Menyelami Sensasi Ketakjuban

oleh -74 kali dilihat
Menyelami Sensasi Ketakjuban
Ilustrasi - Foto: Unsplash
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Cuaca cerah dalam suatu penerbangan siang dari Makassar ke Jakarta membuat laju pesawat jadi tenang seolah tak bergerak. Dalam suasana baik dan menenangkan itu, rasa kantuk dan letih usai berjalan mengitari lajur panjang Bandara Sultan Hasanuddin juga lenyap seketika. Godaan membaca buku menggerogoti setelahnya. Yah, pada suasana baik, buku adalah objek pencarian terbaik melebihi candu kopi susu siang hari.

Saya berterima kasih pada diri atas kebiasaan baik menaruh buku di dalam tas setiap bepergian. Kemanapun itu. Diantara buku kesukaan, ada satu buku yang beberapa pekan ini serasa wajib bertengger di dalam tas ransel saya: “The Anthropocene Reviewed” karya John Green. Pujian selangit saya berikan untuk John Green yang membuat saya sakau mondar-mandir setiap waktu membaca halaman demi halaman di bukunya. Tidak jarang ada buku yang membuat kita merasa merdeka menjelajahi halamannya secara arbitrer. Acapkali buku John Green saya baca dari belakang ke tengah, atau sebaliknya, berkali waktu saya buka dengan random. Selain buku “Tempat Terbaik di Dunia” yang ditulis antropolog Roanne van Voorst atau cerpen-cerpen Akutagawa Ryunosuke, buku John Green ini memikat rasa takjub saya.

Sebelum akhirnya menulis catatan ini, saya baru saja tiba di halaman 40-an buku “The Anthropocene Reviewed” . Tepat di kepingan artikel berjudul “Ketakjuban Kita”. John Green sejatinya menulis review atas Novel fenomenal F Scott Fitzgerald the Great Gatsby. John Green mengulas ringkas isi Novel namun sebagian besarnya menulis perihal kisah-kisah bagaimana novel Gatsby terbit dan bermetamorfosa dari waktu ke waktu—lagi, suatu cara tak lazim seorang me-revieu buku.

Ketakjuban saya berikutnya justru pada frase “takjub” di sesi tulisan itu. John berkata, kita (manusia) tidak pernah jauh dari ketakjuban. Karena memang, keajaiban tidak pernah berhenti (kata John di bagian lainnya). Hanya saja, perhatian kita semakin berkurang dalam memakna rasa ketakjuban. John Green memberi penilaian tiga bintang untuk rasa takjub manusia yang tanpa disadari terus melemah. Padahal kemampuan untuk takjub sejatinya satu potensi ber-manusia yang sangat pantas diakui.

KLIK INI:  Manggala Agni dari Sulawesi Menuju Bali-Tanggerang, Merah Putih tetap Berkibar

Kalimat itu menutup tulisan John Green yang sekaligus membuat saya menutup sesi baca. Merenungkan pesan tersirat dari frase “ketakjuban”. Dalam sekejap, isi kepala saya dipenuhi sederet peristiwa ketakjuban atas kisah-kisah keseharian.

Saya mencoba menariknya ke belakang. Disana ada banyak hal yang disebut “kenangan”. Beberapa terselamatkan karena saya mengkategorisasinya sebagai “ketakjuban”, sebagian lagi (bahkan lebih banyak) pupus menguap dari ingatan.

Apakah manusia punya keterbatasan ingatan menampung segenap ketakjuban yang memenuhi kisah hidupnya? Rasanya bukan perkara daya tampung ruang ingatan, tapi kemampuan kita mengaktivasi rasa takjub lebih intens dan lebih peka.

Sebelum perjalanan ke Jakarta, sehari sebelumnya saya menyelesaikan tugas trip ke daerah. Suatu tugas dinas mengumpukan data mangrove di dua Kabupaten Pesisir di Sulawesi Selatan. Lalu, dalam empat hari ke depan (atau sehari setelah tiba di rumah dari Jakarta), trip ke daerah pesisir berikutnya akan dilanjutkan.

Jika dirunut, ada semacam keteraturan waktu dan mozaik rencana yang tersusun apik. Di sela-sela itu ada sekumpulan perjumpaan dengan beberapa orang juga dengan ragam topik maupun kepentingan. Banyak keajaiban melingkupi jejak perjalanan itu bahkan seluruhnya adalah keajaiban yang datang bertubi-tubi. Jika tak disadari saksama, kita akan berkutat sebatas apa yang didapat, berapa banyak keberhasilan atau berapa materi yang dikumpulkan dari proses kita bergerak dan bekerja. Memikirkan tepat di bagian itu, betapa melelahkan bukan? Tetapi, melihat ke dimensi lain, semisal mengamati bagaimana waktu dan keberuntungan berkelimpahan berkelindan setiap waktu, rasanya bikin takjub dan lebih esensial dimaknai.

Dua lelaki yang duduk di samping saya menikmati perjalanan udara dengan super-enjoy. Keduanya berbincang santai sembari mengunya cemilan. Keduanya juga asik membincang pemandangan angkasa yang dilihatnya dari jendela pesawat. Lelaki yang duduk persis di samping saya sempat menyodorkan cemilan, suatu keramahan ala Indonesia yang sejatinya juga menakjubkan.

KLIK INI:  Kota, Suhu Panas dan Ketimpangan Sosial

Ya, berjuta hal menakjubkan dalam hidup. Sebagaimana kita berjumpa banyak orang yang juga menakjubkan dalam interaksi di keseharian. Bahkan seorang yang menyebalkan, rasanya juga punya sisi menawan dan rasanya cukup untuk kita sedikit takjub jika ditelisik kembali. Sebegitu banyak hal yang menakjubkan, sebegitu seringpula kita melupakan. Sebanyak yang kita lupakan, seintens itupula kemampuan kita mengaktivasi rasa takjub seiring waktu berkurang.

Hilangnya rasa takjub pada hal-hal yang sifatnya satisfaction membuat kita menjadi manusia yang melulu hidup karena ambisi ala kapitalis. Suatu cara pandang yang dalam istilah John Green “Anthropocene” (antroposentis). Hidup kita kehilangan daya memakna. Terciptalah suatu jurang yang menganga antara kita sebagai manusia, kosmos, benda-benda di sekitar kita dan terutama pada kisah-kisah yang membersamai kita di jagad kehidupan. Tidak sedikit di antara kita, mungkin hanya sibuk menyusun impian yang melulu tentang uang dan kerhasilan material lainnya—suatu impian hambar menjadi manusia.

Tepat ketika tulisan ini selesai, saya mengalihkan kebersadaran untuk memberi perhatian tertinggi pada upaya mengaktivasi ketakjuban. Rasanya, ketakjuban yang lebih tajam adalah puncak-puncak rasa syukur yang terus menerus perlu dirayakan. Menghadirkan ketakjuban pada kehidupan sama dengan memberi ruang pada hal-hal ajaib bernama kebaikan.

Pesawat sebentar lagi mendarat di Bandara Soekarno Hatta Tangerang Banten, ketakjuban sederhana yang juga tak terlupa hari ini adalah menuntaskan artikel ini dalam sekali duduk. Ini perjalanan Makassar-Jakarta dengan durasi tersingkat yang pernah saya rasakan. Senyum lebar menyertai, syukur tiada batas. Rasanya, dengan mengaktivasi ketakjuban, kosakata “bahagia” senantiasa membersamai.

KLIK INI:  Proyek Strategis Nasional Ancam Wilayah Pesisir