kampung memanggilnya Guru Tua. Ia sudah berumur lima puluh tujuh tahun.

Anak-anaknya tak lagi tinggal serumah dengannya. Ia memiliki tiga orang anak, ketiga anaknya sudah merantau dan bekerja di daerah lain, profesi mereka pun tak sama dengan dirinya yang jadi petani-ladang musiman.

Anak pertamanya yang lelaki kini tinggal dan berkerja di sebuah kota sebagai pegawai negeri sipil di kantor kementerian. Kemudian anak keduanya menjadi tentara yang bertugas di perbatasan negara, tetapi yang membuatnya sedih sehingga sering meneteskan air mata, ketika merenungi nasib anak perempuan satu-satunya.

Seorang perempuan yang paling dia sayang, lebih-lebih setelah istrinya meninggal. Pada umur tujuh belas tahun, anak perempuannya menikah dengan seseorang di kota seberang. Semenjak menikah tujuh tahun yang lalu belum ada kabarnya.

KLIK INI:  Mata Air ke Mata

Guru Tua yang telah ditinggal mati oleh istrinya, serta tiga anak sebagai simbol cintanya, ia berjarak dengan keluarganya dalam ketidakpastian. Guru Tua hanya tinggal sendiri saja, selain bertani-ladang, ia memilih tinggal di kebun, terletak sekitar tiga kilometer dari kampungnya. Di kebun ia ditemani oleh seekor anjing, seekor kucing, belasan ekor ayam dalam kandang di belakang gubuknya.

Hidupnya tak dihibur oleh musik yang diputar dari radio, televisi, atau handphone, melainkan tiap malam dia hanya mendengar suara jengrik disekitar kebunnya, sekali-kali anjingnya menggonggong jika ada firasat yang membahayakan bagi mereka. Satu hal lagi yang menjadi pelipur laranya, ia membaca Al-qur’an, berzikir, dan salat. Pagi harinya ritual mendengar kicauan burung dan kokokan ayam yang baru saja turun untuk mematok cacing atau biji-bijian.

*****

Keberadaan Guru Tua membuatku tertantang untuk mengenalnya lebih-jauh, tak mudah bagi seorang manusia memilih tinggal jauh dari kebisingan kampung, jika tak ada nilai yang dijaganya. Cara guru tua mengasingkan diri mengundang rasa penasaran bagi sebagian orang, termasuk aku. Untuk apa dia harus menetap di kebun, sementara di kampung ada tanah dan rumahnya, sikap yang dia tunjukan sungguh aneh. Tetapi jika dilihat dari raut-wajahnya yang cerah, maka kita pastikan dia tak sedang stres. Atau mungkin dia ingin bertapa, segalanya bisa mungkin saja.

Suatu malam aku berkunjung ke kebunnya, kuajak seorang teman untuk menemani. Jam delapan malam di kebunnya sungguh sepi, suara daun pisang dan bambu saja yang terdengar. Itupun jika anginnya bertiup kencang, kalau angin berhembus pelan maka tak ada yang suara apa-apa. Gerbang kebunnya tak dikunci, kami langsung masuk saja. Ketika semakin dekat dengan gubuk, seekor anjing menggonggong keras, menyebabkan kami harus berhenti melangkah, takut digigit anjingnya.

“Siapa?,” suaran guru tua.
“Saya,” jawabku.
“Mari, tak perlu takut,” panggilnya dengan lembut. “Husss….husss,” diusirnya anjing yang menggonggong tadi. Kami pun berjalan mendekat ke gubuk setelah anjingnya menjauh. Guru tua di depan gubuknya, sedang duduk di bale-bale bambu.
“Oh, kamu. Saya kira siapa,” sebutnya setelah melihat wajahku.
“Iya, maaf datang pada malam hari. Mungkin mengganggu istirahatnya, Guru,” ucapku merendah.
“Tak apa-apa. Silakan duduk,” ucapnya sambil menggeser posisinya agar ada tempat buat kami.

KLIK INI:  Air Hilang dalam Hujan

Kami pun terdiam sebentar. Guru tua hanya menatap sekelilingnya, lalu kembali melihat wajah kami. Setelah itu wajahnya ditundukan melihat tanah. Aku pun diam, kadang mengusir dan menggarukan kulit tangan bekas gigitan nyamuk. Ia bergerak lalu bergegas naik ke gubuknya. Mengambil pisang yang sudah matang.

Silakan dicoba!” ajaknya ramah setelah pisang diletakan di bale-bale.
Kami mencicipi pisang yang disajikan oleh guru tua.
“Simpan saja di sini kulitnya,” ia melarang kami membuang kulit pisang.
“Besok bisa diberi makan kambing. Supaya mereka juga menikmati yang kita makan,” sarannya yang cukup bermakna, aku kagum bahasanya.

Ucapan yang kedengarannya sederhana tapi maknanya cukup dalam. Dia sangat menghargai binatang sekali pun. Kuanggukan kepala tanpa mengucapkan apa-apa.

*****

Guru Tua kembali bergerak dari tempat duduk, setelah merapikan sarung yang dililitnya pada pinggang. Ia naik digubuknya kemudian membawa periuk kecil. Diletakan periuk itu disebuah tungku, lalu masuk dikolong untuk mengambil kayu bakar.

“Saya masak air dulu. Enaknya kita minum kopi,” jelasnya setelah menyalakan api pada tungku itu.

Aku mengangguk lagi, hanya senyum saja melihat tingkahnya. Usianya yang lanjut, ia masih kuat bergerak dengan cepat, walau tubuhnya tak tegak seperti masa mudanya. Kukagum bukan karena gerak cepatnya dalam beraktivitas tapi kebaikannya tanpa banyak bicara untuk melayani kami.

KLIK INI:  Setangkai Bunga Surga

“Mungkin ada hal yang penting, Nak. Sehingga kalian datang malam-malam,” ucapnya.
“Mungkin tak bisa disebut penting, Guru. Kami ke sini hanya mau cerita-cerita saja. Apa yang guru ketahui mungkin masih banyak yang belum kami ketahui. Maklum keadaan anak muda sekarang lebih banyak habiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia saja,” jelasku.

Mendengar ungkapan itu, dia memegang janggutnya sambil pelan-pelan membelai. Diperbaikinya letak kopiah, lalu berujar;

“Nak, tak baik menyebut tak penting sesuatu yang ingin kamu ketahui. Semua hal bisa jadi penting atau sebaliknya, terletak dari setinggi apa kita menjunjung hal itu. Penting atau tidaknya, bisa ditentukan setelah persoalan itu dibicarakan dulu. Sesuatu itu dianggap penting disesuaikan dengan keperluan kita. Jadi, kita bicarakan masalahnya. Jangan dulu memastikan itu tak penting atau penting.”

“Iya, Guru.”

Dia bangun lagi dari duduknya, tiga kopi gelas di atas piring ia letakkan diantara duduk kami.

“Silahkan diminum. Itu kopi hitam tanpa dicampur apa-apa.”
“Terima kasih.”
“Tadi mau tanya apa?” ia mengingatkan hal yang ingin kami bicarakan.
“Saya mau tanya tentang kehidupan. Bagaimana cara menjalani hidup yang baik, Guru?” tanyaku pelan dengan kepala tertunduk.

Aku harus aku, masih sangat segan bicara yang banyak di hadapanya.

“Jadi hanya mau tanya itu datang ke sini. Gelap-gelap jalan mengunjungiku.”
“Sementara itu dulu, Guru,” aku masih menunduk, sedikit malu mendengar ucapanya.
“Kamu tau apa yang kupelihara dan tanam di kebun ini,” ia kembali bertanya.
“Tahu, Guru,” aku semakin tak bisa berpikir, sepertinya nalarku mengalami kepanikan.

KLIK INI:  Surat Hujan

Melihat kepanikan tergambar jelas di wajahku, Guru Tua melanjutkan petuahnya. Aku menyimaknya dengan saksama

“Baguslah. Begitulah hidup yang baik. Menjaga yang tumbuh di tanah ini. Yang butuh air maka kita sirami. Pohon tak perlu ditebang jika tak mengganggu yang lain. Kalaupun menghalangi tanaman lain, kita bisa menebangnya dan menanam lagi dilahan yang kosong sebagai penggantinya. Jangan biarkan tanah ini kosong tanpa fungsi apa-apa. Seperti itu juga kita menjaga yang bernyawa. Berilah makan kepada binatang dan hewan yang kita jaga. Apabila ada tamu sajikan minuman atau makanan yang terbaik sesuai yang kita nikmati tiap hari.”
“Hanya begitu saja, Guru.”
“Iya. Hidup yang kupahami seperti itu.”
“Lalu, bagaimana kalau yang kita pelihara diambil orang lain. Atau dicurilah?” Kuberanikan diri bertanya dan sedikit mengangkat kepala.

Kulihat matanya sangat bercahaya. Serius.

“Nak, menjaga tak selamanya menjadi milik kita. Jika ada yang ambil atau curi, kenapa harus kita yang urus. Itu urusan mereka dengan Maha kuasa saja,” ujarnya.
“Seandainya diambil semua, Guru?”
“Kita tanam dan peliharah lagi. Jika yang kita tanam mati maka tanam lagi. Coba kita pikirkan, sudah banyak orang diuji dengan musibah dan kadang seluruh hartanya habis, hanya yang tersisa dirinya saja. Tapi mereka tetap mampu menjalani hidup. Mereka terima saja kenyataan itu dengan tulus, kemudian melakukan yang bisa dikerjanya untuk hidup,” ia bernafas tenang, kemudian diteguknya kopi.

*****

Kulihat jam ditangan sudah menunjukan angka dua belas lewat lima belas menit. Hingga tengah malam aku duduk dengan guru tua. Kutatap wajahnya yang cerah dan matanya masih bersinar. Diminumnya kopi yang dibuatnya sendiri, kemudian Amir temanku yang sejak tadi sudah bersama kami tak bicara sekata pun.

Jika aku dan Guru Tua bicara, Amir hanya senyum-senyum saja sebagai bentuk memahami atau menghargai kami. Bulan di langit masih bercahaya walau bintang sudah banyak berpamitan untuk tidur. Suara gesekan pohon bambu terdengar indah saat angin menerpanya lebih kencang. Begitu pula daun-daun pisang menyerukan suara untuk malam.

KLIK INI:  Suatu Pagi, Bumi Mati di Sebuah Kota

“Guru, sudah larut malam. Saya harus pamit,” pintaku.
“Nak, sebelum pulang, saya ingin katakan kepadamu. Kita hanya punya satu bumi dan satu langit, warna tanah yang kita pijak boleh beda dan langit yang kita junjung tetap satu. Kulit bisa hitam atau putih, rambut ada yang lurus dan kriting. Tapi nyawa tak bermukim dalam diri-badaniah melainkan menaungi semua jiwa dalam kesatuan yang utuh. Tadi kau tanya tentang pohon yang kutanam dan binatang yang kurawat, kini kukatakan padamu bahwa semua itu bukan punya aku saja. Saya tak pernah menghitung berapa pohon pisang yang kutanam dan berbuah di kebun ini, begitu juga ayam di belakang rumah itu. Mungkin ada yang diambil orang lain atau dimakan oleh binatang. Saya hanya menjaga dan merawatnya seperti menjaga nafas yang dititip oleh Tuhan. Dan, itupun kusangat bersyukur bisa menjalani hidup ini,” ucapnya yang sangat serius. Matanya kelihatan berkaca-kaca.

Aku melongo saja mencermati ucapanya. Ia pun berujar;

“Ada yang sangat penting dan kita sering melalaikannya. Banyak diantara kita yang menjadi pahlawan, bahkan merasa diri dewa dalam membela untuk kepentingan orang lain. Itu bukan tak baik, tapi ingatkah bahwa hidup kita hanyalah berkah dari yang Maha kuasa. Nak, kita banyak lupa untuk merawat diri sendiri, menyukuri apa yang kita hembuskan tiap waktu. Jika ingin lebih bahagia maka bercerminlah pada dirimu, ketahuilah apa yang sudah lakukan selama hidup, lalu kau tanyakan berapa banyak tindakanmu atas kehendak Tuhan. Sebab pada dasarnya kita tak hidup melainkan dihidupkan, rawatlah dirimu dengan ridho Tuhan.”

KLIK INI:  Pohon Kehidupan

“Iya, Guru,” jawabku tertunduk malu. Aku sungguh malu mendengar kata-katanya yang membumi di malam yang sunyi. Ternyata hidup yang kujalani selama ini masih nihil. Kosong nilai kosong pengabdian, walau pada diri sendiri yang sudah diciptakan dengan sempurna, belum mampu dijaga dan dirawat dengan baik.

Setelah mengunjung Guru Tua di kebunnya, kusering duduk sendiri untuk merenungi ketulusanya menjalani hidup. Seorang manusia yang hidup sebatang kara, ditemani para ternak dan pepohonan tetapi tetap tenang melewati liku-liku kehidupan yang sering dikeluhkan oleh banyak orang, tekadnya sekeras tebing yang berada di ujung selatan kebunnya.
Ia hanya tinggal di gubuk kecil bertiang empat, dinding nyiru dan beratapkan ilalang yang dianyam. Memakan apa saja yang ada tanpa harus mengeluh, tetapi sesungguhnya ia lebih kaya dari kebanyakan orang yang ada.

Buktinya ia bisa makan buah pisang segar kapan saja, memanggang ayam kampung jika seleranya memacu, memasak sayur yang dipetik langsung, sesekali menangkap udang di sungai yang berada satu kilo dari sisi utara, dan menjaga kebugarannya dengan meminum telur ayam yang dicampur dengan madu. Semua itu ia lakukan selama hidup di kebun, tapi baginya semua yang berkaitan dengan makanan dan minuman tak penting. Apabila dibandingkan dengan nilai ibadah yang ia harus dirawat dan dipelihara untuk diamalkan supaya bisa berbagi sesama.

Aku masih merenung, bercermin dalam diri sendiri. Memperhatikan rumah yang kudiami sangat besar dan dibuat dari kayu terbaik, kemudian dicat dengan terang dan indah, perabotnya lengkap untuk memenuhi dan melayani kebutuhan, sering mencicipi makanan dan minuman yang mahal. Jika kubandingkan dengan Guru Tua yang sendiri di kebun, hidupku lebih sepi rasanya.

*****

Pada pagi yang miris kulihat seorang anak yang bertengkar dengan bapaknya, hanya karena hal-hal sepeleh. Mereka saling memaki dan menghina satu sama lain, tak ada lagi satu darah yang mengalir dalam nadinya, kalau amarah sudah merasuki akal sehat. Hanya keinginan saling membantai dan memangsa saja, anaknya menuding bapaknya yang tak mengerti kemajuan zaman, sehingga harus membiarkannya untuk melakukan apa saja, tak peduli baik atau buruk, tak penting halal atau haram. Demi menghargai kemajuan harga diri pun diarak-arak. Namun bapaknya merasa tingkah laku anaknya sudah lewat batas yang ia pahami, tak tau sopan santun. Tak tau berterima kasih.

Di sore yang kesepian aku menghibur diri menyaksikan anak-anak yang berlari, mereka main perang-perangan mengikuti adegan film yang sering tayang di TV. Mereka bertukar peran setelah mengelompokan diri, satu kelompok yang menjaga misi kebaikan dan satunya menyerang untuk memperebutkan misi itu. Usai bermain tak ada dendam yang terlukis di wajah mereka, tak peduli siapa yang menang dan kalah, siapa yang tangguh dan lemah, mereka kembali bermain lagi dalam kekompakan yang utuh. Yang mengelompokan mereka hanyalah jenis permainan bukan kepentingan yang sedang diperankan.

KLIK INI:  Menuai Sampah dalam Hujan

Dunia anak-anak mestinya menjadi pelajaran yang direnungi kembali, damai dan jujur menghargai satu sama lainnya.
Pada malam yang brutal kubayangkan kelak agar bisa mengabdi pada ibu kalau ia sudah tua. Mencucikan pakaiannya, menyediakan air mandinya dan jika dalam cuaca dingin akan kupanaskan airnya, memasak makanan yang ia sukai lalu menyuapnya, dan mengiringi dengan bacaan Al-qur’an menjelang tidurnya.

Subuh baru saja membangunkan manusia untuk beribadah, menandakan kelahiran kehidupan yang harus dipacu. Aku masih berguling di atas dipan, di subuh itu Guru tua datang bertamu. Ibu membangunkan pada saat aku menyelesaikan mimpi. Aku tersentak ketika ibu menyebut ada Guru tua yang datang ingin berjumpa denganku. Saat kubangun ia sudah berada diruang tamu, melihatnya aku hanya senyum tipis dan merasa malu karena terlambat bangun.

“Aku ingin mengantar ini,” ia berkata pelan sambil mengeluarkan sebuah buku yang dililit dalam sarungnya.
Aku terima saja, lalu membukanya. Kubaca beberapa kalimat yang ditulis secara manual oleh tangan manusia. “Tentang apa ini, Guru?,” tanyaku.
“Baca dulu. Akan kamu mengerti isinya dan suatu saat kamu juga akan merasakan manfaatnya. Baca dengan tenang dan diulang-ulang, kesabaran akan membukan pintu bagi seorang pencari,” katanya pelan.

Aku dengar saja walau merasa bingung. Sebelum pergi ia berkata;

“Belajarlah pada guru yang bijak. Guru menjadi wasilah antara kamu dengan Tuhanmu. Jika ke masjid bergurulah pada imam, kelak kamu di rumah berkhidmatlah pada orang tuamu, kalau kamu sendirian bertanyalah pada hatimu. Apabila bersama alam maka kamu lindungi pohon-pohon, jagalah kebersihan air dan sungai, rawatlah seperti kau menyayangi dirimu, dan paling penting berbagilah hasil alam sekecil apa pun, semakin banyak kamu berbagi akan membuat hatimu makin lembut. Semua hal itu yang akan menyelamatkanmu, apabila diyakini dengan sungguh.”

Titik merah dari ufuk mulai pecah.  *****

Penulis adalah penyuka sastra dan kajian sosial, lahir disalah satu desa di pelosok Bima-NTB, pernah menulis buku “Tuhan Tergadai dan Salunga; Nyanyian Alam Damai”. Kini kuliah di Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia, mengambil master Kesustraan Melayu.

KLIK INI:  Sepotong Napas dari Puntondo