Lelaki Penunggu Ikan

oleh -244 kali dilihat
Lelaki Penunggu Ikan
Anis Kurniawan

Di atas karang nan cadas ada sebuah sapu tangan. Ketika pagi yang gigil, Runduma duduk di dekat karang itu, membisu. Air laut pasang surut, namun penampakan samudera membiru di kejauhan tiada pernah lepas dari pandangannya. Pada samudera yang seperti tak bertepi itulah, Runduma seringkali melihat ikan-ikan besar beterbangan ke langit-langit lalu tiada kembali. Ada yang baris berbaris lalu serentak melesat, entah ke antabaranta. Sebelum senja tenggelam, Runduma melihat ikan-ikan itu saling memakan. Ikan besar yang telah menyantap ikan-ikan yang lebih kecil, lalu disambar ikan raksasa. Lalu, ikan-ikan raksasa semirip kapal penumpang saling sambar satu sama lain. Entah apa kejadian setelahnya, apakah pertarungan antar ikan-ikan berlangsung hingga pertang?

Runduma berjalan gontai meninggalkan pantai yang lengang saat petang datang. Maimunah, telah menyiapkan sebuah makan malam. Nasi putih dan lauk apa adanya. Secangkir kopi hitam tidak ketinggalan. Runduma menyantap makan malam bersama isterinya. Seperti biasa, tak ada obrolan sepatah kata pun. Setelah merapikan piring-piring berserakan, terdengarlah suara Maimunah sedang mengaji. Sementara Runduma menenteng secangkir kopi ke teras. Merenung di sana, suara ombak riuh memberi irama kicauan burung-burung yang beterbangan di pohon-pohon kelapa.

Cerita tentang ikan-ikan yang gemar berenang-renang di tepian saat pasang, kini terbayang di kepala Runduma. Matanya mulai terbenam dan seperti malam-malam sebelumnya, ia terjebak dalam kenangan. Ikan-ikan menghampirinya. Anak-anak bermain rumahrumahan dari pasir putih yang memburai. Membuat lubang-lubang seperti terowongan dan danau-danau, dimana ikan-ikan kecil akan berlalulalang.

Malam pekat larut dalam sepi. Tubuh Runduma tergeletak di kursi. Kopi hitam masih tersisa setengah. Lantunan ayat-ayat suci dari suara merdu Maimunah sudah tiada. Dalam kamarnya yang sempit, Maimunah pun terbaring. Mukenah berwarna kuning masih melekat di tubuhnya yang kerdil. Malam menidurkan Runduma dan Maimunah dengan tubuh yang tergeletak serampangan.

Keesokan harinya, saat kokok ayam menggelitik telinga, Runduma bergegas ke pinggir laut. Sapu tangan hitam miliknya masih menancap di ujung karang yang tajam. Kain itu akan menyekah keringat dan air matanya. Lelaki tua itu lalu duduk di sana hingga petang ia jumpai sama persis dengan hari-hari sebelumnya. Ikan-ikan masih terus bertarung saling memakan. Ada yang terbang ke langitlangit. Sebagian berjejer lalu melesat serentak menghilang dari pandangan.

***

KLIK INI:  Perempuan Beraroma Kopi

Sudah sebulan, Runduma begitu. Duduk seharian di pinggir laut dan tertidur di mana pun tubuhnya terakhir kali bersandar dalam renung sehabis makan malam. Sementara Maimunah hanya bisa mengurung diri di rumahnya. Sebuah foto masa kecil anaknya di peluknya erat-erat. Runduma memang masih punya harapan, dari samudera yang biru itu, sayup-sayup bisa mendengar bising perahu kedua anaknya. Lalu, ia akan bergegas menjemput, bila perlu membantu anak-anaknya mengangkat box berisi ikan hasil tangkapan.

Sanuri dan Kundura kedua anaknya itu sudah sebulan menghilang. Tidak saja jasad keduanya yang belum ditemukan, bangkai kapalnya pun entah kemana. Menurut informasi dari petugas pencarian orang, kapal nelayan itu kemungkinan tergiring badai tiba-tiba karena melaut terlampau jauh. Bahaya! Petugas pencari korban memperingatkan bahwa para nelayan dilarang melaut ke laut lepas. Meski ini kemarau dan gelombang laut tenang? Meski air laut pasang hingga berbulan-bulan. Tapi, kemanakah jasad Sanuri dan Kundura? Bagaimana mungkin, sebuah badai di musim kemarau bergelayut ganas?

Warga kampung nelayan di desa Paramunta memang dilanda khawatir yang sangat. Kapal Kundura dan Sanuri, bukanlah korban yang pertama. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, sudah puluhan kapal-kapal nelayan menghilang tanpa bekas. Belum pernah ada kabar pasti mengenai semua kejadian itu. Dan tak satu pun dari kapal nelayan yang dikabarkan menghilang, lalu kembali dengan selamat.

Warga desa menduga kalau bencana ini disebabkan oleh mengamuknya penghuni dasar laut. Konon, di hamparan samudera penuh misteri itu, memang hidup beragam mahluk halus yang bertugas menjaga keberlangsungan hidup biota laut terutama ikan.

Dugaan warga itu diperkuat oleh para orang tua kampung. Menurut mereka, kapal-kapal yang hilang itu terjebak di salah satu titik keramat di tengah samudera. Di sana ada istana raja dan ratu ikan. Istana itu dijaga oleh jin-jin jahat yang tidak segan-segan melantahkan kapal dan manusia bila kebetulan melintasi wilayah keramat itu.

KLIK INI:  Rumah Peradaban

Konon ikan-ikan memang beranak pinak di sana. Ratu ikan menyiapkan makanan segala rupa tiada habis-habisnya bagi para koloninya. Karena itulah, raja ikan memberlakukan peraturan yang ketat yakni larangan keras bagi semua ikan di kawasan istana melewati tapal batas yang telah ditentukan. Kalau ada yang berani keluar, kutukan dari raja dan ratu ikan tidak main-main. Ikan pemberontak itu akan dilenyapkan ingatannya, sehingga ia akan terlantar di daratan. Dan di sanalah, ikan-ikan itu akan merasakan penderitaannya; di sayat-sayat dan diarak oleh manusia keliling kampung. Atau ikan-ikan terkutuk itu akan segera dilumat ikan-ikan di luar istana yang sekian lama menyimpan dendam dan kecemburuan.

Apakah Kapal Kundura dan Sanuri serta kapal-kapal nelayan lainnya terdampar di tempat yang demikian menyeramkan itu? Kalau memang benar, maka harapan bahwa mereka masih hidup sama saja dengan mengharapkan bisa menemukan jarum di pusaran ombak menggulung. Dugaan ini lebih dipercaya oleh warga desa Paramunta, meski berkali-kali pihak pemerintah mengumumkan kemungkinan penyebab hilangnya kapal nelayan dalam bahasa ilmiah yang memusingkan warga. Apalagi, ketika pihak pemerintah menyatakan bahwa kapal-kapal nelayan itu boleh jadi hanya terdampar di pulau-pulau kecil. Dan karena pulau-pulau itu asing bagi nelayan, mereka pun tak tahu jalan pulang sehingga mereka kemungkinan tinggal di sana.

Tentu agak sulit dipercaya warga desa Paramunta, karena menurut mereka para nelayan di kampung itu sangat ulung. Mereka sangat paham arah mata angin. Tahu tentang kemana ia harus mengarahkan kapal saat berada di pulau terasing sekalipun. Lagi pula,sebagian besar pelaut kampung sudah pernah mampir di pulau-pulau terasing bahkan yang seluas rumah sangat sederhana sekalipun. Dan, kalau saja mereka mampir di pulau terasing, tidak pernah berbulan-bulan. Paling juga sekedar melewatkan badai petir atau ombak menggunung saat cuaca buruk.

Segenap keluarga korban nelayan yang hilang memang sudah sejak lama pasrah. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, keluarga yang ditinggalkan telah menunaikan ritual doa untuk arwah keluarga mereka. Pakaian dan segala harta benda para korban dikumpulkan lalu disedekahkan ke sanak keluarga terdekat atau pada orang-orang miskin. Mereka berharap benda-benda peninggalan itu bernilai amal arwah keluarganya di alam sana bisa diberi imbalan lebih dari yang kuasa.

Satu-satunya keluarga yang masih menyimpan harapan besar adalah Runduma. Lelaki itu, bersama isterinya sudah berjanji akan melakukan saum sampai anak-anaknya datang. Keduanya yakin, kedua anaknya masih hidup. Konon, Sanuri dan Kundura sudah berjanji pada Runduma, akan membawa hasil tangkapan sebanyak mungkin. Buat bekal pernikahan mereka di bulan november sebelum musim hujan mendatangkan gulungan ombak nan ganas.

***

KLIK INI:  Jendela Hujan

Maimunah hanya bisa memasak nasi yang hampir separuhnya hangus. Tubuhnya terkulai lemas. Jemarinya yang menggigil seperti tidak kuat lagi mengulet garam dan cabe rawit. Perempuan itu sedang menyiapkan makan malam seperti biasa. Kali ini hanya ada nasi, ikan kering goreng dan sambel apa adanya.

Malam semakin menjauh, suaminya belum datang juga. Ia menanti. Tak mungkinlah ada makan malam tanpa Runduma, lelaki yang berpuluh-puluh tahun memberinya cinta dan kehidupan.

Maimunah mengambil kerudungnya, kali ini ia sembahyang terlebih dahulu. Ia berdoa dengan mata sembab membengkak. Terbayang di benaknya, bagaimana ikan-ikan paus yang terdampar beberapa bulan lalu itu disembelih oleh warga tanpa ampun. Ia berharap semoga kedua anaknya tidak dijadikan korban balas dendam oleh paus-paus raksasa. Semoga! Maimunah sangat berharap, namun harapannya itu terasa pupus lantaran ia kembali teringat kejadian itu: Runduma menyembeli hidup-hidup paus yang terdampar di sebuah sore berwarnah merah darah.Dan teringat jelas, bagaimana Sanuri menancapkan belati persis di perut paus itu. Teringat itu, Maimunah terus menangis hingga tangannya yang menengadah ke langit tiba-tiba kaku dan ia pun tumbang dalam posisi kepalanya bersujud ke sejadahnya yang kusam.

Sementara Runduma masih duduk di pinggir laut. Seperti senja sebelumnya, Kundara melihat bagaimana ikan-ikan raksasa saling bergulat. Dan saat senja hampir tenggelam, ia melihat sebuah kapal seolah bergerak ke arahnya. Bathinnya riang gembira. Segera ia menyekah air matanya yang sepanjang waktu terus mengucur. Sapu tangan hitam milik Kundura kini basah, pekat dan anyir. Runduma mencoba tersenyum, saat ia terbayang tangan kedua anaknya melambai-lambai padanya. Namun, betapa kagetnya ia, saat bayangan ikan besar berwarna hitam menggulung kapal itu, merengkuhnya ke samudera nan jauh.

Malam tanpa bintang mungkin musim hujan sudah semakin dekat, pandangannya tiada berdaya. Air matanya tumpah lagi. Runduma berjalan lambat hendak pulang ke rumahnya. Kali ini ia membawa sapu tangan, menahan air matanya membanjiri tubuhnya. Runduma hampir lupa bila malam sudah larut. Setiba di pintu rumahnya, ia lekas menghampiri meja makan. Ditemukannya jamuan makan malam tanpa cela. Dimana Maimunah? Runduma menemukan isterinya bersujud digenangi air mata. Maimunah beku.

Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya, tiada lagi sapu tangan di atas karang nan cadas. Tiada lagi lelaki yang sepanjang hari akan duduk bersimpuh hingga senja tenggelam. Runduma kini, menunggu hari siang dan malam di samping makam Maimunah.

Lompobattang 2014