Lelaki yang Menjelma Api

oleh -299 kali dilihat
Lelaki yang Menjelma Api
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Ripangkana ia diremasi sedih. Tangisnya meruah dalam penantian. Rasa takut memalut dirinya—taku kamu tak akan pulang.

Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggumu. Seakan kamu adalah napas terakhir yang harus diembuskan sebelum mautnya tiba. Ia tak mungkin lepas tanpamu. Dadanya terasa dililit temali.

Jalanmu adalah jalan lurus itu, dan semua orang tahu itu jalan menuju ruang lain yang tak kasat mata.

Jika dihitung baru dua puluh satu orang yang berhasil kembali setelah menjejakinya. Padahal jalan itu tiap hari dilewati warga yang hendak ke kebun.

Namun, pada waktu tertentu jalan tersebut jadi penentu kelangsungan napas ketiga kampung yang bertetangga, Sassang, Pa’mae’, dan Singara.

Detak ketiga kampung bertetangga itu ada di Sinosino—tempat yang kamu tuju . Cukup sulit menemukan Sinosino, kampung yang tak berpenghuni. Sebab jalannya hanya terlihat pada waktu tertentu.

Jika ripangkana—jalan bercabang itu, jika dari Kampung Singara—timur ke barat lambusu ‘lurus’ saja sebab belok kiri menuju Kampung Sassang, dan ke kanan akan menuju kampung Pa’mae’.

Ripanggana  ia menunggu dan menangis dengan cemas. Sarung batik terlilit di pinggangnya. Ia duduk di pos ronda yang berbau kencing anjing.

Pos itu tak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya. Tak ada warga yang rela ronda, berjaga hingga subuh agar pencuri tak memasuki ketiga kampung tersebut.

Doa yang tak menyerah

Setiap tahun, tetua ketiga kampung akan berunding menentukan siapa yang akan memasuki Sinosino. Jalan menuju Sinosino yang tak berpenghuni itu akan berbentuk jalan raya jika kabut turun, sekali dalam setahun.

Pada hari-hari biasa, hanya berbentuk jalan setapak. Jika tak mengutus seorang pemuda memasuki kabut, kabut tak akan pernah enyah dan akan membutakan mata semua warga.

Pernah dulu, pada tahun yang tak dicatat sejarah, hanya diiringi dengan kata bede’ yang menandakan ada keraguan di dalam kisahnya yang tersohor. Warga membandel, tak mengutus pemuda memasuki jalan lurus membentang tanpa ujung tepi itu, kabut tak pergi selama sembilan bulan, mata semua warga buta.

Di ujung Sinosino terdapat mata air, seorang pemuda yang dipilih tetua kampung harus mendatanginya, meneteskan air mata pada mata air itu, juga darah dari ujung jari telunjuknya. Namun, tak semua pemuda yang berhasil sampai pada mata air tersebut bisa menangis.

Jika itu terjadi, ia tak akan pernah menemukan jalan pulang, matanya hanya bisa melihat satu warna; hitam. Tak ada putih, tak ada merah, tak ada warna dalam hidupnya, dan ingatannya tergerus.

“Jika kamu sampai di mata air itu, ingat ada aku di sini, ripangkana menunggumu dengan segala doa yang bisa dipanjatkan seorang kekasih untuk kekasihnya. Aku akan menunggumu, melebihi matahari yang menunggu datangnya pagi agar cahayanya bisa tiba ke bumi. Aku akan menunggumu, melebihi bayi yang menunggu air susu ibunya menetes, aku akan menunggumu, aku menunggumu, menunggumu.” Suaranya menghilang di dadamu.

Saat memelukmu, ia memasukkan rokok dan korek ke saku jaketmu. Ia melakukannya karena tak ingin kamu kedinginan di dalam borong ‘hutan’. Padahal membawa korek dan rokok adalah pantangan.

Menangislah demi aku!

Sejak itu, ia tahu harus menjelma jadi perempuan tangguh. “Aku akan bawakan sepasang du’du pedo’ ‘capung memiliki corak indah yang menghuni sungai atau tempat berair’ di mata air yang akan kamu tuju.

Di sana, konon ada ribuan jenis du’du pedo’ . Sejak kecil, ia dan kamu sering bermain menangkap du’du’ ‘capung’. Kenangan masa kecil itu mengantarnya mencintaimu

Aku akan tunggu di situ,” katanya sambil menunjuk pos ronda yang dipenuhi batang kopi untuk kayu bakar.

Kamu hanya mengusap rambutnya lalu melangkah memasuki jalan yang membentang di hadapanmu –yang ia tahu bisa saja merampasmu darinya.

Menangislah jika sampai di mata air itu, menangislah demi aku!” teriaknya.

Kabut turun menyelimuti ketiga kampung tersebut. Membuat warga saling menebak siapa di sampingnya. Cahaya berpendar dari arah Sinosino.

Ia telah dijemput tampa kora,” ungkap seseorang, dari suara orang itu. Ia tahu jika itu suara bapakmu. Suaranya berat, bergetar menahan sedih.

Namun, semua orang tahu pemuda yang terpilih memasuki jalan itu adalah pemuda pilihan. Tak sembarang yang terpilih, harus dilihat dari garis keturunan, kebaikan, dan tentu saja ia harus perjaka.

Ripangkana, ia menunggu dan menangis. Minggu pertama pergimu adalah pikulan paling berat baginya.

Air matanya berubah nanah, membusuk oleh luka. Dan di matanya hujan terus saja menderas. Tiap hari, ia akan menunggu ripangkana, duduk di pos ronda yang berbau kencing anjing

Ia duduk dan menangis ripangkana, tatapannya tak pernah berpaling dari jalan itu. Jalan yang kamu lewati tiga bulan lalu kembali seperti semula. Tak ada bentangan jalan raya, yang ada hanya jalan setapak serta belukar dan bau rumput yang disukainya. Banyak warga meyakini kamu belum temukan mata air yang menghidupi ke tiga kampung bertetangga itu. Rasa airnya belum berubah, masih pahit.

Perjalanan tumbal

Apa kamu akan menjadi orang kedua puluh dua yang kembali dari petualang tumbal tersebut atau menjadi santapan kampung Sinosino yang mengerikan. Tapi, kamu bisa bertarung dengan penunggunya, bukan? Kamu harus kembali, bagaimana cara ia melanjutkan hidup tanpamu. Sekembalimu nanti, kamu akan menikahinya.

Bagi pemuda yang kembali dari tualang tumbal, bebas memilih perempuan mana pun yang ingin dinikahinya. Dan pilihanmu jatuh kepadanya. Perempuan yang menunggumu dipos ronde dengan doa dan harapan yang terus saja melangit tanpa jeda.

Ripangkana ia menangis dan menunggumu. Di kampung Singara, kampungnya, tak ada kata menyerah dari menunggu. Tak ada kata tiada bagi yang pergi, kata kembali adalah kata wajib diucapkan sebelum kata amin menutup tiap doa. Tapi, ia berani mengganti kata “kembali” itu dengan namamu. Baginya namamu adalah perihal yang harus diucapkan dalam doanya sebelum kata amin menutupnya.

Seekor anjing mengusiknya di pos ronda jelang senja. Anjing itulah yang menggantikan warga berjaga jika malam. Pos ronda itu menjadi tempat tidur yang nyaman bagi anjing-anjing di kampungnya, bukan hanya seekor, tapi berekor-ekor.

Kabut turun lebih pekat dari hari pergimu tiga puluh enam hari lampau. Cahaya tampak dari jalan yang dulu kamu lalui. Tampakora, teriak orang-orang mengagetkannya. Hawa panas tetiba menyerbu, mengalirkan semua keringat dalam tubuh. Semakin dekat cahaya tersebut semakin panas.

Kabut kali ini rasanya berbeda, tak lembut, tapi memerihkan mata, melahirkan batuk dan kaddang ‘sesak’ . Warga berteriak, asap, asap…. romang ‘hutan terbakar . Dari jauh ia melihatmu diikuti api. Ia hendak menghambur ke pelukmu, tap takut terbakar. Du’du pedo’ yang kamu janjikan pasti mati.

Ia hanya ingin melanjutkan tangisannya. Bukan lagi karena takut kamu tak pulang. Tapi, takut jika kamu telah menjelma jadi api, menjadi tampakora.

Cat: Pernah dimuat d Fajar dengan judul Pangkana. Tampakora, Makhluk mitos yang konon biasa terlihat membawa obor