Lebaran, Ingatan, dan Wajah Kampung yang Berubah

oleh -82 kali dilihat
Indonesia Sejatinya Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2070
Ilustrasi - Foto/Asep Supriadi dari Unsplash
Ilham Aidil

Klikhijau.com – Sehari setelah lebaran Idul Fitri, saya, istri dan kedua putri saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman saya, di Desa Bontotanga, Kecamatan Bontotiro, Bulukumba, selain untuk berziarah juga untuk bertemu saudara dan keluarga.

Desa ini mungkin tidak seindah desa-desa yang ada di Eropa seperti “Edensor”, sebuah desa “khayalan” Andrea Hirata dalam bukunya yang berjudul Edensor. Tetapi desa di mana saya bertumbuh, mampu menggetarkan ingatan-ingatan masa kecil dan keakraban dengan sahabat dan keluarga. Angin yang bertiup menggoyangkan daun-daun jati dan pucuk-pucuk daun gamal, orang-orang di kampung menyebutnya daun ambas, dan daun bambu mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil ketika berkelana di bukit-bukit, pematang sawah, kebun dan sungai-sungai.

Tempat yang mungkin kini terasa “jauh” dan yang kini kita mengatur jarak dengannya. Melihat desa dari kejauhan. Saya tahu keindahan desa ini tidak bisa disamakan dengan Edensor dan budaya Eropa yang melekat di sana, meski ada keinginan untuk ke Eropa; berkelana, dan mengunjungi tempat-tempat yang bisa “diromantisasi” dalam cerita.

Bontotanga, desa kecil ini menyisakan tempatnya sendiri untuk diceritakan. Desa ini asri sambil menikmati arunika dengan secangkir kopi. Telah banyak yang berubah dari tahun ke tahun. Rumah-rumah yang dulunya banyak rumah panggung kini berganti menjadi rumah bata, masjid yang dulu sederhana kini menjadi mewah, yang dulunya hanya ada toko kelontong kecil, kini sudah ada Alfamart dan Indomaret yang selalu bertetangga dan rukun itu di perempatan jalan, dekat bundaran masjid, ada juga jalan yang dinamai dengan nama jalan mantan kepala desa, dan berbagai perubahan lainnya.

KLIK INI:  Kafe Sawah, Tempat Ngopi Penuh Sensasi di Baturapa, Bulukumba

Orang datang silih berganti. Datang dan pergi. Ada yang menetap. Ada yang memilih merantau. Saya salah satunya, memilih untuk tidak tinggal di kampung sendiri dan hampir anak seusia saya dulu, sudah tidak ada yang tinggal di kampung, semuanya memilih merantau, mencari kehidupan di sana. Saya semenjak kuliah, hilanglah segala keinginan untuk kembali ke kampung.

Saya mencari jalan sendiri. Hidup. Menemui aneka ragam watak dan strata sosial. Setiap tempat memiliki pengetahuan dan ceritanya masing-masing. Kalaulah belum dikenal, maka semoga dengan tulisan ini kamu bisa mengingat desa saya dan orang yang menuliskan ini, ataukah memutuskan untuk berjalan-jalan menemukan aneka macam cerita di sana. Tetapi tidak ada pantai di sana. Jika kamu hendak ke sana, kamu bisa menghubungi saya dan kita bercerita tentang daun-daun jati, gunung mungil, status quo, dan sebuah masjid yang ingin berinovasi menjadi Islamic Center sambil menikmati secangkir kopi di ujung jalan.

Dalam suasana lebaran banyak sekali perantau, yang datang dari jauh-jauh berlebaran di tanah kelahiran, merayakan kebersamaan, bersendagurau bersama keluarga, menikmati jeda sebelum kembali ke rutinitas masing-masing. Desa menjadi sangat ramai. Ah, tidak banyak yang mengenal saya, sebagai generasi yang lahir belakangan. Beberapa mengenali saya hanya ketika usia saya belum genap sepuluh tahun. Dan mereka baru tersadar bahwa saya adalah bagian dari mereka sebagai keluarga ketika menyebut nama orang tua saya. Lagian saya juga bukan siapa-siapa kok. Hahaha.

KLIK INI:  5 Dampak Kesehatan Paling Potensial Terkait dengan Konsumsi Mikroplastik

Selama berada di kampung tidak banyak yang bisa saya datangi, waktu tiga hari tidak cukup untuk bertemu semua keluarga menjalin silaturahim. Selain saya juga harus bertemu dengan teman. Belum lagi saya menyiapkan sehari untuk berjalan-jalan ke pantai. Rugi rasanya datang jauh-jauh tidak menyempatkan diri untuk berwisata; karena pantai Bira padat pengunjung setiap libur lebaran, saya memutuskan mengajak keluarga ke pantai Lemo-lemo, pantai berpasir putih hanya saja belum terawat dengan baik. Banyak sampah berserakan dimana-mana; botol plastik dan bungkus makanan kemasan.

Di Bontotanga inilah saya menyemai harapan dan kadang menyimpan perasaan sedih, tempat dimana Ibu saya dimakamkan berpuluh tahun yang lalu tetapi rasanya baru kemarin sore. Saya selama di kampung seperti memungut potongan kenangan yang berserakan. Yang ketika pagi menyeruput teh hangat dan kue-kue lebaran. Yang ketika menjelang malam tiba mendengar suara sholawat dan azan yang sayup dari masjid.

Tidak ada lagi orang tua yang menyambut selain kakak tertua, sebagai pengganti Ibu. Karenanya saya, istri dan kedua anak saya bermalam di rumahnya di Desa Tamalanrea hanya dipisah jalan, berbatasan dan berhadapan dengan Kelurahan Benjala. Juga tidak begitu jauh dari Bontotanga. Ia selalu menyiapkan makanan setiap pagi, siang, dan malam. Terasa seperti rumah sendiri. Di pekarangan rumahnya ada kebun kecil yang ditanami banyak tanaman sayuran dan pepohonan yang memagari. Ia tahu apa yang menjadi kesukaan saya ketika pulang kampung. Nasi jagung, sayur kelor campur kacang panjang, sambel tumis, dan lombok biji dicampur perasan jeruk purut serta ikan bakar, ikan yang dibakar di atas tungku dengan arang bekas kayu bakar.

KLIK INI:  Menyiapkan Quotes Perpisahan untuk Kupu-Kupu Raja

Kadang di waktu senggang membuat bakwan dan pisang goreng. Saya puaskan diri saya makan makanan kampung saya sebelum memutuskan kembali ke kota. Saya merekam, memotret gambar sederhana tempat-tempat dimana saya menghabiskan masa kecil saya. Masjid, sekolah, rumah, pohon dan segala yang menyimpan kenangan. Dan segala yang memberi arti bagi hidup saya. Begitupun dengan orang yang pernah berjasa pada hidup saya.

Hari Jumat, ketika saya sampai di makam Ibu, daun-daun pandan dan bunga berupa warna terkulai di atas makam Ibu. Bekas hujan membenamkan diri ke dalam tanah, saya berusaha menahan diri, tetapi saya tidak kuasa menahan air mata menetes ke pipi saya yang jatuh secara spontan. Cepat-cepat saya seka dengan punggung tangan saya. Ada banyak yang ingin saya ceritakan pada Ibu tentang hari-hari yang saya lalui. Waktu terasa cukup singkat. Saya tidak ingin anak saya melihat duka di wajah Ayahnya.

Saya kira cuma badan saya yang remuk setelah perjalanan menembus macet ternyata ada bagian dalam diri saya yang remuk. Perasaan sepi yang selama ini coba saya sembunyikan. Selalu begini setiap lebaran, selalu ada ruang kosong, yang kerap kali luka-luka masa lalu datang mengetuk. Ternyata hati saya masih gemetar dan rapuh ketika segalanya berkaitan dengan Ibu.

KLIK INI:  Eco Camp: Bakti Merdeka, Kolaborasi Jaga Mangrove di Luppung Bulukumba

Saya kira saya sudah tidak gentar dengan segala badai hidup yang datang. Saya pikir hidup saya sudah ramai, punya keluarga sendiri, tinggal di pinggiran kota dan beraktivitas di sana serta segala fasilitas dan kemewahan Ibu kota. Dan selalu saya cari cara agar tidak kesepian, menemui teman, mencari tempat ramai; Warkop, pusat perbelanjaan, masjid, toko buku. Tetapi kenyataanya saya tidak berdaya di hadapan makam Ibu. Saya merindukan Ibu, yang hanya terobati ketika menjenguk makam Ibu. Saya berdoa dengan kata-kata yang singkat. Semuanya baik-baik saja. Saya mengatur napas dan segera meninggalkan makam Ibu.

***

Sekali lagi desa saya bukan Edensor, melainkan hanya sebuah desa kecil yang banyak ditumbuhi pepohonan yang setiap pagi burung-burung bersiul di atas ranting pepohonan, diapit oleh dua bukit yang ketinggiannya sekitar 100 hingga 200 meter, dan pohon-pohon kelor yang banyak tumbuh di sudut rumah warga. Yang ketika hujan rerumputan tumbuh dengan subur. Yang ketika pagi embun hinggap di dedaunan talas dan rerumputan. Tidak ada musim buah-buahan yang dapat ditunggu selain hanya kedondong dan jambu bol (jambu putih). Tidak ada langsat, rambutan dan durian. Meski Bulukumba juga dikenal dengan penghasil buah langsat, rambutan dan durian. Sayangnya tidak ada di desa saya.

KLIK INI:  Meredam Emisi Transportasi dengan Makanan Lokal

Desa saya lebih banyak menyimpan sejarah; possi tanah, sumber mata air yang berada di belakang masjid, Ereguru dan berbagai pergumulan masa lalu orang terdahulu sebagai sebuah situs masa lalu. Tidak ada literatur tulisan yang bisa saya dapatkan. Mungkin ada, tetapi hanya dimiliki dan diakses oleh orang-orang tertentu, berbahasa daerah. Selain dari mulut ke mulut yang terdengar sepintas yang saya peroleh sewaktu kecil. Perlahan-lahan orang mulai meninggalkannya. Hal yang bersifat futuristik dan materialis menjadi tujuan masa depan; Uang, harta dan jabatan. Anak-anak yang saya jumpai lebih banyak menghabiskan waktu bermain HP. Tidak lagi di alam yang bebas. Saya seperti napak tilas dan meramu cerita dari satu tempat ke tempat lainnya. Hanya saja saya tidak bisa berlama-lama. Sebab mesti kembali ke rutinitas seperti biasa.

Jangan tanya apa pekerjaan saya, sebab tidak semua pekerjaan saya bisa masuk dalam isian KTP. Suatu hari saya menjadi guru, dosen, trainer, penerjemah, penulis sekaligus penjual buku, blogger, supir, pekebun, petani. Dan apalagi bisa saya kerjakan untuk menghasilkan sesuatu. Barangkali menjadi PNS sekaligus pengusaha. Agar ketika saya pulang kampung tidak lagi ditanya kenapa tidak mendaftar CPNS?

KLIK INI:  Pandemi Ubah Kawasan Wisata Mangrove Luppung jadi Lumpuh