7 Puisi Frans Nadjira yang Bermetafora Alam untuk Mengenang Sang Penyair

oleh -73 kali dilihat
Frans Nadjira-foto/Ist

Klikhijau.com – Pada hari Jumat tanggal 22 Januari 2024 lalu. Penyair Frans Nadjira berpulang di usianya yang ke-81 tahun. Frans Nadjira lahir di Makassar, 3 September 1942 silam.

Ia sempat kuliah di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) selama berapa bulan, merasa kurang dapat ilham, memilih untuk mengembara mengelilingi hampir seluruh kepualauan Indonesia dan Filipina. Frans pernah jadi kuli pelabuhan dan penebang pohon besar di Kalimantan Utara. Cerpen pertama terbit pada tahun 1961-1962 di majalah Warta Dunia (Jakarta).

Pada tahun 1970, lukisan pertamanya terpajang di Taman Ismail Marzuki pada pameran yang bertajuk Tujuh Belas Pelukis Muda Jakarta. Ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, AS pada tahun 1979.

Selama masa hidupnya, Frans telah melahirkan banyak karya, baik berupa lukisan maupun puisi. Untuk karya tulisnya, dapat kita jumpai, di antaranya dalam buku puisi Jendela (1980), Springs Of Fire Springs Of Tears (Kumpulan Puisi, 1998), Curriculum Vitae (Kumpulan Puisi, 2007), Catatan di Kertas Basah (Kumpulan Puisi, 2015), Peluklah Aku (Kumpulan Puisi, 2017), Bercakap-Cakap Di Bawah Guguran Daun-Daun (Kumpulan Cerpen, 1981), Pohon Kunang-Kunang (Kumpulan Cerpen, 2010),Keluarga Lara (Novel, 2016), dan Jejak-Jejak Mimi (Novel, 2016).

KLIK INI:  Secangkir Kopi yang Hutan

Puisi-puisi Frans Nadjira banyak menggunakan diksi atau metafora alam. Kita dapat melihatnya di beberapa puisi berikut dikutip dari berbagai sumber:

Sekawan Semut

 

Sekawanan semut
menyeret
kepala ikan
sebelum menyebar
gelap malam
di halaman.

Langit mencerca
dirinya sendiri
sepanjang hari.
Seorang tua mengeja
berita koran di dinding:

“Diketemukan tulang-tulang purba
ditaksir berumur 1500 tahun”

Kamboja jatuh
setangkai
Genangan air di bawah
Tersucikan.

“Walau sakit mengatakannya, tapi
telah kusaksikan sengketa berkepanjangan
jadi kupikir, tulang-tulang purba itu bukan mayat
seorang dukun atau orang sakti, atau
seorang muda yang tersesat”.

Maka langit pun mencercanya.

Seperti nyala api
di perladangan
Gemertak suara
Di seberang bukit.

“Mereka tentu telah memperabukan
tulang-tulang purba itu di sana”

Kucingnya yang rintik
melompat ke pangkuannya.

Manjaku, jangan kau mengira
bulan telah berbaik hati meninggalkan
pesona cahayanya di matamu.
Sinarnya, hanya ilmu para maling
untuk meluncur ke dalam
kamar tetangga.

kucing mengibaskan ekornya.
Menjilati bibirnya
memandangi
iring-iringan semut di lantai.

Sekonyong-konyong atap
terpukul
ranting menggeliat.
Gemertak.
Gemertak menancap ke seluruh
ruangan.

Terlonjak ia menggigil.
Meraba matanya. Menemukan lobang gelap
yang dalam, Astaga.
Jadi gemertak itu bukan kilatan api
di seberang bukit. Tapi semut-semut itu.
Mereka telah menyeretku dari dalam.

Pernah dimuat di Horison, Oktober, 1978

KLIK INI:  Kecupan Kemarau

Pohon Kesayangan Burung-Burung Terbakar

 

… bagaimana kau temukan bintik hitam biji
mata di dalam tumpukan abu? Bagaimana hendak
kau samakan cairan kuning itu dengan

lingkaran pucat di bawah pelupuk mataku?
Sampai saat terdengar suara gemertak ranting-ranting terbakar
aku tak sadar dari mana datangnya cahaya menyilaukan itu
Ia tiba-tiba berdentam pecah seperti
gumpalan api terhempas ke dalam terik.

Pohon kesayangan burung-burung terbakar.
Halilintar siang mengalirkan apinya
sampai ke akar. Telur-telur!
Telur-telur meletus
Gugur jadi cairan mengental
ke dalam racikan api.

Suara parau seseorang
menyusup ke denyar darahku:
“Robek lambungnya ia yang menyulutkan api!”

Tapi siapa?
Dalam udara panas tak ada yang mau mengacungkan
jarinya
Bahkan tak akan ada yang mau mengaku memiliki tangan.

 Pernah dimuat di Horison, September, 1990

KLIK INI:  Aku Ingin Menjengukmu Lagi Nanti Tanpa Ada yang Tersakiti dari Bumi

Musim Kupu-Kupu

 

Musim kupu-kupu
musim terakhir yang menyapanya
sebelum berlayar di laut gerimis.

Ia mengenal isak ini
warna kemarau dan tepi malam
sampai ke batas paling hening.
Karena ia peka
Dan tak ada saat lewat tanpa
menyentuh bahagian paling dingin
dari angin
bahagian paling asin dari garam
ujung lidahnya. Buat kita semua
Buat kita yang menganggap bunga
tak bisa jadi sayap-sayap kupu-kupu.

Pernah dimuat di Horison, September, 1990 

KLIK INI:  Memilih Wakil Rakyat Peduli Lingkungan

Sajak Bonsai
Memandang Pagi

 

Jadi apa makna bercak darah?
Tirai tembus pandang bergetar dalam cahaya
ketika dingin menyentuh kemilau embun.
Ia ingat jejak mawar dan semua yang pernah
menyapanya. Ia ingat:
Potret mempelai dalam pakaian adat
Seperei dengan tulisan tangan
tak terbaca. Ah.
Perkawinan. Akar pohon kerdil.

Yang sengaja dikerdilkan
Beringin kecil dekat jendela.

Sesudah sarang merpati, pemandangan menjadi
biasa dengan akar-akar kerdil dan ikan hias
Dan ia membasuh tangannya dengan wajah bahagia
Serta segala yang pantas diperlihatkan

 Pernah dimuat di Horison, September, 1990

KLIK INI:  Kudengar Bisik Alam Memanggilmanggilku

Ngigau

 

Gemerisik hujankah itu atau
sesuatu yang jahat mengintai
dari atap seng menaburkan pilu
mencabuti tali-tali transfusi?

Aku tak senang cara kau memandangku
dan berniat bersembunyi di balik punggungku.

Beri aku air, beri aku api
kuda liar dan kelewang para nabi.

Lihat,
tanganku
bagai tanah
perawan-perawan menari di atasnya.

Lihat,
ringannya
melayang bagai kapas
menjadi biri-biri dan gembala-gembala
gembala-gembala tanah biri-biri kapas.

Aku tanah
Rohku kapas.

(Dari buku Jendela Jadikan Sajak)

KLIK INI:  Kecuali Sampah di Kepala

Pohon yang Tinggi Dekat dengan Bulan

 

Bulan. Jembatan basah
Pohon dari hutan
rebah
menghubungkan tepi impian

Rindu kita. Suatu saat.
pohon tua di taman
yang telah ditinggalkan
tepi daun peraknya
dan malam ajaib burung merpati
berdiri di sisi ranjang
bersama orang-orang yang kita cintai:
Yang bertubuh kurus matanya
seperti bintang rontok
Yang tak bertubuh membisikkan
kata-kata hiburan mirip dengung
suara lalat di sumur dalam

Sumur Alzheimer. Dan surat-surat simpati
yang ditulis dengan jari di jendela dingin.
Kasihku
Bila saat itu tiba, ah
Pohon yang tinggi dekat dengan bulan
Dan tepi impian rindu kita
Membentang jalan ke titik paling terang
Paling terang
Paling terang

(Dari buku Jendela Jadikan Sajak)

KLIK INI:  Tanah Berwajah Sampah

Di Bawah Cahaya Bulan

 

Seorang lelaki berdiri di bawah pohon.
Ia saksikan ular melata
Air mengalir ke dataran yang lebih rendah.
Ketika cahaya bulan menyempurnakan
air liur ular
Menjadi buah
Menjadi kabut yang menguap dari bumi
Ia mengucapkan kata-kata bisu perpisahan.

Di bawah cahaya bulan yang sama
Ia berbaur dengan jutaan orang
Di sebuah dataran bulat sempurna.
Seorang perempuan duduk di bawah pohon
Gelisah seolah berada di ruang
keberangkatan.
Dia melihat spesies unik berhamburan
Datang dari sudut malam
Menghilang ke lembah hening.

Di bawah cahaya bulan yang sama
Lelaki itu berbaring di pangkuan isterinya.
Terdengar suara air berdesir
Meliuk seperti ular.
Kerisik langkah kaki menggetarkan jembatan
Menggugurkan karat besi
Seperti buah jatuh di musim kemarau.

Lelaki itu mendongeng tentang sebuah taman
Tentang sungai jernih yang mengalir
di taman itu
Tentang seorang lelaki yang tertidur nyenyak
Dan tulang rusuk yang berbicara kepada ular.

Di bawah cahaya bulan
Di bawah guguran kerak besi
Debu tanah terkutuk
Tumbuh menjalar dalam perutnya
Bepijar seperti pedang menyala.

Ketika pijar tembaga meremas ulu hatinya
Lelaki itu bertanya kepada isterinya:
” Dimana diriku? ”
Disusul igauan tentang seorang lelaki berbulu
Berusia sembilan ratus tiga puluh tahun
Dan cahaya yang meninggalkan tanah.
Tentang hening panjang terbentang luas
Tentang wangi meninggalkan kelopak bunga.

KLIK INI:  Mencicipi Eksotisme Puisi-Puisi Pablo Neruda yang Bernuansa Alam