Klikhijau.com – Sinyal darurat perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini tidak sekadar ancaman yang tak kasat mata: ia tiba menjadi ancaman terhadap kesehatan dan siklus kehidupan yang tengah berlangsung di seluruh dunia.
Meski bahaya itu kian nampak di depan muka, sayangnya, kesadaran publik dalam memitigasi risiko perubahan iklim yang kian ekstrim masih tergolong rendah. Tak banyak dari masyarakat yang berkontribusi secara aktif dalam upaya mencegah kerusakan ini kian meluas. Hal ini menjadi sinyal bagi kita bersama bahwa peningkatan kesadaran kolektif dan kontribusi nyata menjadi suatu keharusan yang sudah semestinya direalisasikan.
Sejalan dengan eskalasi krisis iklim yang kian meningkat, sektor pendidikan menjadi salah satu fondasi pertama yang semestinya dilakukan penataan ulang atas arah dan kurikulum pendidikan yang relevan guna meminimalisir dampak terburuk dari perubahan iklim, khususnya bagi generasi selanjutnya.
Karena posisi dan perannya yang sangat krusial dan strategis dalam membuka ruang literasi menyoal bahaya krisis iklim, pendidikan dapat menjadi gerbang bagi anak-anak untuk memperoleh literasi yang komprehensif, memahami situasi dan resiko terburuk yang berpotensi mengancam kehidupan mereka di kemudian hari.
Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa pendidikan lingkungan yang berkualitas tidak hanya dapat meningkatkan kepekaan anak-anak terhadap kondisi iklim, melainkan juga dapat menyebarluaskan tema ini kepada kepada para orang tua dan keluarga terdekat mereka di rumah. Maka dari itu, pendidikan mempunyai peran krusial, terlebih dalam konteks Indonesia, hanya 47% dari penduduk yang meyakini bahwa penyebab pemanasan global terjadi karena kegiatan manusia.
UNESCO telah memperingatkan akan pentingnya pendidikan dalam mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. Melalui Climate Change Education, misalnya, UNESCO berupaya menawarkan sistem pendidikan yang relevan dalam menjawab persoalan perubahan iklim yang tengah kita hadapi saat ini.
Karena kondisinya yang kian mendesak, pendidikan iklim tak lagi dilihat sebagai opsional, melainkan keharusan yang semestinya segera diaplikasikan. Pendidikan diharapkan dapat berperan sebagai akar dan pondasi yang kuat untuk menopang masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, agar agenda ini mempunyai legitimasi, maka transformasi yang terjadi ruang-ruang kelas harus diperkuat melalui dorongan pemangku kebijakan, termasuk dalam merumuskan arah pendidikan dan alokasi sumber daya yang memadai.
Menghadapi Krisis (Literasi) Iklim
Beberapa lembaga survei terkemuka tak jarang menempatkan Indonesia berada di klasemen cukup dalam memahami krisis iklim. Survei Yale Program on Climate Change Communication (2021) dan YouGov (2020), misalnya, memperlihatkan bahwa jika dibandingkan dengan 30 negara lain, responden Indonesia terbilang paling sedikit yang memiliki kesadaran bahwa krisis iklim yang tengah terjadi disebabkan oleh aktivitas manusia.
Di sektor kebijakan, pendidikan kesadaran iklim di Indonesia masih terbilang tak cukup diperhatikan dalam konsep kurikulum yang terukur. Sementara, pendidikan iklim lebih banyak ditemui melalui medium non-formal seperti pelatihan staff birokrasi, dan sektor swasta strategis. Padahal, dalam konteks pendidikan formal, tema ini sempat mengemuka dalam pembahasan Kurikulum Merdeka 2022, dan itu pun masih belum terintegrasi secara kuat dalam seluruh mata pelajaran yang berhubungan.
Hal itu juga yang sempat membuat prihatin UNESCO pada perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024. Pasalnya, hampir 50% kurikulum nasional di dunia tak memasukan materi soal kondisi iklim, dan hanya 23% dari pengajar yang merasa mampu mengajarkannya pada murid-murid di kelas. Kondisi ini terjadi akibat sistem sekolah yang terlalu fokus pada proses transfer pengetahuan, sementara pengalaman aktual yang mampu mendorong proses berpikir siswa dalam menyikapi masalah yang tengah mereka hadapi (dalam konteks ini krisis iklim) justru tersisihkan.
Menata Ulang Ekosistem Pendidikan
Pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam membangun komunikasi yang seragam dalam menyikapi krisis iklim yang tengah berlangsung. Sebagai institusi paling dini, sekolah dapat membekali siswa kemampuan dalam menyerap informasi saintifik yang mereka peroleh di ruang-ruang kelas.
Hal senada juga dilakukan dalam studinya Mary C. Oliver dan Michael J. Adkins (2020) yang memanfaatkan data Programme for International Student Assessment (PISA) dari sekitar 72 negara. Hasilnya, mereka memperoleh kesimpulan bahwa terdapat korelasi antara model kurikulum, sistem pembelajaran, hingga akses sumber literatur dengan tingkat kesadaran siswa terhadap krisis iklim. Dan Swedia menjadi negara dengan PISA yang relatif tinggi. Fakta ini mengingatkan kita pada tokoh terkemuka seperti Greta Thunberg yang tidak lahir dari ruang hampa, melainkan hasil dari sistem pendidikan yang sadar akan pentingnya literasi iklim.
Sepertinya Indonesia juga perlu mengikuti arah serupa, dengan menata ulang kurikulum pendidikan berbasis lingkungan yang relevan melalui sejumlah kebijakan yang konkret. Sejumlah peneliti juga mengusulkan setidaknya terdapat tiga upaya pembenahan utama yang mesti dilakukan oleh pemerintah dan sekolah agar siswa dan siswinya dapat memperoleh literasi iklim yang komprehensif.
Di tengah gelombang disrupsi teknologi, pemerintah perlu memperluas jangkaun promosi dan kampanye yang menarik dan relevan tentang perubahan iklim di berbagai jenis media. Seperti Australia, mereka mempunyai sarana “Curious Climate”, yakni sebuah sumber informasi terbuka yang memuat studi kasus serta media interaktif bagi anak-anak untuk bebas berpendapat dan bertanya langsung kepada para ahli.
Dalam kategori praktiksnya, pemerintah Indonesia perlu mengaplikasikan sistem pembelajaran berbasis project yang memungkinkan pelajar dapat mengeksplorasi keterampilan mereka dalam berpikir kritis, berkolaborasi dan mengaplikasikan ilmu alam maupun ilmu sosial yang mereka terima untuk menghadapi kondisi aktual, termasuk perubahan iklim.
Sementara itu, pemerintah sudah seharusnya membangun kerja sama dengan sejumlah pihak yang mengangkat isu serupa, baik dari lembaga pendidikan tinggi maupun organisasi masyarakat sipil.
Dengan demikian, membangun pendidikan berbasis kesadaran perubahan iklim yang komprehensif di sekolah bukan hanya soal data-data kuantitatif, melainkan upaya menata ulang ekosistem pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan kondisi lingkungan. Hematnya, masa depan iklim kini berada di tangan mereka, dan tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa mereka dibekali dengan sistem pendidikan yang terbaik.