Pandemi Ubah Kawasan Wisata Mangrove Luppung jadi Lumpuh

oleh -437 kali dilihat
Kawasan Wisata Mangrove Luppung, Bulukumba
Kawasan Wisata Mangrove Luppung, Bulukumba-foto/Ist
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Gerbang masuk ke Kawasan Wisata Mangrove Luppung berdiri kokoh. Terbuat dari beton. Kawasan wisata ini berada di Desa Manyampa, Kecamatan Ujung Loe, Kabupaten Bulukumba.

Gerbang masuknya mudah terlihat karena berdiri di pinggir jalan poros menuju Bira. Di sebelah kanan dari arah Kota Kabupaten Bulukumba.

Warna gerbangnya cukup mencolok dengan kombinasi warna orange, hijau, dan kuning muda. Untuk menuju kawasan wisata mangrove ini, pengunjung harus melewati jalan yang telah dipasangi paving block.

Jalan yang telah dipasangi paving block itu pendek saja. Tak sampai ke hutan mangrove Luppung. Selebihnya adalah jalanan alami yang belum tersentuh paving block atau aspal. Hanya berupa timbunan batu warna putih kekuningan seperti umumnya yang banyak digunakan untuk timbunan.

KLIK INI:  Aksi Menawan 253 Relawan Muda Menanam Mangrove di Bulukumba

Jalan menuju hutan mangrove Luppung tak terlalu luas, hanya cukup untuk satu mobil saja. Di kiri kanannya terdapat empang.

Meski kondisi jalannya belum terlalu bagus, tapi pesona kawasan wisata mangrove ini  pernah memukau dan dikunjungi banyak orang.  Itu terjadi setidaknya hingga dua bulan pasca buka.

Apalagi jarak dari jalan poros Bira hanya sekitar 500 meter, membuat pengunjung merasa tak berat jika mampir atau sengaja mengunjunginya. Jarak dari Kota Bulukumba pun terbilang dekat dan mudah ditemukan karena bisa mengkuti petunjuk google maps.

Memikat saat baru diresmikan

Ketika baru diresmikan akhir Desember 2019 Bupati Bulukumba, yang saat itu dijabat  oleh AM Sukri A Sappewali. Kawasan destinasi wisata mangrove ini digadang-gadang sebagai destinasi baru yang bisa jadi andalan baru pula Bulukumba. Apalagi merupakan satu-satunya destinasi wisata mangrove di kabupaten berjuluk Butta Panrita Lopi itu.

Kedatangan orang nomor satu Bulukumba ke Luppung dan meresmikannya pada saat itu menjadikan destinasi wisata ini kian memikat dan tersohor, khususnya di wilayah Bulukumba.

KLIK INI:  Menjaga Keseimbangan Lingkungan dan Ekosistem Mangrove ala PLN

“Bahkan pernah ada yang datang dari Jawa,” ujar Herianto, yang biasa bertanggung jawab atas karcis masuk ke hutan mangrove Luppung.

Melonjaknya pengunjung membawa keuntungan tersendiri. Karena penghasilkan distinasi wisata ini pun meningkat.

“Penghasilkan dua bulan pertama pasca dibuka  cukup mencengkan. Mencapai mencapai 45 juta perbulan,” ungkap Sulfiadi beberapa waktu lalu.

Sulfiadi adalah seorang pemuda yang saat ini menjabat sebagai ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Manyampa. Ia dilantik bersama 48 orang Pokdarwis bulan Juni 2021 lalu.

Karena pandemi

Hanya saja, perjalanan selalu punya aral melintang. Seperti halnya perjalanan manis destinasi ini. Denyutnya sebagai destinasi wisata baru mengalami bencana dahsyat dengan kedatangan Virus Corona atau Covid-19 ke Indonesia di bulan April 2020 lalu.

Kepanikan dan ketakutan masyarakat akan bahaya virus tersebut membuat denyut destinasi ini melemah dan lumpuh. Harus diakui ketika awal-awal corona masuk ke Indonesia, teror ketakutan sangat terasa. Orang-orang lebih memilih tinggal di rumah daripada keluar. Apalagi mengunjugi tempat wisata.

“Pandemi berpengaruh besar, jumlah pengunjung turun drastis,” jelas Abbas Madda, Kepala Desa Manyampa, Bulukumba.

Turunnya jumlah pengunjung menjadikan Kawasan Wisata Mangrove Luppung yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mutiara Desa Manyampa kehilangan pendapatan. Karena keberlangsungan napas pariwisata terletak pada pengunjungnya.

“Biasanya hanya empat orang perhari,” tambah Herianto, Sabtu 2 Oktober 2021 lalu.

KLIK INI:  Ingin Rasakan Mandi Bersama Gajah, Ayo ke Aek Nauli!

Baik Abbas Madda, Herianto maupun Sulfiadi memang bersepakat bahwa pandemi telah menjadi biang kerok yang melumpuhkan Kawasan Wisata Mangrove Luppung yang memiliki luas lebih 13 hektare itu.

Hal serupa diakui pula oleh Tahang yang berprofesi sebagai akademisi di Universitas Fajar, Makassar. Tahang banyak bersentuhan dengan Kawasan Wisata Mangrove Luppung, boleh dibilang melalui dirinya pula kawasan wisata ini menemui wujudnya.

“Pernah tutup beberapa kali selama pandemi,” katanya.

Tahang mengungkapkan pula, jika ingin wisata berkembang dan memiliki daya tarik, maka dalam tiga bulan harus ada perubahan di dalam kawasan wisata. Sayangnya hal itu tak berlaku di Luppung

Padahal mangrove Luppung telah lama ada, sejak tahun 1990-an, namun baru dikembangkan pada tahun 2015 kemudian diresmikan pada tahun 2019.

“Harus ada event setiap malam Minggu dengan jualan tradisional, semisal musik,” saran Tahang.

Tidak hanya karena pandemi

Pandemi memang melumpuhkan banyak destinasi wisata. Namun, di Kawasan Wisata Mangrove Luppung bukan hanya pandemi yang jadi pemicu berkurangnya pengunjung, namun juga karena faktor lain.

“Parkir sangat mencekik, fasilitas, tempat makan dan minum juga harus ada, belum pula ada akses masyarakat menjual di dalam kawasan hutan mangrove,” ujar Tahang

Tempat parkir di kawasan destinasi ini memang menjadi masalah tersendiri. Karena lahan parkir merupakan milik warga yang dikelola sendiri dengan harga tiket yang cukup “mencekik”, yakni Rp5000 permotor dan Rp10.000 permobil. Belum termasuk tiket masuknya.

KLIK INI:  9 Hal Istimewa di Pulau Jinato yang Membuatmu Kangen Datang Lagi

Sebenarnya kepala Desa Manyampa, Abbas telah beriniasitif membebaskan lahan parkir itu agar tak terlalu membebani pengunjung dengan cara mengontraknya, namun tak terealiasi.

“Pengunjung bisa berjalan masuk atau menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi, jadi parkirnya di luar kawasan mangrove,” beber Tahang.

Tahang juga menambahkan, selain membenahi parkiran, untuk menarik pengunjung hal yang bisa dilakukan adalah membuat rumah makan terapung dan ruang pertemuan.

Apa yang diidekan Tahang, juga direspons baik oleh Abbas. Ia bahkan telah mengagendakan adanya penambahan sarana dan prasarana.

“Tahun depan akan ada penambahan sarana dan prasarana, salah satunya ada warung terapung dan area camp serta penataan lampu hias,” ujar Abbas.

Pengembangan destinasi ini diakui oleh Sulfiadi  ada tiga pekerjaan rumah yang menanti dan harus diurai, yakni pademi, parkiran, dan infrastuktur atau pengembangan di dalam kawasan hutan mangrove.

“Ke depannya akan dibuka malam untuk bersantai dan ngopi,” ujar Sulfiadi.

Hal lain yang dikhawatirkan oleh Sulfiadi adalah keselamatan pengunjung. Karena beberapa jembatan di kawasan wisata ini masih menggunakan bambu sebagai tiang jembatan.

“Jembatan bambu jadi masalah karena bisa berakibat fatal bagi pengunjung,” akunya.

Sementara itu, Tahang menganggap wisata ini   harus memiliki satu wadah pengetahuan tentang Luppung, sehingga orang tanpa mengunjunginya akan  tahu jika itu Luppung.

KLIK INI:  Tandabaca, Sepotong Surga yang Diletakkan di Desa Kindang
Panen manfaat mangrove

Meski kawasan mangrove Luppung meredup sebagai tempat wisata karena pandemi, namun manfaatnya secara ekologi telah dipanen oleh warga sekitar sebagai penahan gelombang laut. Hal itu diungkapkan oleh Herianto bahwa jika tak ada mangrove mungkin gelombang merendam empang warga.

“Seandainya tak ada mangrove ini, mungkin laut sudah sampai di sana,” kata Herianto sambil menunjuk salah satu empang. Jarak empang itu sekitar 100 meter dari tempat ia duduk.

Apa yang dikatakan Herianto juga diakui Alimuddin (60) tahun. Ia bahkan mengungkapkan hal yang lebih “mengerikan” daripada yang dikatakan Herianto.

“Jika tak ada ini bako (bakau), mungkin air laut sudah sampai ke rumah penduduk. Apalagi di bulan Januari saat ombak tinggi,” ungkapnya.

Mendengar pengakuan itu, maka keberadaan mangrove Luppung, meski dari segi pariwisata  belum terlalu dipetik manfaatnya, namun dari segi  ekologi telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar.

Mangrove Luppung juga menjadi tempat yang nyaman bagi satwa. Sangat banyak burung-burung dan satwa lainnya yang menjadikan mangrove Luppung sebagai rumah, tempat meneruskan generasinya

Namun,  sebagai tempat wisata potensial, Sulfiadi menegaskan ia sebagai ketua Pokdarwis beserta 48 anggotanya harus melakukan gerakan dan inovasi untuk membenahinya agar memiliki daya tarik bagi pengunjung.

“Kami akan fokus dulu  pada pembenahan di dalam, berupa spot foto, rumah makan terapung dan buka pada malam hari,” tegasnya.

KLIK INI:  Kampoeng Bambu, Sebuah Upaya Merawat Warisan Leluhur