Bumi, Manusia, dan Pertobatan Ekologis

oleh -303 kali dilihat
Bumi, Manusia, dan Pertobatan Ekologis
Ilustrasi - Foto/ Nikola Jovanovic di Unsplash
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Manusia membutuhkan bumi, tetapi setiap detiknya manusia (kita) “melukai” bumi atas nama kebahagiaan. Sebagian dari mereka inilah yang dinamai “manusia serakah” alias mereka yang menganggap bahwa kebahagiaan itu ukurannya bersifat materil.

Apakah ini keliru? Tidak sepenuhnya keliru, sebab manusia memang punya naluri untuk hidup lebih baik dan bahagia. Namun libido bahagia yang berlebihan, kerap kali menciptakan kebutaan pada hati manusia. Lingkungan alam dan manusia sendiri jadi korbannya.

Libido keserakahan

Sepanjang masa, lahirlah manusia-manusia serakah yang basis impiannya adalah materi. Paham ini didukung penuh oleh Epicurus (341-270 SM), seorang materialis tulen yang percaya bahwa kesenangan jiwa akan tercapai usai kepuasan raga telah terpenuhi.

Oleh Adam Smith, keyakinan ini diperhalus dengan istilah individualisme—suatu naluri penting yang harus ditumbuhkan manusia untuk bisa hidup dan berkembang. Namun,  paham individualisme Smith menekankan pentingnya memerhatikan orang lain—inilah bedanya antara individualis dan egois (meski sama-sama berorientasi pada individu).

Hasrat hidup bahagia di atas kelimpahan material kemudian dirayakan oleh penganut mazhab Kyrene yang dicetus oleh Aristippus (435-355 SM) melalui paham hedonisme. Paham inilah yang mengarahkan isi kepala manusia bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk kenikmatan dan kebahagiaan.

KLIK INI:  Hartmut Schwarzbach dan Potret Tragedi Tiga Dimensi di Bumi

Hedonisme kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya benih paham materialisme yang semarak di Erapa pada Abad 17-18 M. Paham ini bergenta dan membathin hingga kini. Semakin meluas dan mendarah daging dalam pikiran manusia.

Potretnya tampak jelas di depan mata, bumi dengan sumber daya dan daya dukung (carring capacity) terbatas dieksploitasi tanpa batas. Dinikmati oleh segelintir orang (individu yang dominan) bahkan dirusak tanpa pernah berpikir untuk kehidupan masa depan.

Oleh Mahatma Gandhi, dikatakan bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.

Sebelumnya, filsuf sekaliber Plato pun telah mengingatkan bahwa untuk mewujudkan kehidupan sejahtera secara merata, manusia perlu mengendalikan hasrat serakah dalam dirinya.

Ini dipertegas pula oleh Aristoteles bahwa sejatinya kebutuhan manusia itu tidak banyak, keinginannyalah yang relatif tanpa batas.

Hasrat serakah inilah yang pada akhirnya menciptakan tiga jurang kesenjangan. Jurang pertama adalah jurang ekologis, dimana manusia memerlukan 1,7 planet bumi untuk menopang gaya hidup dan hasrat hedonis mereka.

KLIK INI:  Duka di Hari Bumi 2020

Kedua, jurang sosial, dimana jumlah orang terkaya di dunia, kekayaannya setara dengan separuh penduduk termiskin di dunia (3,5 miliar jiwa). Singkat kata, sumber daya di bumi dikuasai segelintir orang yang mengakibatkan penderitaan pada orang banyak.

Jurang ketiga adalah jurang spiritual yakni manusia yang mengalami problematika serius dengan dirinya sendiri. Sejumlah data menyebut  bahwa dalam hitungan detik ada ribuan orang menghabisi nyawanya sendiri (800.000 kematian per tahun). Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak beruntung dan tereliminasi dari sumber daya kehidupan.

Sampai di titik ini, teranglah sudah betapa kerusakan di atas bumi (sebagaimana dikuatkan pula pada kitab suci) adalah ulah manusia. Manusia serakah yang hasrat hidup bahagianya (ego-life) melampaui batas-batas kewajaran.

Bencana ekologis

Keserakahan manusia di bumi telah meluas dari hulu ke hilir. Di lapisan elit, kebijakan pemulihan lingkungan belum menyentuh substansi masalah. Penggunaan energi batu bara masih lebih dominan ketimbang kebijakan menguatkan energi bersih terbarukan.

Di sisi lain, pemulihan lingkungan juga harus tersendat oleh perilaku korupsi di tingkat elit dan partai politik. Lihat saja, betapa paradigma pembangunan kita (di semua level) masih dipengaruhi oleh mashab depelomentalisme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

KLIK INI:  Laut Biru, Laut tanpa Plastik

Secara global, komitmen negara-negara di dunia untuk menyatukan visi mengatasi perubahan iklim belum sepenuhnya berjalan maksimal. Negara-negara kecil kerapkali hanya jadi korban dari industrialisasi negara-negara maju.

Belum lagi, soal masih rendahnya insentif yang diberikan pada negara-negara yang berjuang untuk upaya penurunan emisi karbon.

Lalu, pada level akar rumput, kita masih menyaksikan perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan plastik sekali pakai (single use) yang kini telah meneror lingkungan dan ekosistem di perairan kita, hingga laju deforestasi yang seolah sulit dibendung.

Dampak dari semua itu kini semakin nyata yakni bencana ekologis yang bertubi-tubi datangnya. Kita tentu tak bisa mengembalikan akar-muasal dari bencana tersebut sebagai pengaruh cuaca atau kondisi alami di alam.

Sudah sepatutnya kita membuka diri dan melihat realitas ini sebagai buah dari campur tangan kita yang telah terakumulasi sejak sekian waktu lamanya.

Dalam beberapa tahun ke depan, kita pun dihantui aneka problem serius yang berkaitan dengan lingkungan antara lain kelangkaan air, krisis pangan, hingga wabah. Maka, pandemi Covid-19 sejatinya benar-benar bisa mengilhami kita untuk sama-sama melakukan “pertobatan ekologis” secara penuh.

KLIK INI:  Sambut Hari Lingkungan Hidup, UNDP Gelar Lomba Foto Perempuan dan Energi Bersih

Wajarlah bila seorang Profesor Emil Salim pada Indonesia Net-Zero Summit 2021 yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia pada Selasa, 20 April 2021 bersuara cukup keras.

Menteri Lingkungan Hidup yang pertama itu mengusulkan Indonesia menerapkan net-zero emission (NZE) yang negatif atau  negative zero emission atau minus karbon.  Bukan tanpa alasan, bumi telah mendekati fase paling mencemaskan akibat dampak perubahan iklim.

Oleh Profesor Emil Salim menyebut, dunia akan menjadi neraka bagi generasi mendatang bila kita gagal mewujudkan negative zero emission atau minus karbon.

Mengutip prediksi para ilmuan, Emil Salim menegaskan bahwa jika tak ada upaya signifikan saat ini untuk mengupayakan penuruan emisi gas rumah kaca (GRK), maka pada tahun 2050, suhu bumi bakal naik tajam antara 1,5 hingga 3 derajat Celcius. Lalu pada tahun 2100 suhu bumi bakal naik 4-8 derajat Celsius.

Itu artinya, generasi pelanjut kita yang saat ini sedang berusia 5 tahun akan menemui masa tuanya (80 tahun) dalam situasi bumi yang sangat panas. Profesor Emil menyebutnya sebagai neraka bagi manusia.

Masihkah kita menjadi manusia serakah yang kehilangan cinta pada bumi? Selamat Hari bumi, sejatinya setiap hari adalah hari bumi. Mari kolaborasi pulihkan bumi sebagaimana tema Hari bumi tahun ini “Restore Our Earth”!

KLIK INI:  Ruang Publik Perkotaan yang Lebih Cair dengan Lomba Senam Longwis