Perempuan di Balik Purnama

oleh -582 kali dilihat
Perempuan di Balik Purnama
Ilustrasi-foto/Fixbay
Murnih Aisyah
Latest posts by Murnih Aisyah (see all)

Perkenalanku dengan Raka belumlah lama, seingatku ini belum genap tiga bulan. Meskipun aku sudah lama keluar masuk di kafe ini, tapi aku hanya mengenalnya sebatas seorang barista dengan racikan kopi yang sungguh menggugah selera. Sesekali senyumnya dilempar ke arah para pengunjung di kafe ini. Senyuman yang begitu manis menurutku.

“Bagaimana mungkin seorang barista tak pernah mencicipi kopi racikannya sekalipun,” tanyaku tak percaya. Aku lihat ia setengah mengangkat pundaknya.

“Aku barista, tugasku meracik kopi, bukan menikmatinya.” katanya. Mataku mencuri senyum dari sudut bibirnya.

Tempat ini mulai ramai, kugeser posisiku ke sebuah meja kecil, sepasang kursi ada di sana, di atas meja kuletakkan segelas kopi espresso. Kumainkan anganku dan kuselami hidupku tentang aku dan Raka, barista yang setiap hari mengganggu ketenanganku. Di meja ini aku memandangnya dari jauh, segala gerak-geriknya. Senyum yang selalu ia punya, seakan menjadi pengusir lelahnya. Di tengah kesibukannya ia menghampiriku, kami berbincang perihal keinginannya menerbitkan sebuah buku.

KLIK INI:  Pohon Ludah

“Lantas apa yang kau inginkan dariku?” Tanyaku pelan

“Tulis kisahku, kisah penyesalanku melukai hati seorang perempuan.”

“Ia kekasihmu?” Tanyaku penuh selidik

“Bukan,” jawabnya memancing tanya di benakku

“Lalu siapa wanita itu?”

“Namanya Tania. Sebenarnya aku tak mengenal wanita itu, pun dengannya. Ia tak mengenalku pula. Perjumpaan kami tak pernah nyata hingga ia menghilang dari kehidupan orang-orang dekatnya. Tanpa pamit, tanpa pesan.” Ia menghela napas yang dalam. Tatapannya jauh kembali ke masa silam, 13 tahun 23 hari yang lalu tepatnya.

“Lantas dari mana kau mengenalnya?” Tanyaku lagi

“Aku tak pernah mengenalnya, ia yang memperkenalkan sosoknya pada alam, pada bebatuan, dan pada ladang-ladang berisi ilalang. Ia menjelma menjadi hujan pada tanah-tanah kering, ia menjadi mata air di tengah gersangnya imajinasi.”

“Belati apa yang kau tancap padanya hingga ia terluka?” Tanyaku

“Ia perempuan dengan mimpi yang besar. Setelah mimpinya menjadi sangat indah, aku datang membangunkan tidurnya, mematahkan buaiannya hingga ia terjatuh.”

“Bukannya ia wanita hebat? Mengapa ia tak bangkit?”

“Aku yakin tentangnya, tapi kepergiannya adalah cara menghukum ego yang berujung keserakahan.”

Tania. Ia perempuan  bergelar sarjana, tercatat mahasiswa berprestasi di kampusnya, ia wanita cerdas dengan relasi di mana-mana. Indah megapolitan ada di genggamannya, tetapi ia menanggalkan euphoria itu, kembali ke tanah leluhurnya, sebuah lembah bernama Pintulung yang para penghuninya satu persatu hengkang dari lembah itu. Mereka berbondong-bondong mencari kampung baru, membangun peradaban baru di tanah yang baru, hanya dengan alasan di Pintulung tak ada  istrik, warganya tak bisa menonton film India, tak bisa menikmati ketampanan Sahrukh Khan dan paras cantik Rani Mukherji, entah!

“Lembah itu tak berpenghuni lagi?”

“Iya, sampai ia datang mengubahnya.”

Sembari menikmati kopi racikan Raka, aku menyimak kisahnya perihal perempuan itu. Dengan segala dayanya ia meyakinkan masyarakat bahwa lembah itu adalah surga alam yang tertidur. Lembah dengan segala potensinya akan menjadi ladang emas bagi masyarakat. Memandang suguhan alam di Pintulung, tak akan ada rasa bosan pada keelokan rupanya. Panorama yang indah nan asri, pohon-pohon bambu yang menjulang di sisi tebing, suara alam yang memanggil-manggil oleh kicau burung dan gemericik Sungai Bintula. Ranum biji-biji kopi dari kebun para petani, adalah keindahan tak terbeli oleh para penikmat alam.

Di tepi hutan sana di sisi lembah Pintulung, di antara tebing berbatu, baruttung Pincuni tersaji dengan indahnya. Air terjun dengan pesona surga, aliran Sungai Bintula, dari mata air kaki Gunung Bawakaraeng, mengalir dari hutan alami tak terjamah. Di pagi dan sore hari akan tampak pelangi-pelangi indah dari percik air terjun bersusun itu. Air yang jernih, gemericik membelai batu-batu, mengalir bersama harapan pengunjungnya. Sungguh sajian yang begitu indah bagi penikmatnya.

KLIK INI:  Pohon Tubuh

Mulanya ia menjadi bahan tertawaan, bukan saja karena ia perempuan yang dianggap lemah oleh masyarakat, terlebih ide dan gagasannya selalu dianggap khayal semata. Sikap masyarakat bukan tak beralasan, terlepas dari keindahannya, Pintulung  terasing dari teknologi, tak ada listrik, jauh dari hingar bingar keramaian. Jalan yang terjal dan berbatu menjadi penghambat kendaraan melewatinya.

Tekad dan semangat yang ia punya menjadi modal untuknya agar tak menyerah. Segala bentuk pendekatan persuasive ia lakukan di semua lapisan masyarakat dan pemerintah untuk meyakinkan mereka akan potensi alam yang ada di Pintulung.

“Siapa yang mau bersusah-susah berjalan kaki ke Pincuni, melewati Pintulung dengan jalan berbatunya?” Nada pesimis itu lahir dari bibir Puang Gani, Lurah sekaligus pemilik separuh lahan dan sawah yang ada di Pincuni.

Tapi bukan Tania jika ia menyerah. Dengan petikan gitar dari lentik jemarinya ia menarik empati pemuda kampung. Tania berhasil mengajak para pemuda membangun gazebo, ballak-ballak, bahkan ia membuat taman indah dengan bunga-bunga indah di sekitar baruttung Pincuni. Tahun berlalu, Tania sukses mengedukasi petani di Pintulung tentang pengolahan kopi, mulai dari proses panen hingga pengolahan biji kopi menjadi bubuk-bubuk kopi yang berkualitas. Tania percaya, suatu saat kopi Pintulung akan menjadi branding baru di Sulawesi, seperti kopi Toraja yang sudah mendunia.

Perlahan Pintulung dan Pincuni mulai ramai pengunjung. Mereka tak hirau lagi pada jalan berbatu dan berkelok, semua demi suguhan  baruttung Pincuni dengan molek pelanginya.  Meski pelancongnya masih kalangan domestik, setidaknya bambu, semak, dan batang-batang pakis tak lagi kesepian diterpa angin.

“Apa impian terbesar Tania di Pintulung?” Tanyaku pada Raka

Tania, perempuan cerdas itu ingin masyarakat, pemuda-pemudanya, dan seluruh warga menjadi maju secara sosial, ekonomi, dan intelektualnya. Ia membayangkan, kelak jika Pincuni menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Sinjai, tak ada pemuda lagi yang menjadi pengangguran, Pintulung akan ramai pelancong yang hilir mudik menuju baruttung Pincuni. Bukankah itu menjadi jalan bagi masyarakat untuk berdaya?

“Mengapa ia tak mendatangkan investor saja, bukankah ia kuliah di kota? Lagi pula ia punya relasi dari kaum berjouis?” Pernyataanku terbantahkan oleh Raka. Tania tak ingin masyarakatnya menjadi penonton di tanah moyangnya sendiri.

“Bisa kau bayangkan, jika baruttung Pincuni dikelola bukan dari masyarakat setempat, maka mereka berkunjung ke Pincuni pun harus merogoh saku jongkorok untuk membayar karcis masuk.”

Aku mengiyakan dengan anggukan kepalaku. Lama berbincang tentang Tania, aku terusik rasa penasaranku, bagaimana bisa Tania mengalami kecewa dengan kesakitan yang begitu perih?

Adalah Raka. Ia pemuda dengan gelimang harta, bukan hanya warisan dari orang tuanya yang punya berderet kapal penangkap ikan, tapi ia pun lihai melihat peluang bisnis. Gayung bersambut, ayah Tania, Puang Sampara, tak restu pada upaya Tania. Ia orang yang menentang upaya Tania, bersikukuh agar Tania kembali ke kota, menjadi pegawai negeri lalu menjadi terkenal di kampungnya.

KLIK INI:  Pohon Seribu Tahun

“Aku menyekolahkanmu agar kau menjadi pegawai negeri, bukan jadi gembel mengurusi rompok dan baruttung. Masa depan apa yang kau dapatkan dari itu semua? ”

Perempuan itu masih tersedu dalam dekapan senja, onggok jingga seolah meratapi kecewanya. Ia tak bergeming, namun kecamuk di jiwanya begitu dahsyat. Tania, ia perempuan dengan ambisi membangun peradaban di tanah leluhurnya, kini lebur termakan ego dan gengsi seorang ayah.

Mimpi buruk Tania nyata adanya, dengan iming-iming uang, Puang Sampara menjual seluruh tanahnya yang ada di sekitar baruttung Pincuni. Tak hanya itu, Puang Gani yang aset terbesar Pincuni ada di tangannya pun turut menjual tanahnya. Raka, pemuda kaya raya melihat sisi lembah itu laksana mutiara. Ia menjadi pemilik tunggal wilayah baruttung Pincuni.

“Aku mengubah tempat itu menjadi surga alam yang sempurna.” Kulihat Raka dengan senyum khasnya.

Ia menawarkan keindahan di Pincuni, bukan hanya pada air terjunnya. Tanah berilalang  ia sulap menjadi kawasan kuliner, undag sawah menjadi agrowisata mengalahkan indahnya kawasan Ubud di Bali. Sisi-sisi bukit ia ubah menjadi ladang kopi dengan saung berdiri artistik di puncaknya. Suguhan kopi dari barista dan brewer menjadi daya tarik penikmat kopi, bahkan pengunjungnya dari turis mancanegara. Specialty coffee dari kopi terbaik yang tumbuh di tanah subur itu benar-benar spesial. Kopi yang menjadi kesukaanku juga, nyaris setiap kunjunganku ke café ini, specialty coffee adalah nomina untuk kuseruput.

“Aku menikmati kebahagiaanku, tertawa dengan pengunjung yang semakin ramai.” tambahnya

“Lalu apa yang membuat Tania pergi?” Tanyaku penasaran

“Jika mimpi-mimpimu terampas ego orang terdekatmu sendiri, lantas alasan apa yang membuat kau bertahan?” Raka balik bertanya kepadaku

“Bukankah kau mewujudkan semua mimpinya?” Bantahku

“Mimpi Tania bukan sekadar membuat Pincuni menjadi ramai pelancong, bertumbuh dengan deru knalpot, dan lantunan music country di setiap harinya,” terang Raka dengan nada serius.

Mimpi Tania ada pada pemuda-pemuda berdaya, pemuda yang tak lagi menggantung hidupnya pada nyanyian tanah surga, tongkat kayu menjadi tanaman. Tapi Raka tak mewujudkannya. Pemuda- pemuda di kampung itu menjadi penonton, bahkan ia menjadi pelancong di rumahnya sendiri.

“Kau tahu Tania ada di mana?” Tanyaku lagi. Tak kutemukan jawaban darinya

Gelengan kepala dengan mata nanar kucuri dari wajahnya. Sungguh kulihat mendung dari paras tampannya.

“Kau tak mencarinya?” ucapku dengan nada yang kutinggikan

“Aku lelah, tak satu pun jejak yang ia tinggalkan, kecuali mimpi-mimpi buruk yang menghantui di setiap malamku.”

Perihal mimpi buruk saja Raka meninggalkan seluruh aset di Pincuni, membuang semua jerih payah, dan melupakan kesakitan yang ia toreh di hidup Tania. Tak sungkan kukatakan padanya, ia layaknya anak kecil yang ngambek karena kehilangan permen lollypop-nya.

“Tak sesederhana yang kau kira. Di setiap hari Jumat, hari menghilangnya Tania para pekerjaku  akan diteror makhluk asing penunggu baruttung. Satu persatu mereka undur diri, meninggalkan bengkalai pekerjaannya, seolah ia melihat monster mengerikan di sana,” ucapnya lirih.

“Ini abad 21, lalu kau masih percaya hal mistis seperti itu?” Aku sedikit mengejeknya

“Bukan hanya pekerja, aku melihat dengan mataku sendiri, di bawah sinar purnama makhluk itu bercengkrama dengan sosok gadis berambut panjang.”

Aku terbahak mendengar pengakuannya. Kuanggap itu halusinasi belaka akibat rasa bersalahnya pada Tania. Bincang demi bincang kami lalui, kenangan mulai merasuk dalam pori-pori ingatan. Tutur Raka semakin memperjelas rasa putus asanya mencari Tania. Pun aku baru tahu ia pemilik tunggal kafé ini, sengaja menyibukkan dirinya menjadi barista sebagai pengalihan gundahnya dalam pencarian sosok Tania.

KLIK INI:  Di Suatu Hari yang Hujan

“Ini pula yang menjadi alasanku tak menikmati kopi racikanku sendiri, sebelum kemaafan kudapatkan dari hati tulus Tania. Itu janjiku.”

“Lalu untuk apa buku ini kutuliskan?” Tanyaku memperjelas rasa penasaranku

“Aku harap ini jalannya, buku ini menguak kepergian Tania. Jika ia membacanya, setidaknya ia tahu penyesalanku. Akan kukembalikan impiannya di masa lalu, akan kutebus semua harinya yang hilang.” Ada nada serak Raka mengucapnya.

Malam semakin menua, suara-suara alam semakin menepi. Kulirik jam di gawaiku, jam 01.25 tepatnya, kisah Tania sudah tuntas tertutur dari mulut Raka. Saat yang tepat untuk pamit, batinku.

“Bukumu sudah kutulis jauh hari sebelum kau memintanya,” ucapku dengan senyumku.

Kuserahkan sebuah buku dengan sampul hitam, bergambar noda-noda bekas tumpahan kopi.

“Kali ini aku pamit padamu,” bisikku sambil berlalu, kuurai rambut panjangku tanpa menoleh sekalipun padanya.

Raka membuka buku itu. Di sisi meja bartender di kafé kebanggaannya. Tangannya bergetar, matanya nanar memandang foto yang terselip di antara lembaran-lembaran buku itu. Makhluk itu di bawah sinar purnama, di sisinya  terlihat jelas wajah perempuan berambut panjang itu, ia Tania.

“Baca bukumu, nikmati racikan kopimu. Usaikan pencarianmu pada Tania, sebab ia  sudah menemuimu.” Tulisan itu ia temukan  di balik foto

Buku itu masih di genggaman Raka, perlahan purnama bergeser ke Barat, dan aku berjalan ke masa laluku. Masa kecilku ketika ayah kerap membawaku ke Pincuni, saat ayah sibuk dengan ladangnya, di balik jatuhnya air dari dinding-dinding batu di baruttung Pincuni diam-diam aku bercengkrama bersama sahabatku, ia kupanggil Padundu.

 

Catatan:
  1.  Baruttung : Air terjun
  2. Ballak -ballak : balai-balai
  3. Jongkorok : sejenis pakaian dalam pria berbentuk celana pendek
  4. Rompok : semak belukar
  5. Padundu : binatang mitologi yang dipercayai penduduk setempat sebagai penunggu palung sungai

==========

Biodata Penulis

Murnih Aisyah, guru SMAN 17 Makassar. Mendapat amanah sebagai ketua Agupena Kota Makassar, Ketua Devisi  Dana dan Usaha FLP cabang Gowa, koordinator Humas FLP ranting Unismuh. Peserta Creative Writing Class bimbingan ibu Naning Pranoto dan Ibu Shinta Miranda yang menghasilkan antologi puisi 12 Pena Berbicara dan 16 Penyair Memeluk Bumi.

KLIK INI:  Benalu di Senja Hari