- Hujan di Kota M - 03/01/2025
- Langit Mahakam dan Kupu-Kupu Bantimurung - 22/09/2024
- Lebaran, Ingatan, dan Wajah Kampung yang Berubah - 17/04/2024
2014.
Suatu ketika entah bagaimana Raka tiba-tiba mengingat suatu peristiwa. Saat dimana ia dan Anna berboncengan dari arah kampus. Hujan mengguyur dengan derasnya. Air di selokan menguap dan genangan menutupi separuh jalan. Tiba-tiba mereka berhenti di tepi jalan, berteduh di bawah pohon ketapang yang berdiri kokoh yang usianya terbilang sudah cukup tua. Daunnya lebat, dan rantingnya menjulur ke bahu jalan. Entah siapa yang menanam pohon ini. Hanya ada Raka dan Anna yang sedang kedinginan. Tiba-tiba Anna mengarahkan pandangan ke arah Raka dan tersenyum. Raka benar-benar tidak berdaya. Senyum Anna manis sekali. Anna meminta Raka untuk untuk mengambil jas hujan miliknya di sadel motor.
“Raka, ada jas hujan di bagasi motor,” katanya.
Raka pun membuka bagasi motor dan mengambil jas hujan yang Anna maksud.
“Kamu pakai, ya.” lanjutnya.
“Kenapa saya yang harus memakainya? Kenapa bukan kamu saja? Kamu lebih membutuhkannya daripada saya.” Kata Raka.
“Karena kamu yang akan mengendarai motor. Bukan saya.”
“Ah…kamu saja yang pakai. Saya akan baik-baik saja.” Anna tersenyum.
Anna perempuan yang unik, tidak manja. Hanya saja ia keras kepala seperti pokok pohon jati. Tidak ada yang berubah, ia masih sama seperti dulu saat mereka masih berstatus mahasiswa baru jurusan Sastra Inggris. Raka dan Anna sering berdebat hanya karena persoalan kecil. Di kelas Anna punya kemampuan bicara lebih baik dibanding Raka. Kepandaian Anna bercerita dan berdiskusi membuat Raka merasa bodoh. Termasuk persoalan siapa yang akan memakai jas hujan ini. Kalah secara halus.
Raka dan Anna basah kuyup. Raka menatap wajah Anna yang gigil. Anna melempar senyum yang Raka anggap sebuah harapan bahwa Anna menaruh perasaan terhadapnya. Tetapi itu hanya pendapat Raka saja. Sejauh ini mereka tidak dapat menamai hubungan mereka seperti apa. Boleh dikata hanya sebatas teman. Tetapi entah kenapa ada getaran yang semakin berdetak ketika Anna berada di dekat Raka. Perasaan mereka seperti sudah bertaut. Tidak ada yang ingin saling mengatakan. Hanya persoalan waktu saja.
Beberapa saat kemudian, hujan mulai reda. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju tempat dimana mereka akan mengambil gambar untuk pembuatan film dokumenter. Sial, ban motor tiba-tiba saja kempis dan bocor. Raka mesti mendorong motor menuju bengkel sekitar dua ratus meter jauhnya. Belum lagi mendorongnya butuh tenaga ekstra di tengah genangan air. Semoga saja Anna tidak kesal. Untungnya ada bengkel di perempatan jalan. Sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk menunggu ban motor itu ditambal. Ada beberapa kendaraan motor bernasib sama.
Raka dan Anna duduk menunggu ban motor itu ditambal. Sejenak mereka memandangi hujan yang bergerak ritmis dan mulai deras kembali. Anna tersenyum dan membenarkan rambutnya yang tertiup angin dan sehelai rambut yang menempel di hidungnya. Deru angin dan hujan begitu terasa di ubun-ubun. Entah bagaimana cinta itu bekerja, ia seolah memaksa Raka untuk terus berbicara dengan Anna. Raka membuka percakapan seperti orang yang baru pertama kali bertemu. Klise sekali.
Waktu sudah mau memasuki waktu maghrib. Belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Dalam kondisi yang masih basah kuyup begini rasanya mustahil untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi. Tidak ada baju ganti.
Tentu rasa bahagia menghiasi ruang hati Raka saat itu. Tapi di sisi lain Raka tidak ingin larut dalam perasaan yang justru akan menjadi bumerang buatnya. Ia takut jikalau itu hanya harapan hampa buatnya. Sebisa mungkin Ia terus berupaya mengalihkan perasaannya. Walaupun Ia sadar ia masih menyimpan perasaan sama seperti saat kali pertama ia bertemu.
Ia tahu, Anna, tidak mungkin menaruh rasa terhadapnya.
“Hmm, jadi bagaimana?”
“Kita putar balik ke kos saya saja dulu, kosan saya lebih dekat daripada kosmu,”
“Tapi, apa tidak apa-apa kalau saya ke kosmu.”
“Tidak apa-apa, yang penting jangan macam-macam.” Katanya sambil mengepalkan tinju dan tersenyum.
***
Raka berkunjung ke kos Anna dan itu kunjungan pertamanya ke kosnya Anna. Sesampai di kosnya, Anna lalu mengganti pakaiannya dengan daster berwarna kuning, cocok sekali dengan warna kulitnya, ia persilakan Raka masuk dan melayaninya dengan ramah layaknya tamu. Rambut Anna tergerai indah dan lembab di bahu.
“Raka, kamu mau minum apa, teh atau kopi?”
“Tidak usah repot-repot.”
“Tidak usah sungkan, anggap saja kos sendiri.”
“Kopi atau teh?”
“Kopi saja kalau begitu.” Suara Raka sopan sekali.
“Sejak kapan kamu minum kopi?”
“Sejak…saya lupa sejak kapan.”
“Mungkin saat saya mulai mengenalmu.” Ucap Raka dalam hati.
Tidak lama ia menyuguhkan segelas kopi. Aromanya harum dan menyeruak. Raka menyeruputnya pelan dan rasanya tidak ada kopi paling enak yang pernah ia seduh selain buatan Anna. Kopi yang tidak ternilai harganya. Ia cermati wajah Anna. Bibirnya memerah karena disentuh hujan begitu lama. Ia memiliki kecantikan yang tidak terbantahkan. Suasana menjadi kikuk dan hening. Malam itu mereka duduk sambil memandangi kopi dan sesekali saling memandang tanpa menghiraukan hujan dan percakapan-percakapan di luar sana. Dalam udara dingin berdua mereka malam itu, di kamar yang kecil. Malam itu menjadi malam untuk saling membuka gerbang cerita. Saling mnggeledah rasa yang mungkin saja lama tersimpan. Tidak terceritakan. Anna tiba-tiba menyandarkan kepala ke bahu Raka dan memeluknya. Seperti ada satu hal yang ingin ditumpahkan tetapi sulit untuk diungkapkannya. Ternyata perempuan ini memiliki hati. Yang selama ini tidak tampak di pandangan Raka. Yang dilihatnya Anna ini adalah perempuan yang merdeka dan independen. Tetapi kini ia mendadak menjadi anak kecil. Raka merasakan kehangatan buah dada Anna yang mungil menempel.
“Maaf,” kata Anna pelan lalu menarik kepalanya dari dada Raka yang tidak terhitung kecepatan detak jantungnya.
“Tidak usah minta maaf,” kata Raka.
Anna dan Raka kemudian meraih kopi yang mulai dingin. Disesapnya secara perlahan. Anna mencoba mengalihkan suasana dengan makanan.
“Kamu mau makan apa?”
“Saya masih kenyang.”
“Kenyang? orang seharian di luar terus kehujanan.”
Dibukanya kulkas dan mengambil sayuran, tempe dan seekor ikan nila berukuran besar yang masih tersisa. Sambil menyiapkan makanan, Anna bertanya bak seorang Ibu kepada anaknya.
“Kalau selesai nanti, apa rencana kamu, Raka?”
“Saya belum tahu Anna, belum ada rencana ke depan.”
“Bagaimana dengan skripsimu?”
“Ini juga baru mau usulkan judul.”
“Saya percaya kamu bisa.”
***
Semua menjadi kenangan. Dan itu bukan waktu yang singkat, dua bulan lamanya. Anna akan kembali ke kotanya dan Raka juga akan pulang ke kota asalnya. Jarak kota asal antara Anna dan Raka ibarat ujung selatan dan utara.
Ketika liburan semester tiba Anna menghilang dan hampir sebulan tidak ada kabar. Nomor kontak yang tersimpan, tidak ada yang bisa dihubungi. Raka risau. Segala kenangan tumbuh di kepalanya. Dalam rerimbun pohon jati, Anna selalu terkenang dalam benaknya. Dihitungnya daun yang jatuh di depan rumahnya. Tiada hari tanpa mengingat Anna. Ketika burung-burung berkicau hingga suara jangkrik terdengar. Ia tidak kuasa menahan rindu yang bertiup seperti angin topan. Berkecamuk. Tidak ada rasa tenang dalam dirinya sebelum bertemu Anna. Ia tidak tahu bagaimana meluapkan kerinduan itu. Ada cinta yang mengakar seperti akar pokok jati. Ia merasa ia adalah pemilik pohon itu. Tidak ada pilihan lain, Raka ingin segera kembali ke kota M. Ia sudah tidak tahan lagi.
***
Raka melakukan perjalanan ke kota M, ia bersemangat tanpa ragu akan bertemu Anna di kota M. Tetapi rasa kecewa meruah di wajahnya. Anna belum ada di kota M. Kota yang telah menyimpan banyak kenangan meski setiap tahun selalu dikunjungi banjir dan bermandikan sampah. Itulah yang ia amati selama tinggal di kota M. Andai ia memiliki museum, Raka akan memusemkannya. Pohon Ketapang, hujan dan semua tempat di mana ia memiliki kenangan dengan Anna. Bahkan foto-foto banjir sekalipun, ia akan buatkan museum. Di sanalah kenangan yang paling melekat di ingatannya. Jelang liburan semester berakhir, belum juga ada kabar. Selama itu pula, Raka hanya menghabiskan waktu ngopi dan membaca buku-buku sastra. Hidupnya kini memiliki warna yang berbeda. Setelah membaca buku-buku Haruki Murakami, Norwegian Wood dan Kafka on the Shore. Ia mendadak menjadi lelaki yang lebih senang “mengasingkan diri” dan menatap layar laptop. Ia percaya orang-orang besar lahir dari “pengasingan”. Ia menulis dan menulis, bukan skrpsi tetapi cerita, berpindah dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Dari satu taman ke taman lainnya. Ia memiliki obsesi yang gila. Ingin dikenang sebagai penulis. Sebuah mimpi yang buruk. Raka hanyalah mahasiswa semester akhir yang lebih banyak makan ikan asin.
Dengar-dengar Anna hendak melangsunkan pernikahan dalam waktu dekat ini.
Sebuah undangan online beredar secara beruntun dari nomor yang berbeda. Dedaunan tetiba jatuh di sebuah taman dimana ia duduk tepat berada di bawah lampu taman. Keindahan akan Anna tiba-tiba buyar. Ada isak yang tidak tertahankan ketika Raka memandangi layar HPnya. Begitu dalam dan terluka. Kabarnya Raka jatuh sakit dan stress.
***
2024.
Sudah menjadi ritual di pagi hari Raka ketika bangun tidur adalah menuju dapur dan membuat secangkir kopi dan duduk menikmatinya sesapan demi sesapan di meja mini bar yang baru dipasang beberapa hari yang lalu. Ia kini sangat menyukai suasana kafe bernuansa modern di lengkapi buku-buku di sisinya. Rumahnya juga terbilang minimalis dengan desain interior kekinian dan gambar-gambar pohon terpajang di dinding rumahnya, skripsi yang memuat nama Anna, ia buatkan figura, ia koleksi mangkok bakso ayam jago, dan foto-foto banjir dari tahun ke tahun di kota M. Lelaki yang terluka itu bukanlah pelupa. Ia mengenang yang sudah-sudah.
Beberapa bulan ini ia sangat disibukkan dengan penyelesaian doktoralnya. Akhir pekan baiknya di rumah saja. Lelaki yang kini genap berusia tiga puluh empat tahun itu. Tidak lagi khawatir tentang perempuan, jika hanya ingin memberinya kebahagiaan finansial. Ia bisa memberikannya kapan saja. Hanya saja ia masih senang sendiri. Ia kini terlihat berkecukupan dan mapan. Raka kini menjadi seorang dosen dan baru saja menyelesaikan program doktoralnya mengangkat sastra dan isu lingkungan dalam disertasinya. Andai saja cinta tidak pernah melukainya, ia tidak akan jadi apa-apa.