Mengatur Hujan

oleh -128 kali dilihat
Ilustrasi hujan
Ilustrasi hujan/foto-Lampungpro.com
Nona Reni

Entah karena ia sudah begitu lama tinggal di sebuah desa yang dinginnya jauh lebih banyak dari panasnya, atau karena sebab lain—yang jelas Buyung selalu merindukan hujan.

Paling tidak, hujan bisa menyirami sepetak lahannya yang gersang dari tiga bulan lalu. Atau curahan air hujan itu bisa sedikit membuat pekarangan rumahnya bebas dari debu. Debu yang kadang berkunjung ke matanya jika angin berembus sangat kencang. Membuatnya perih dan memerah.

Desa yang ia tempati sekarang ini memang terasa sangat panas, itu terjadi setelah penebangan pohon peneduh pinggir jalan demi pelebaran jalan. Matahari terasa begitu menyengat, seakan ingin membakar kulit hingga terpanggang kering.

“Aku ingin hujan turun tiap hari.” Katanya kepadaku suatu hari.

KLIK INI:  Kopi Hilang di Meja Warkop

“Tiap hari?”

“Ya, tiap hari. Biar udara di sini tidak terlalu sepanas ini.”

“Tapi, mungkin banyak yang tidak setuju.”

“Kenapa?”

“Di mana-mana akan terjadi banjir. Termasuk di rumahku.”

“Oi, kalau hujannya tidak terlalu lebat, sekelebat lalu, gimana?”

“Kalau itu mungkin tidak apa-apa. Tapi, aku lebih suka hujan kadang-kadang saja. Apalagi hujan banyak menghalangi perayaan atau acara, yang tadinya mau ke sawah, urung. Yang tadinya mau ke kondangan, jadi lebih milih melanjutkan tidur.”

Percakapan kami ini juga disimak oleh istrinya yang merupakan teman sepermainan masa kecilnya dulu. Istrinya itu ikut angkat suara, “Kalau tiap hari hujan, bagaimana dengan jemuran, Bang? Tentu berhari-hari tak kering dan bau apek.

KLIK INI:  Bila Daun Itu Lepas

“Hujannya di sore jelang malam sajalah. Atau mendung-mendung sajalah,” jawab Buyung.

“Aneh-aneh aja kamu, Bang. Gimana caranya coba kita ngatur hujan? Mendung di sore hari, hujan di malam hari, apa kita punya kuasa seperti itu?”

Betul juga ucapan istrinya, pikirnya dalam hati. Tentu selain istrinya, akan banyak ibu rumah tangga lain yang bakal protes, kenapa sore mendung dan malam hujan terus.

Belum lagi, kenapa siklusnya teratur tiap hari, seperti keseharian manusia—tidur, bangun, mandi, sarapan, berangkat kerja, pulang kemudian tidur lagi. Mana bisa meramal cuaca akan konsisten? Manusia saja kadang menyalahi aturan dari kekonsistenan itu sendiri.

Aih, semakin Buyung berpikir, semakin ia berandai-andai mampu mengatur hujan dan diturunkan lima belas menit lepas shalat Isya saja, biar jemaah Isya tidak diguyur hujan sepulang dari masjid. Yang penting tiap hari hujan.

KLIK INI:  9 Alasan Kenapa Sampah Plastik Sangat Buruk bagi Lingkungan

Sekali lagi, tak usah lebat. Biasa-biasa saja. Sebab jika lebat, bisa banjir di mana-mana. Intinya menyirami bumi dengan cukup dan seperlunya. Begitu terus, besok, lusa, lusanya lagi, minggu depan dan minggu depannya lagi.

Toh bagi sebagian orang, hujan saat ia sudah naik di pembaringan membuatnya cepat pulas karena mendengar merdunya suara hujan yang berpapasan dengan atap seng. Syahdu sekali, terdengar seperti simfoni semesta yang amat menenangkan hati menyelinap ke dalam kalbu. Seperti puisi para penyair yang berdendang dalam kumpulan musikalisasi puisi yang dikoleksinya dari beberapa tahun lalu.

Tapi bagaimana Buyung bisa mengatur hujan? Di kepala Buyung tak ada cara lain selain memohon kepada yang di atas di sela-sela doanya sehabis shalat.

KLIK INI:  Beburung di Mata Ngantukmu
***

“Aku rindu sekali pada hujan.” Kata Buyung suatu siang.

“Aku rindu suara deraiannya yang merdu…” lanjutnya.

“Bagaimana jika kau buka saja keran air di kamar mandi?”

“Beda. Aku rindu wangi tanah kering di siram hujan pertama kalinya.”

“Semprotkan saja air ke halaman rumah kita.”

KLIK INI:  Sepotong Napas dari Puntondo

Istrinya terlalu sulit untuk mengerti kenapa permintaan Buyung tak bisa sederhana menyiapkan segelas kopi saja? Kenapa justru terkesan rumit seperti hujan yang tidak turun. Istrinya berpikir apakah turun hujan adalah permintaan yang sangat berat untuk dikabulkan oleh yang di atas sana.

Saking inginnya turun hujan, Buyung tak jarang bermimpi mandi di tengah hujan. Rasanya seperti masa kecilnya dulu. Bersukaria dalam hujan sambil bertelanjang. Tertawa dan berlarian ke sana kemari.

Dalam mimpinya ia bermain hujan bersama istrinya yang berlari semakin jauh darinya. Makin jauh menyongsong ke dalam hujan lebat. Ia memanggil-manggil istrinya agar kembali. Tapi, istrinya teru berjalan dan hilang di tikungan jalan.

Cepat ia menyusul. Namun di tikungan jalan itu istrinya menghilang. Lengang. Entah ke mana istrinya. Ia mulai bingung dan hendak berteriak minta tolong. Namun, tiba-tiba ia telah terbangun.

KLIK INI:  Salut, Nagekeo Terapkan Kearifan Lokal untuk Kurangi Sampah Plastik!

“Istrimu sedang kritis di rumah sakit.” Kata adiknya gelisah.

“Kritis bagaimana?”  Ia terpana

“Keguguran dan pendarahan parah.” Kata dokter.

Buyung terkejut. Bagaimana bisa ia melihat istrinya kritis dan anak yang ditunggu selama bertahun-tahun lebih memilih pulang ke atas sana. Ke tempat doa-doa di langitkan bersama hujan.

Dari matanya dan hatinya hujan lebat tiba lebih awal. Menjadi badai bertahun-tahun kemudian. Menenggelamkan apa saja, pohon mangga, sandal jepit, sepatu, panji, pohon kelapa, manusia, cicak. Pokoknya apa saja.

Satu-satunya yang terapung dalam hujan, dalam banjir adalah sampah plastik—tapi ia menimbun apa saja di bawahnya.

Sial……

KLIK INI:  Tersebutlah Daun Bandotan