Kisah Perjuangan Perempuan Penyelamat Sawah Terakhir di Paddinging

oleh -421 kali dilihat
Kisah Perjuangan Perempuan Penyelamat Sawah Terakhir di Takalar
Daeng So'na berbaju biru dan para perempuan di Komunitas Sepakat desa Paddinging Kabupaten Takalar - Foto/Ist
Anis Kurniawan

KLikhijau.com – Hari masih pagi ketika kami tiba di rumah Irmawati Daeng So’na (35), lebih akrab memanggilnya Daeng So’na, di suatu waktu pada akhir Oktober 2021.

Tepatnya di Desa Paddinging Kabupaten Takalar, sekira 45 Kilometer dari Kota Makassar. Senyum sumbringah dari aktivis perempuan berambut pendek yang tomboy itu menyambut kami, begitu hangat dan bersahabat.

Kami diajak ke rumahnya, rumah panggung yang pekarangannya dipenuhi tetumbuhan segala rupa. Lalu, di atas lego-lego kami disilakan duduk. Angin berembus sepoi melewati dedaun yang merambat mengitari rumah, suasana desa benar-benar terasa. Tenang dan damai.

Beberapa saat kemudian, kopi hitam tersajikan. Kami seruput sebelum dingin, namun belum juga tuntas ada tawaran menggiurkan dari Daeng So’na, kapurung. Lidah kami menari seketika dengan racca-racca taipa khas Paddinging. Kata Daeng So’na, makanan tradisional berbahan sagu ini dibuat oleh ibu-ibu dari komunitasnya ‘SePAKat’ yang kebetulan juga menggelar pertemuan rutin di hari itu.

Diskusi ringan dimulai setelahnya. Daeng So’na bercerita panjang lebar mengenai progresnya di desa mengawal pemberdayaan perempuan untuk isu pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Kami mendengarnya dengan seksama. Perempuan yang dikenal sangat kritis melakukan perlawanan terhadap tambang yang masuk di desanya itu berbicara begitu mengalir dan berapi-api.

Sembari mendengar kisah heroik perempuan di Desa Paddinging, satu persatu ibu-ibu berdatangan. Beberapa diantaranya ikut serta dalam diskusi kami yang semakin menarik, sebagian lagi berkumpul di kebun belakang rumah— sekretariat SePAKat yang juga dijadikan lahan bertani alami.

KLIK INI:  Jusman Arsyad, Interpreneur yang Juga Respek pada Lingkungan dan Bencana

SePAKaT adalah akronim dari Sekolah Perempuan Petani Alami Kabupaten Takalar. Organisasi yang diinisiasi oleh Daeng So’na ini berdiri sejak 1 Januari 2018. Visinya adalah sebagai wadah belajar bersama bagi perempuan pedesaan untuk mengembalikan peran-peran perempuan  dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, berkeadilan dan berkearifan lokal melalui pertanian alami.

SePAKat tak sekadar organisasi biasa,  tapi juga sebagai rumah harapan perempuan desa. Para anggotanya memang mayoritas perempuan tani dan perempuan pesisir di Kabupaten Takalar dari sejumlah desa antara lain dari Desa Paddinging, Desa Tonasa, Desa Ujung Baji, Desa Laikang, Desa Banyuanyara dan Desa Topejawa.

Di SePAKat, para perempuan ini intens berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai praktik-praktik pertanian alami. Mereka mencoba menanam aneka pangan organik yang lebih sehat juga tiada henti menyerukan budaya menanam di pekarangan. Tak sebatas itu, para perempuan di komunitas ini tampak sangat militan—bagi mereka eksploitasi sumber daya alam harus ‘dilawan’.

Militansi dan semangat perlawanan itu bukanlah sesuatu yang tumbuh instan. Melainkan mengakar dari dalam jiwa mereka yang secara konsisten menyuarakan perlawanan pada para penambang galian C yang merajalela di desanya sejak tahun 2010, menghancurkan sawah-sawah mereka. Ini sudah jadi musuh bersama para perempuan di sana dan karena itulah mereka berserikat di SePAKat demi menjaga daya dan semangat juang dan merangkul semangat juang melawan tambang.

sawah
Sawah bekas tambang galian C yang kini menjelma jadi danau jadi-jadian dan tak lagi fungsional – Foto/Ist
KLIK INI:  Berkisah tentang Pemulihan Keanekaragaman Hayati, Al Juara I Lomba Robologee 2021

Bukan tanpa alasan, meski aktivitas tambang itu kini mulai hilang, kewaspadaan senantiasa mereka bangun. Mereka tidak rela, desanya rusak dan dieksploitasi lagi hingga hilang satu-satu sawah-sawah yang dulu dipanen dan dinikmati petani lokal. Bagi Daeng So’na, tambang hanya dinikmati segelintir orang luar, yang meninggalkan bencana ekologi. Seperti pameo, habis manis sepah dibuang.

Begitulah kondisi area pertanian di Desa Paddinging. Pada sore hari sesaat setelah berbincang panjang lebar, kami diajak berkeliling area persawahan. Tampaklah area persawahan seperti wajah yang bopeng-bopeng. Bekas galian tambang menyisakan genangan air yang dalam dan menjelma sebagai empang.

“Kubangan itu sudah tiada  gunanya kak,” kata Daeng So’na. Miris melihatnya! Bayangkan saja, bila aktivitas tambang ini dibiarkan tanpa perlawanan, desa Paddinging tentu akan kehilangan otentitasnya sebagai lumbung padi. Petani akan kehilangan mata pencahariannya dan yang lebih mengerikan adalah lingkungan dan ekosistem akan semakin rusak parah.

Perjuangan perempuan penyelamat sawah terakhir

Perjuangan memang tidak pernah ringan, karenanya membutuhkan konsistensi, kesabaran dan keberanian. Daeng So’na menyadari bahwa yang mereka lawan bukan hanya penambang, tetapi juga sekelompok orang di desanya. Tidak mudah memang, sebab tidak sedikit warga yang menyambut baik aktivitas tambang tanpa pernah berpikir dampaknya.

Daeng So’na mengenang perlawanan keras yang dilakukan komunitasnya melawan tambang Ia berupaya menggalang dukungan warga dengan membuat pernyataan sikap yang ditempel di kampung-kampung dan di masjid, mengumpulkan tanda tangan warga untuk menolak tambang serta membuat Nota Kesepahaman dengan warga untuk menolak aktivitas tambang. Nota kesepahaman tersebut lalu dicetak baliho besar dan ditempelkan di depan kantor desa. Namun, hanya bertahan sehari, baliho itu pun lenyap dibongkar oleh oknum yang tentu tak sepakat dengan dengan kesepahaman itu.

KLIK INI:  Kabar Baik, Sampah Plastik Bisa Diubah Jadi BBM

“Pernah pula kami aksi di perempatan jalan sekadar pasang tulisan “Warga Desa Paddinging Menolak Tambang”. Namun spanduk tersebut dicabut oleh oknum yang kecewa tambangnya tidak bisa dijalankan dan eskavatornya terpaksa dia bawa keluar,” cerita Daeng So’na.

“Seiring waktu dan semangat juang terus kami kobarkan, ancaman dan intimidasi kami alami. Ada konflik dan ada korban materi yang harus kami tanggung,” tambahnya.

Namun, kerja keras dan konsistensi membuahkan hasil dengan menyingkirnya para penambang secara perlahan. “Paling tidak mereka paham bahwa kami warga desa menolak sawah-sawah kami dirusak,” tegas Daeng So’na.

“Keberhasilan perlawanan ini tidak lepas dari kebersamaan warga dan komunitas serta lembaga advokasi pendamping yang ikut mendukung seperti Walhi, komnas Perempuan dan Balai Perempuan Paddinging.

Berkat kegigihan dan solidaritas, pada tahun 2019, akhirnya lahirlah perjanjian bersama penolakan tambang yang ditandatangani secara bersama oleh warga dan pemerintah Desa. Ini menjadi konsensus dan aspirasi yang sangat kuat, setidaknya menunjukkan betapa perlawanan mereka tidaklah disulut dari orang per orang, tetapi berakar dari aspirasi kolektif.

“Sayangnya memang dokumen itu tidak sempat kami simpan arsipnya. Sudah tiga kali saya tanyakan ke pemerintah desa Paddinging namun belum mendapatakan hasil, kami tidak mengerti dimana dokumen perjanjian ini disimpan. Kabarnya dokumen ini diduga disimpan oleh Arifin selaku sekdes Paddinging,” jelas Daeng So’na.

KLIK INI:  Yang Tiba dalam Hujan

Apa pun itu, perjuangan mereka layak diapresiasi. Daeng So’na dan komunitasnya telah bersepakat untuk mempertahankan sawah yang tersisa dan akan menjadikan kawasan sawah tersisa tersebut sebagai pusat pendidikan pertanian alami, sistem pertanian yang berkeadilan, berkelanjutan dan berkearifan lokal.

Di sawah yang tersisa itu pula, komunitas SePAKat berencana akan membuat area wisata edukasi alam. “Tujuannya agar petani-petani yang belum melakukan pertanian alami mampu merasakan betapa nikmatnya bertani alami,” tuturnya.

Benar saja, dalam dua tahun terakhir, Daeng So’na telah menanam padi secara organik. Ini adalah hasil pembelajaran yang ia dapatkan di tahun 2015 dan lansung dipraktikkan. Demi memberi bukti pada petani lainnya bahwa pertanian yang ramah lingkungan bukan mustahil dilakukan. Alam raya menyediakan segala rupa untuk menghidupkan padi-padi dan sayuran bebas zat kimia—sumber pangan sehat yang didambakan. Daeng So’na dan komunitasnya di SePAKat telah membuktikannya, jadi tak sekadar wacana dan kata-kata.

sawah alami
sawah milik Daeng So’na yang digarapnya sendiri dengan sistem pertanian alami – Foto/Ist
Semangat bertani alami

Daeng So’na dan komunitas SePAKat terus bergerak menanam dan menanam. Mereka juga belajar dan terus belajar. Mereka berani mencoba ide-ide dan pengalaman pertanian alami yang dilihatnya dari berbagai tempat untuk diterapkan di desanya. Visinya jelas, tanah adalah harapan yang harus dijaga demi masa depan.

Kini, SePAKat  sedang giat-giatnya menuai hasil panen cabai organik yang ditanam komunitasnya. Hasil olahannya sudah ada dalam bentuk produk kemasan yakni Lombok tumis alami yang kini dipasarkan oleh Sofresh’na Indonesia.

KLIK INI:  Penyidik Gakkum KLHK Sulawesi Limpahkan Perkara Perusakan SM Komara ke Kejaksaan

Lombok tumis alami dipetik dari kebun bersama dan diolah oleh tim produksi yang telah mengikuti pendidikan khusus mengenai pengolahan pangan yang higenis dan aman.

Para perempuan yang mayoritas ibu rumah tangga di SePAKat juga terus bergerak melakukan pengembangan diri dan keluarga. Mereka sukses mengembangkan padi alami dengan hasil panen yang berlimpah dan kualitas lebih baik dan tentu lebih sehat. SePAKat juga telah memiliki semacam kebun kolektif yang terletak di pesisir Ujung Baji yang dikembangkan oleh sofresh’na.

Perjuangan belum berakhir, Daeng So’na dan komunitasnya tiada henti melakukan advokasi mempertahankan sawah. Mereka juga berjuang pada level kebijakan dengan mendorong suatu Peraturan Daerah (Perda) tentang Pertanian Alami yakni Pengelolaan SDA secara berkelanjutan, berkeadilan dan berkerarifan lokal.

“Saya punya impian dan harapan, Desa Paddinging menjadi Pusat Pendidikan Pertanian Alami, mempertahankan sawah yang tersisa dengan menjadikan desa wisata di kabupaten Takalar,” tutur Daeng So’na optimis.

Seusai diskusi panjang lebar sembari berkeliling mengamati sawah terakhir yang terselamatkan di Paddinging, kami kembali ke sekretariat SePAKat persis di belakang rumah Daeng So’na. Di sana kami telah disambut puluhan ibu-ibu anggota komunitas.

Mereka akan menggelar rapat rutin. Namun seperti biasa, ada acara makan bersama. Panganannya kali ini adalah surabi dari tepung beras yang ditanak dengan periuk dari tanah liat. Surabi dicelupkan pada santan kelapa kental bercampur gula, rasanya sedap luar biasa. Padahal sebelumnya, kami telah disuguhkan pula dengan lawi-lawi dengan ikan masak khas Takalar, tak seberapa lama usai menyantap kapurung.

KLIK INI:  Opab Gempa, Mitra Hijau Asia dan Puluhan Komunitas Tanam Mangrove di Pesisir Takalar