Bunga Badaria di Musim Hujan

oleh -147 kali dilihat
Bunga Badaria di Musim Hujan
Ilustrasi-foto/Pixabay
Ilham Aidil

Hujan baru saja tumpah. Seorang perempuan berusia setengah abad baru saja pulang dari sawah. Orang-orang memanggilnya Daeng Ke’nang. Ia mengeluhkan air di sawah yang belum surut.

Beberapa minggu yang lalu ia telah menabur benih padi untuk dijadikan bibit, belum muncul pucuk daunnya, namun sudah terbawa oleh air meluap di pematang sawah yang cukup tinggi.

Banyak petani tidak ingin mengambil resiko, takut kehilangan benih di musim hujan yang sulit ditebak seperti halnya yang dialami perempuan itu. Padahal ia sudah menentukan waktu yang baik untuk menanam padi menurut perhitungan orang dulu. Mereka memilih menunggu musim hujan berjeda walau sawah telah ditraktor. Apalagi beberapa hari ini hujan turun dengan deras disertai petir yang bisa mengoyak tubuh.

Perempuan itu berlapang dada, baginya bertani selain sebagai sumber penghasilan juga sebagai hiburan. Perempuan berusia setengah abad itu tidak menikah. Tidak ada lelaki yang ingin mempersuntingnya di usia yang sudah cukup berumur. Namun, ia membesarkan seorang keponakannnya, anak dari saudaranya. Ia yang merawatnya dari kecil.

KLIK INI:  Toraja di Waktu Senja yang Hujan

Sejak rumahnya masih menggunakan lampu teplok di sebuah rumah panggung. Sedang saudaranya mengadu nasib dan menikah kembali di kota untuk waktu yang lama. Hanya berkunjung sekali dalam enam bulan di kampung halaman.

***

Keponakan Daeng Ke’nang memiliki pesona seperti jamur yang bertumbuh dan menyebar di musim hujan. Badaria namanya. Kini ia bertumbuh sebagai gadis desa yang banyak dikagumi oleh lelaki.  Telah banyak yang datang melamar. Yang datang pun bergantian dan bukan orang biasa. Ada tentara, polisi, dan  pelaut. Tidak ada satupun yang memenuhi syarat.

Daeng Ke’nang merasa paling bertanggungjawab atas masa depan keponakannya. Termasuk lelaki seperti apa yang akan mendampingi hidup keponakan tersayangnya. Baginya tentara, polisi, dan pelaut hanya akan menjadikan keponakannya seorang “janda”.

Mereka semua akan pergi bertugas dan meninggalkan istri untuk waktu yang lama jika kelak menikahi Badaria.  Tidak jarang Daeng Ke’nang sering mendapat perkataan yang tidak menyenangkan dari keluarga pemuda-pemuda yang datang melamar sebagai perawan tua karena merasa kecewa lamaran mereka tertolak.

Daeng Ke’nang pernah memiliki trauma masa lalu yang sulit untuk dilupakannya. Sewaktu masih muda. Ia pernah menyukai seorang lelaki. Lelaki itu seorang pelaut. Lelaki itu berjanji akan menikahinya setelah pulang dari melaut. Bertahun-tahun lamanya Daeng Ke’nang menunggu. Akhirnya lelaki itu pulang, tapi bukan untuk menikahinya tetapi menikahi perempuan lain. Ia terpaksa merawat rasa kecewa itu.

KLIK INI:  Aku Ingin Menjengukmu Lagi Nanti Tanpa Ada yang Tersakiti dari Bumi

Badaria remaja biasa menemani tantenya di sawah menanam padi atau membawakannya bekal dari rumah. Badaria pandai memasak. Sejak kecil ia sudah terbiasa di dapur. Daeng Ke’nang mengajarinya memasak, bercocok tanam; menanam padi dan sayuran, memanen padi dan memelihara binatang. Ia membekali keponakannya agar tidak terlalu berharap pada lelaki dan bisa hidup mandiri. Meski begitu Badaria tetaplah seorang perempuan, ada perasaan ingin dikasihi.

Badaria kerap menyembunyikan rasa kecewanya ketika setiap lelaki yang datang melamar ditolak oleh tantenya, Daeng Ke’nang. Ia ingin pergi dan menemui mamanya di kota yang sudah jarang pulang. Ia nekad meninggalkan rumah.

***

Diam-diam di malam hari Badaria mengemas bajunya. Ia meninggalkan rumah saat tantenya tengah terlelap tidur. Membawa segala rindu menemui mamanya. Badaria sangat bahagia bertemu mamanya setelah sekian lama tidak bertemu.

“Bagaimana kabar tantemu, Ria?”

“Sehat-sehat ma,”

“Apa tantemu tahu kamu ke sini?”

“Iya ma,” Terpaksa Badaria berbohong karena kalau tidak pasti mamanya akan marah.

KLIK INI:  Mengapa Tumbuhan Harus Beradaptasi dengan Lingkungannya?
***

Selama hampir sebulan tinggal di rumah mamanya, Badaria penasaran bagaimana kehidupan perkotaan. Ia berjalan sendirian menuju pusat perbelanjaan dan sepulang dari sana ia mampir di sebuah kafe. Di sana ia memesan segelas kopi Cappucino. Ia menyukai tempatnya, ketika bosan di rumah Badaria sering berkunjung ke kafe itu.

***

Di depan sebuah loket antrian PAY & ORDER HERE dalam kafe. Seorang pemuda duduk di kursi sofa dalam ruangan berAC sambil menyeruput secangkir kopi cappucino. Namanya Syah. Ia menikmati musik. Lagu-lagu yang membangunkan ingatan-ingatan lama. Sesekali melihat orang keluar masuk dari kafe. Ia memikirkan bagaimana judul skripsi yang akan diajukkannya sebelum pergi KKN dan project tulisan untuk dimuat di surat kabar.

September, musim hujan sudah lelah bersembunyi. Hujan begitu menggebu-gebu. Memantik kesunyian di balik kaca. Beberapa orang berlarian mengamankan helem mereka di motor. Seorang gadis berdiri di teras kafe tertahan untuk pulang oleh hujan dan menunggunya reda. Sesekali ia menengadahkan tangannya dan menyentuh hujan. Merapikan rambutnya yang terkibas angin.

KLIK INI:  Setangkai Bunga Surga

Hujan seperti berupaya mengisahkan kisah perempuan yang tengah menanti hujan itu berhenti. Ia menggigil seperti kedinginan. Dan saya seperti pendengar yang menanti kisah-kisah itu berlanjut. Tetapi sayangnya hanya sebentar saja. Hujan berhenti dan perempuan itu juga bergegas pergi. Meninggalkan lengkum senyum yang terurai kemana-mana.

Keesokan harinya masih di tempat yang sama perempuan itu terlihat di balik kaca kemarin juga berada dalam kafe. Penampilannya terlihat ayu. Kami bertatapan beberapa detik. Namun sesaat setelah Syah membetulkan posisi duduk, perempuan itu tergesa menuju kasir dan keluar dari kafe. Sesekali melihat smartphone miliknya. Di luar sebuah motor telah menunggunya. Ia lalu naik pergi di tengah hujan yang masih merinitik. Syah berpindah tempat duduk dan mendapati sebuah coretan di sebuah potongan kertas. Nama dan nomor Watsapp.

***

Badaria mulai tidak nyaman dan enak hati berlama-lama di rumah Bapak tirinya. Ia kerap mendapat perlakuan tidak baik dari bapak tirinya. Bapak tirinya seperti terpesona dengan kecantikan Badaria. Kadang Bapak tirinya tiba-tiba berada dalam kamar yang ditempati Badaria saat mamanya tengah pergi bekerja.

Ia sendiri tidak tahu mamanya kerja apa dan dimana. Seperti ada aib yang coba disembunyikan oleh mamanya. Tantenya juga tidak pernah bercerita banyak tentang siapa Badaria. Dan Bapak kandungnya yang konon sudah tiada. Ia kerap mendapat perlakuan yang kurang baik dari keluarga Bapak tirinya. Badaria berpamitan ke mamanya untuk pulang tanpa menceritakan apa yang telah dialaminya. Mamanya mengantarkannya mencari mobil yang dapat mengantar anaknya kembali ke kampung. Mamanya memberi amplop yang berisikan uang untuk dibawa pulang.

KLIK INI:  Menghidupkan Air

Pikiran Badaria bercampur aduk. Sepanjang perjalanan ia merenung dan menyesal meninggalkan tantenya sendirian. Mendadak gerimis mampir di wajahnya. Ia merasa telah berbuat salah. Meninggalkan orang yang telah merawat dan membesarkannya. Di sisi lain ia teringat dengan wajah lelaki yang ditemuinya di kafe beberapa waktu lalu. Seperti ada yang mengganjal di kepalanya.

Segalanya terjadi begitu saja. Singkat cerita Syah iseng mengirimi pesan ke Badaria.

“Hai, selamat sore.”

“ Selamat sore,”

“Benar dengan Badaria?”

“iya benar, dengan siapa?”

“Saya Syah.”

“Syah yang mana?”

“Yang tempo hari ketemu di kafe.”

“Hmm…darimana dapatkan nomor ini?”

“Tidak sengaja saya dapat di kertas di meja waktu itu,”

“Maaf kalau saya mengganggu.”

KLIK INI:  Pohon-pohon yang Ditumbuhi Gerimis
***

Begitulah awal perkenalan Syah dan Badaria. Jika diceritakan lebih panjang akan memakan waktu yang lama. Semenjak perkenalan itu. Mereka kerap bertukar cerita dan pengalaman melalui chatingan watsapp dan telponan. Hingga suatu ketika Syah berkinginan menemui Badaria di kampungnya. Ia berjanji akan menemuinya sepulang dari KKN. Tetapi siapa yang menyangka Syah ditempatkan di lokasi di desa tidak jauh dari tempat tinggal Badaria.

Mereka sering curi-curi waktu untuk bepergian bersama. Di suatu senja di pematang sawah mereka bertemu memandangi padi-padi yang menghijau. Di antara pepohonan yang tumbuh meranggas. Daun-daun bergoyang diembus angin sepoi-sepoi. Menghampar keindahan alam yang bersahaja. Badaria melempar senyum. Lebih manis daripada madu hutan. Benih cinta telah menggetarkannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Syah mengutarakan isi hatinya kepada Badaria dan bermaksud menikahinya. Badaria terkesiap. Bunga-bunga yang tumbuh liar di sekitar sawah memancarkan pesona. Syah tidak peduli dengan latar pendidikan yang dimiliki Badaria. Yang hanya tamatan SMA. Dan nampaknya Daeng Ke’nang memberi restunya. Ia percaya mungkin sudah saatnya bagi Badaria menikah. Ia sudah dewasa dan menentukan sendiri nasibnya.

Badaria diikhlaskan seperti alam, yang akan merawat dan menentukan nasibnya sendiri—yang akan menumbuhkan apa saja saat hujan tiba.

KLIK INI:  Meribang Sawah