Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api

oleh -685 kali dilihat
Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api
Ilustrasi/Klikhijau.com
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Di kota besar seperti Makassar, ruang bermain untuk anak sangat minim. Tidak jarang kita menemukan anak-anak bermain sepak bola di jalan kompleks perumahan atau di lorong-lorong. Memang ada beberapa titik taman kota yang bisa dijadikan space bermain anak, tapi belum sepenuhnya bisa menjadi arena bermain yang bebas dan luwes. Taman kota masih selalu identik dengan orang dewasa yang akan melakukan jogging, duduk-duduk, atau sekedar bersinggahan.

Anak kita pada akhirnya hanya bisa bermain di dalam rumah. Kalau pun harus dibiarkan ke luar, maka jalan raya akan menjadi ancaman tersendiri baginya. Lalu kemana anak-anak kita bisa bermain? Tanpa sadar anak-anak di kota memilih arena permainan di mall. Kalau tidak bisa ke luar, anak-anak kita akan tinggal di rumah dan bermain game melalui laptop, handphone, atau play station.

Di dalam rumah pula, ada televisi yang akan menjadi pusat perhatian satu-satunya. Televisi mengabarkan segala rupa dan terutama sinetron, serta tayangan-tayangan berbauh kekerasan maupun mistis, lalu anak-anak kita punya akses bebas untuk menentukan pilihannya sendiri.

Selain sinetron yang melulu memotret perilaku masyarakat urban yang serba konsumtif dan karakter tokoh yang tidak masuk akal, anak-anak juga akan bersentuhan dengan musik-musik orang dewasa lengkap dengan goyangannya. Tidak hanya itu, lebih separuh dari tayangan televisi menampilkan kecantikan perempuan, kemewahan, fashion, dan eksploitasi penderitaan atau sisi privat dari selebriti atau orang-orang tertentu.

KLIK INI:  Revolusi dari Dapur, Praksis Ekologi Kaum Muda

Di dalam rumah, anak-anak kita terancam menjadi generasi yang berjiwa kaku, individualistik, esklusif, konsumtif, lalu kehilangan sensitifitas terhadap kenyataan dan lingkungan. Di sekolah, anak-anak akan terseret arus budaya materialistis melalui budaya mengejar nilai maksimal atau lulus ujian. Sementara budaya sopan santun, budi pekerti, kejujuran dalam proses, transformasi nilai-nilai kebajikan, menjadi wacana yang asing dan tidak penting.

Kalau sudah begini, dalam beberapa puluh tahun ke depan, sudah bisa bisa ditebak akan seperti apa bangsa ini. Akan ada intelektual yang karya-karya intelektualnya akan ditelannya sendiri, akan ada pejabat publik yang bekerja untuk dirinya sendiri, akan ada pengusaha yang tidak merawat keberlanjutan sumber daya.

Bermain di alam tinggal kenangan

Richard Louv dalam bukunya the last child in the woods (2013), memastikan bahwa anak-anak yang minim bersentuhan dengan lingkungan dan alam sekitar, akan mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik. Pendapat Richard kini telah terbukti, sejumlah kasus-kasus abnormal seperti kekerasan yang dilakukan anak-anak, hingga kasus bunuh diri sudah biasa terjadi khususnya di kota-kota besar.

Konsep bermain di alam memang pelan-pelan hanya akan tinggal kenangan. Kisah-kisah bermain di alam bebas hanya akan disaksikan melalui Si Bolang di layar televisi. Parahnya lagi, pola-pola bermain anak-anak di kampung yang dahulu sangat kental dengan nuansa alam, kini bergeser ke permainan instan dan berbauh game. Kemurahan teknologi memang telah merusak kreativitas, ingatan, dan otentitas pola bermain anak-anak.

Bayangkan saja, anak-anak yang tumbuh di kampung, karena pengaruh televisi, mereka telah membangun imajinasi tentang kota sejak kecil. Pada musim liburan misalnya, sejumlah anak-anak di kampung akan memilih mengunjungi pusat kota. Rasa penasaran terhadap keramaian, pada lampu-lampu yang tiada pernah padam hingga pagi, terutama pada segala obsesi memukau tentang kehidupan mall.

Sebaliknya, tidak banyak anak-anak yang tumbuh di perkotaan misalnya terobsesi untuk liburan di alam terbuka. Tradisi pulang kampung bagi orang-orang kota sewaktu-waktu saja. Meski memberi kesan alami dan menyenangkan, gambaran anak-anak kota tentang kampung dan alam, tetap saja selalu menjadi sesuatu yang merepotkan dan membosankan.

KLIK INI:  TORA dan PS untuk Rakyat Sejahtera dan Hutan Lestari

Padahal tradisi kehidupan kota dan kecanggihan teknologi adalah barang baru. Hampir semua kita punya memori indah tentang banyak jenis-jenis permainan berbauh klasik dan tradisional. Siapa yang tidak familiar dengan permainan kelereng, petak umpet, wayang-wayang, layang-layang, perang-perangan, hingga tali temali. Seluruh permainan anak-anak di masa lalu punya makna filosofis yang dalam tentang kebersamaan, komunikasi, keberanian, kreativitas, fair play, atau kekuatan fisik.

Lalu, di zaman serba modern ini, kita semakin langka melihat anak-anak bermain dengan permainan-permainan klasik itu. Selain efek teknologi, degradasi ini boleh jadi disebabkan oleh minimnya ruang bermain. Mungkin perlu ada vestifal permainan tradisional untuk anak-anak, walau hal ini akan tidak berguna bila tanpa ruang memadai.

Voice of Amerika pada tahun 2012 pernah mengadakan studi menarik, mengenai perbandingan ruang bermain anak di Indonesia dan Amerika. Faktanya, ruang bermain di Indonesia rata-rata hanya 2.000 meter persegi per anak. Sementara di Amerika dan Eropa, tersedia sekitar 10.000 meter persegi per anak. Lalu, masih beranikah kita memperjuangkan istilah Makassar sebagai Kota Dunia, bila space bermain buat anak-anak sangat minim.

Dan minimnya ruang bermain itu akan memaksa anak-anak kita untuk terus bermain api melalui sihir teknologi canggih. Sebuah sihir yang akan melahirkan generasi ala city urban bermental kerupuk.

(Artikel ini pernah dimuat di Koran Tempo Makassar)

KLIK INI:  Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia