Ruang Terbuka Hijau di Makassar Kian Berkurang

oleh -418 kali dilihat
Ruang Terbuka Hijau di Makassar Kian Berkurang
Ilustrasi taman Macan Makassar - Foto/Ig: @arnoldio

Klikhijau.com – Kehadiran Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kebutuhan bagi masyarakat kota. Pembukaan kawasan hijau untuk pembangunan kota telah membuat kota kian terasa panas dan begitu rawan dihantam bencana ekologis.

Adalah sebuah permasalahan jika laju pembukaan lahan kian bertambah sementara wilayah hijau berkurang. Makassar termasuk satu diantara banyak kota-kota besar yang ruang hijaunya kian berkurang seiring laju pembangunan kota yang massif.

Ruang Terbuka Hijau memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat kota. Selain sebagai tempat rekreasi, pepohonan dalam kawasan RTH berperan untuk memproduksi oksigen/udara bersih yang kita hirup, menyerap air untuk mencegah banjir dan mengurangi kecepatan angin. Selain itu, RTH juga menjadi ekosistem bagi kehidupan flora dan fauna.

Karena kehadirannya yang dirasa begitu penting, pemerintah melalui UU No 26 Tahun 2007 memberikan standar minimal ketersediaan RTH di setiap wilayah yaitu sebesar 30% dari luas keseluruhan wilayah kota.

Untuk memudahkan ketersediaan RTH, UU Penataan Ruang membolehkan pihak swasta membantu pemerintah menciptakan RTH dengan pembagian Pemerintah 20% dan pihak swasta 10%. Lantas, bagaimana kondisi RTH di Makassar sendiri?

KLIK INI:  Menkes Restui PSBB di Kota Makassar
Makassar krisis RTH

Kota Makassar merupakan kota sentral dalam perdagangan dan pemerintahan di wilayah Indonesia Timur. Sebagai kota satelite, pembangunan kota kian digalakkan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi-industri.

Namun, rasanya pembangunan kota kerap kali berkonfrontasi dengan kelestarian ekologis. Dibalik pembangunan kota yang digadang-gadang bergerak ke arah ‘Kota Dunia’, kelestarian lingkungan hidup kian terancam.

Contoh kasus pada 2019 lalu dilakukan penebangan di jalur sabuk hijau Pettarani untuk pembangunan Tol layang. Data dari KPA Sulsel mencatat, sebanyak 922 pohon di tebang di kawasan tersebut. Beberapa kelompok menduga kurangnya tutupan hijau di Pettarani menjadikan jalan utama di Kota Makassar itu rawan banjir. Belum lagi pertanggungjawaban ganti rugi 10x lipat dari jumlah pohon yang ditebang, yang hingga saat ini belum menuiai kejelasan dimana dan kapan proses pergantian dilakukan.

Beberapa kawasan RTH yang selalu dijadikan tujuan rekreasi masyarakat Kota Makassar hanya menyisakan Hutan Kampus Unhas Tamalanrea, Taman Macan, Taman Pakui Sayang, dan beberapa taman lainnya yang jumlahnya hanya beberapa.

Wilayah hijau juga dapat ditemui di pinggiran sungai yang dimaanfaatkan untuk persawahan warga seperti di Batua Raya dan Pulau Lakkang yang sebagian besarnya ditumbuhi sawah dan pohon nipah. Meski persawahan tak bisa dikatakan ruang terbuka hijau karena sifatnya yang ekonomi, masa tumbuhnya yang sementara dan fungsinya untuk pangan.

KLIK INI:  Ditunjuk Kembangkan P2L Oleh Kementan, UNHAS Ajak Masyarakat Menanam di Pekarangan

Data dari peta penggunaan lahan kota Makassar yang dirilis Walhi Sulsel menjelaskan, luas kota Makassar sebesar 17.577 Ha. Sedangkan, 11.432 Ha atau 65% diantaranya telah dibanguni pemukiman, bangunan pemerintahan dan kebutuhan bisnis.

Ironisnya, Kota Makassar hanya menyisakan 9,1% Ruang terbuka hijau. Jumlah ini masih jauh dari standar minimal RTH sebesar 30%. Artinya masih ada sebanyak 20% lebih lahan yang harus dijadikan RTH, ditengah kebutuhan lahan kota yang meningkat.

RTH adalah sebuah keharusan

Beberapa pihak yang memerhatikan isu ekologis kota menyinggung keberadaan RTH di Kota Makassar yang begitu minim. Minimnya RTH dinilai karena proses pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta kurang memerhatikan fungsi ekologis kota. Abainya perhatian pada lingkungan hidup disinyalir menjadi penyebab dari bencana ekologis yang kerap melanda Makassar tiap tahunnya.

Menanggapi kurangnya RTH di Makassar, Walhi Sulsel melirik kolaborasi yang seharusnya dijalankan instansi pemerintahan di Kota Makassar, khususnya dalam proses pembangunan. Pemerintah harus mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau dalam pembangunan.

Walhi menilai permasalahannya adalah laju pembangunan kota Makassar yang sangat massif dan tidak dibarengi dengan sinergitas instansi pemerintah daerah. “Sebagai contoh, dinas penataan ruang itu seharusnya berkonsoltasi dengan dinas lingkungan hidup atau dinas terkait soal bagaimana kondisi ruang terbuka hijau,” ujar Slamet Riadi selaku Staf Kajian dan Advokasi Walhi Sulsel.

Selain pembangunan publik, Walhi juga menyinggung beberapa perumahan yang tak menyediakan ruang terbuka hijau di dalam kompleksnya. Padahal, keberadaan RTH telah menjadi kewajiiban bagi pihak pemgembang perumahan. Walhi mengklaim memiliki data terkait perumahan apa saja yang tak mematuhi kewajibannya.

Untuk itu, Walhi berpesan agar kedepannya pemerintah Kota Makassar lebih memerhatikan kondisi lingkungan hidup, termasuk pengadaan fasilitas publik hijau seperti RTH. Untuk mengendalikan bencana ekologis yang rutin menerpa masyarakat Makassar.

Alternatif lainnya yang mungkin bisa dipraktikkan adalah mewajibkan kantor, baik instansi pemerintah maupun swasta, untuk menyediakan ruang hijau dengan konsep eco office, atau konsep urban farming bagi masyarakat kota, dengan kembali menggalakkan semangat menanam.

KLIK INI:  Gerakan ‘Save Sangihe Island’ Desak Pencambutan Izin Tambang PT TMS di Sangihe