Surat Hujan

oleh -76 kali dilihat
Apakah Air Hujan Aman Dikonsumsi Meski Sudah Dimasak
Tetesan air hujan - Foto/Pixabay
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

 Tak ada lebih romantis dari hujan. Tiada lebih menggetarkan dari hujan. Hujan telah menjalar jadi alir rindu. Penuh kejutan, penuh misteri.

Imajiku lebih liar kala hujan. Tak kutahu sebabnya. Aku selalu  menikmatinya dengan cara yang unik, menulis. Menulis apa saja.

Tulisan itu aku kirim ke mana saja. Tak ada alamat yang dituju. Tak ada nama yang tertulis pada tulisan itu.

Biar saja hujan membawanya ke alamat mana yang disukai. Dan kepada siapa. Setelah selesai menulis aku akan memanjat di pohon ketapang di samping rumah. Ke atap. Menyimpan kertas yang kutulisi. Biar hujan membacanya.

KLIK INI:  Dari Mana ke Mana?

Pohon ketapang itu ditanam ayah bersama ari-ariku. Aku dan pohon itu, kata Ayah, bersaudara. Ari-ariku menyatu ke akarnya, ke semua bagian pohon Ketapang itu.

Karenanya, aku diwajibkan menjaganya. Tak boleh menebangnya apalagi menimbuninya sampah plastik. Jika aku lakukan, arwah ayahku pasti akan mengamuk lalu datang mencekikku ketika tidur.

Setelah selesai menyimpan  tulisanku di atap. Aku akan ke beranda rumah. Melihat hujan menetes dari atap. Melihat tulisanku terbaca hujan. Lalu menyatu di drainase depan rumah. Entah mengalir ke mana. Aku suka misterinya.

Riuh menggetarkan

Awal malam atap rumah riuh. Suaranya menggetarkan. Mungkin paku-pakunya tercabut.  Curahan hujan malam ini menggila. Reranting pohon ketapang itu berderit. Ada takut menyergap.

Aku menggigil. Gemetaran.  Seperti biasa, aku menikmati hujan dengan menulis, kadang berlembar-lembar, kadang pendek saja seperti haiku. Setelah menulis. Lega menyapa..

Menulis saat hujan adalah caraku mengusir sepi. Mengusir rindu yang entah pada siapa. Ada kegaiban tersembunyi pada rindu itu. Ia tak membisik memberitahuku.

Masih seperti biasa, malam ini setelah selesai menulis aku ke atap, menyimpan tulisanku. Tak kupedulikan hujan nyaris buatku pingsan.

“Ramli, wajah hujan selalu sama di mana pun itu,” sapa Ibu mengagetkanku. Aku menoleh. Kudapati ia tersenyum. Senyum ibu mengusir gigilku. “Temukan cintamu dalam hujan, Nak!” lanjutnya.

KLIK INI:  5 Puisi Goenawan Monorharto tentang Virus Corona yang Menggugah

Aku terus memandangi hujan, hingga tak menyadari jika Ibu telah beranjak ke dalam rumah. Tak sekalipun Ibu melarangku melakukan hal yang kurang wajar. Misalnya menyimpan tulisan di atap.

Ibu adalah penyuka hujan. Semenjak Ayah menceraikannya lalu maut meminang ayah—meninggalkan ibu dan aku selamanya. Satu-satunya hiburannya  adalah hujan. Dan aku menjadi ahli waris Ibu. Menyukai hujan.

“Temukan cintamu dalam hujan, Nak!” ujaran ibu terlintas berkali-kali di pikiranku. Aku terus memandangi hujan yang menetes dari atap.

Hujan yang berubah darah dari mataku. Ada rasa aneh yang liar malam ini. Menggemaskan.

       Kota asing

Dini hari, kudapati diriku basah. Percikan-percikan air menyapa wajahku. Tak tahu kenapa? Padahal rumah tak bocor dan kebanjiran.

Aku bergegas bangun. Kaget. Aku mendapati diriku pada sebuah kota yang asing. Cahayanya temaram, petir bersahutan. Seperti ketika bumi menyambut kedatangan Batara Guru di tanah Luwu dari dunia atas “langit”.

Namun,  tak ada aktivitas apa-apa di kota ini. Sepi. Baunya seperti kuburan tua yang dikeramatkan. Menyengat. Aku tak kuasa bertahan. Muntahku berhamburan ke jalan tanpa kendaraan. Tanpa petunjuk. Tanpa baliho. Tanpa penghuni.

Hanya suara hujan menderas. Aneh hujan  di kota ini tak dingin. Aku sendirian. Berjalan tak tentu arah. Bangunan-bangunan kuno entah berasal dari abad keberapa menjulang dan berlumut.

Pohon asing dan suara satwa liar bersahutan. Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Aku terseok-seok. Malam terasa lebih panjang.

KLIK INI:  Segelas Kopi Pertemuan

Aku berjalan terus. Mencari jalan pulang. Namun lelah menyantap. Aku lepaskan lelah pada sebuah bangku taman yang telah dirambati rerumputan.

Mungkin sebentar lagi pagi. Karena cahaya mulai mengintip. Bunga-bunga di taman tersebut mulai kelihatan. Tertata rapi. Bau bebungaan itu tak harum. Baunya tak pernah kucium dari bunga mana pun.

Ini benar-benar tempat antah berantah yang tak pernah masuk ke rumus keseharianku. Sebuah kota yang mungkin telah ditinggalkan penghuninya berabad-abad yang lalu, atau cerminan kota masa depan yang ditinggalkan oleh penghuninya tanpa tahu kenapa harus meninggalkannya. Aku ngeri.

Aku duduk cukup lama, menunggu pagi membagi cahayanya. Mengingat-ingat apa yang kulakukan sebelum sampai ke kota mati ini. Beberapa jam yang lalu, setelah selesai menulis. Aku bergegas ke atap seperti biasa. Meletakkan tulisanku. Tak ada berlebihan. Hanya aku menulis bukan dengan tinta seperti biasa. Tapi dengan darah yang menetes dari mataku. Tapi mataku sungguh tak perih.

Ketika kukucek, darah segar menetes. Lalu aku menuangnya. Dan menjadikannya tinta untuk menulis. Tulisan darah dari mataku itu amat romantis dan mistik. Aku merinding beberapa kali ketika menuliskannya. Untuk pertama kalinya, aku menulis sebuah nama “Viena, hujankah di kotamu?” Itu kata pembuka yang kutulis dengan darah dari mataku.

Aku menutupnya, “mencintaimu adalah pekerjaan rumit yang indah, Viena.” Setelah kuletakkan di atap,  aku turun. Melihat hujan dari atap.

KLIK INI:  Lelaki Penjaga Kebun

Hujan yang menetes  berubah merah darah. Aku menatapnya lama-dan- aku tak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Ketika  terbangun aku telah berada di kota mati ini. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Aku menjadi penghuni tunggal. “Wajah hujan selalu sama di mana pun itu,” kata Ibu terngiang. Tapi hujan di kota ini tak meninggalkan genangan. Terasa hangat. Sangat jelas sebelum sampai ke kota ini. Aku sedang menatap hujan yang menetes dari atap. Jadi, ini bukan mimpi.

“Siapa Viena, kenapa namanya harus tertuliskan?” Renungku dalam tanya. “Apa dia setan, atau penjaga kota ini?” Lanjutku. Tak ada jawaban.

Aku kemudian melanjutkan langkah tergesa. Ke arah datangnya cahaya. Berjalan terus. Tak seorang pun yang kutemui. Aku merinding takut. Gedung-gedung  menatap rakus. Ingin menelan hidup-hidup. Keangkeran terasa lengket. Semakin jauh melangkah.

Cahaya juga semakin jauh. Hujan terus menderas menguyupkanku. Aku terus berjalan mencari jalan pulang ke rumah. Di sebuah persimpangan, aku temukan tulisan terakhirku yang kutulis dengan darah dari air mataku, juga dibalas dengan tulisan darah. “Dari mana datangnya hujan? Jika kau bisa jawab, temui aku di kotaku. Kita nikmati hujan di Danau Matano.” dari Viena.

KLIK INI:  Mengatur Hujan

“Siapa Viena sebenarnya, apakah takdir cinta mengantarnya padaku? Apakah hujan telah mempertemukan kami?” Bisikku. Aku terus disusupi pertanyaan tentang Viena. Diakah cinta yang dimaksud Ibu, yang harus kutemukan dalam hujan?

Aku terus berjalan, nyaris berlari. Tanya tentang Viena bergelombang. Cahaya semakin dekat. Kupercepat langkah. Tapi aku tak bisa bergerak.

Dari arah datangnya cahaya, orang berkerumun ingin pulang. Berdesak-desakan. Saling sikut. Saling menghujat. Saling menginjak. Jumlahnya tak tertebak.  Aku kewalahan, nyaris pingsan. Kota mati ini berubah beringas. Hujan masih menderas. Aku terus berusaha mencari jalan pulang. Mencari jalan ke kota Viena. ##

Cat: Haiku, puisi pendek Jepang. Danau Matano terletak di Sorowako, Luwu Timur, Sulsel.

KLIK INI:  Pintu dari Babatan Hutan