- Menyerap Sensasi Hijau Donggia Bersama TBM Al-Abrar, Bulukumba - 01/10/2024
- Dipeluki Sampah - 29/09/2024
- Yudi, Urang Aring yang Tak Terawat, dan Manfaatnya yang Mengejutkan - 27/09/2024
Klikhijau.com – Musim paceklik, jadi musim paling meresahkan bagi masyarakat Desa Kindang. Musim ini berlangsung kurang lebih lima bulan. Dimulai Desember hingga April. Terkadang menyeberang ke Mei.
Penyebab musim paceklik di bulan-bulan itu, bukan karena kemarau atau musim hujan yang datang mengutak-atik kehidupan atau gagal panen. Bukan. Tapi, perekonomian (pendapatan) masyarakat sedang terjun bebas. Sebebas-bebasnya.
Para tetua kampung, menamai musim ini dengan istilah yang lebih cekam, lebih suram; tanre pattallassang ‘tidak ada sumber kehidupan’.
Masalah ini telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Di masa lalu, musim paceklik juga ditandai dengan bosi allo bangngi ‘hujan siang dan malam’. Jadinya, jangankan untuk ke kebun. Keluar ke halaman rumah saja agak susah.
Hanya belakangan ini, mungkin karena pengaruh perubahan iklim, intensitas hujan mulai berkurang.
Meski begitu, musim paceklik tidak mereda. Musim ini oleh masyarakat dinamai pula bulan cipi’. Cipi’ dulunya merujuk pada bulan terjepit, yakni bulan yang dijepit antara dua khutbah hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Bulan di antara kedua hari raya itu, dinamai bulan cipi’.
Namun, penamaan itu sepertinya mengalami pergeseran—yang kemudian merujuk pada musim paceklik. Di mana sumber kehidupan telah lewat dan juga belum sampai. Jadi, saat menyebut bulan cipi’, arahnya adalah bulan-bulan paceklik itu. Kata cipi’ juga digunakan untuk menunjukan kondisi keuangan yang seret.
Tapi, musim paceklik atau bulan cipi’ ini hanya berlaku bagi petani. Pada profesi lain, dampaknya tidak terlalu terasa. Sayangnya, masyarakat Kindang mayoritas berprofesi sebagai petani. Jadinya, hampir semua orang mengalaminya. Perputaran roda ekonomi bergerak siput. Lambat.
Fenomena bulan cipi’ ini memang menarik sekaligus miris. Dulu hingga sekarang, masyarakat Kindang menggantungkan hidupnya pada dua komoditas andalan, yakni kopi dan cengkeh.
Ketika memasuki musim paceklik, kedua komoditas itu telah melewati masa panen. Dan sangat besar kemungkinannya, uang hasil penjualannya pun telah habis.
Beruntung belakangan, banyak sumber yang bisa jadi penghasilan, misalnya tire atau porang yang kini mulai memiliki nilai ekonomi, daun cengkeh juga mulai berwarna uang.
Hanya saja, tambalan itu tidak cukup, sebab antara bulan Desember hingga April atau kadang ke Mei, porang belum panen, daun cengkeh berhenti berguguran karena memasuki masa berbuah. Pada bulan-bulan tersebut, mata pencaharian di dunia pertanian di Desa Kindang—nyaris kosong.
Solusi pada tanaman jangka pendek
Desa Kindang adalah desa dengan tingkat kesuburan tanah yang memukau dan memikat. Jenis tanaman apa pun ditanam, peluang tumbuhnya sangat besar.
Satu di antara tanaman yang paling mungkin jadi solusi mengatasi bulan cipi’ adalah tanaman pangan dengan masa panen yang cepat atau jangka pendek, semisal tomat, cabai, buncis, labu hingga jagung manis.
Selama ini masyarakat memang menanam tanaman jangka pendek, khususnya sayuran. Namun skalanya terbatas, sekadar untuk dikonsumsi saja dan mencari amal “berbagi ke tetangga dan keluarga”. Belum masuk ke ranah bisnis, yakni untuk dijual. Karena yang ditanam pun jumlah sedikit.
Karena yang ditanam sedikit saja, terkadang tidak mencukupi. Karenanya, jangan heran jika mendapati kaum ibu rela duduk di pinggir jalan menunggu penjual sayur lewat. Mereka tidak untuk menjual sayur, tapi untuk membeli.
Menjawab tantangan dengan tomat
Musim paceklik memang harus dilawan. Kedatangannya adalah tantangan (challenge) yang harus ditaklukkan. Sebagai daerah bertanah subur. Challenge itu sangat mungkin ditaklukkan.
Tanaman penakluk itu bisa datang dari tomat (Solanum lycopersicum). Tumbuhan asli Amerika Tengan dan Selatan ini, potensinya sangat menjanjikan di Desa Kindang.
Potensi itu telah dibuktikan oleh Syahrir dan Fikar. Keduanya adalah petani milenial yang tergabung dalam kelompok perkebunan yang bernama Tassika.
Syahrir dan Fikar memilih jalan yang tidak biasa, penuh tantangan dan perjudian. Mereka berfokus pada tanaman jangka pendek jenis sayur. Tomat salah satunya. Tanaman dari keluarga Solanaceae ini termasuk unik. Karena secara botani, tomat adalah tanaman buah. Namun, dalam dunia kuliner, tomat adalah sayuran.
Keduanya tidak mengikuti para leluhur, yang hanya menanam seadanya saja, tapi keduanya menanam dalam jumlah ribuan. Sesuatu yang belum pernah ditempuh oleh masyarakat, apalagi digarap dengan sistem yang cukup modern. Mulai dari persiapan lahan, penyemaian bibit, pemupukan hingga pemangkasan (pruning).
Mereka berdua tekun mengikuti petunjuk yang didapatkan dari proses pelatihan dari ahlinya. Dan rela memeras keringat lebih banyak.
“Ini untuk menjawab tantangan di bulan cipi’” jelas Syahrir, ketua kelompok pertanian Tassika beberapa waktu lalu.
Ia dan Fikar memilih tomat bukan tanpa alasan. Setelah melakukan survei selama dua tahun. Potensi tomat di bulan cipi’ (Desember-April) sangat besar, baik dari segi harga maupun buah.
Di bulan cipi’ itu Ketersediaan tomat di pasaran agak langka. Karenanya, harganya akan melonjak.
“Daerah penghasil tomat pada bulan cipi’ belum panen,” katanya lagi.
Ia berharap, saat masyarakat melihat potensi tomat, seperti yang ia tanam. Masyarakat akan bergegas untuk menanamnya pula atau minimal, mengubah cara bertaninya—mulai memikirkan menanam tanaman jangka pendek.
Cara ini, katanya dapat jadi solusi mengatasi bulan cipi’ yang telah mencekik selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Karena, sambil menunggu hasil komoditi jangka panjang, ada komoditi jangka pendek yang bisa diandalkan untuk mengepulkan asap dapur dan memenuhi kebutuhan lainnya.
“Dengan tomat atau tanaman jangka pendek, maka jalur merantau bisa tertutup,” tegasnya.
Mulai panen
Ketika memulai menanam tomat, apalagi ditanam saat kemarau sedang ganas-ganasnya. Banyak masyarakat yang mencibir—menanamkan rasa pesimis jika tomat yang ditanam itu akan berhasil.
Tapi, dengan ketekunan dan menerapkan ilmu yang didapatkan. Tomat yang ditanam Syahrir dan Fikar pun berhasil.
Saat ini, tomat yang mereka telah memasuki masa panen. Bahkan Syahrir menargetkan dapat meraup hasil hingga 90 juta dari 3.000-an tomat yang ditanamnya. Fikar pun demikian, ia juga menanam 3.000-an tomat.
Harga tomat memang sedang menggila, pada saat jelang tahun baru, harganya menyentuh angka Rp 500.000/kantong. Saat ini, harga tomat di kisaran harga Rp300.000/kantong. Satu kantong berisi 20 kg.
“Masyarakat harus melihat bukti terlebih dahulu baru mau bertindak,” tutupnya.
Semoga dengan tomat atau tanaman jangka pendek lainnya, musim paceklik atau bulan cipi’ tidak lagi mencekik. Bisa berlalu dengan santai, dengan isi kantong yang menebal berisi cuan.