Pohon Seribu Tahun

oleh -53 kali dilihat
Pohon Kenangan Ibu
Ilustrasi pohon/foto-lovepik
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Aku girang ketika seorang lelaki gondrong mendekatiku. Di tangannya ada palu, paku, dan kertas. Lelaki gondrong itu menatapku. Ada haru dari matanya. Ada kagum bertumbuh dari tatapannya. Dan aku merasa bahagia.

Ia meraba tubuhku. Kurasakan semua poriku bergetar. Lalu setelah menimbang berbagai posisi. Dan ditemukan yang paling pas. Lelaki gondrong itu memakuku, ditempelkannya kertas yang dibawanya. Kertas yang berisi puisi Chairil Anwar: AKU.

Sejujurnya aku memang menyukai puisi. Sangat banyak penyair yang kerap membaca puisinya di bawahku.  Aku mampu meneduhkan mereka. Di antara banyak puisi itu, yang paling kusukai adalah lirik puisi Chairil—aku mau hidup seribu tahun lagi.

Usiaku saat ini masih jauh dari angka seribu. Baru enam puluh sembilan tahun. Ketika usiaku sembilan tujuh bulan. Seseorang berpakaian baju kemeja biru langit membawaku. Lalu menanamku di halaman sebuah kampus yang baru dibangun.

KLIK INI:  Bercocok Cinta di Gelombang

Aku dirawat dengan telaten dan suka cita. Disirami setiap pagi dan senja. Aku diperlakukan istimewa. Sering aku mendapati seseorang membaca puisi Chairil ketika merawatku.

Aku tumbuh dalam dekapan cinta yang tiada batas. Karenanya, saat aku mulai tumbuh besar. Aku mengabdikan diri dengan tak terhingga kepada manusia. Kuserapi semua zat berbahaya yang mungkin mereka hidup.

Aku membersihkan udara yang kotor. Dan menyebar oksigen yang bisa dihirup oleh siapa saja. Aku tumbuh tanpa pilih kasih.

Meski begitu, banyak pula yang tetap menatapku sinis. Pernah suatu hari, seorang mahasiswa melakukan parade baca puisi. Ia memanjatiku, membacakan puisi Chairil Anwar. Ketika sampai pada bait aku mau hidup seribu tahun lagi. Ranting tempatnya bertumpu patah. Ia meluncur bebas lalu ditadah bumi.

Berbagai kecaman mengarah padaku. Tak sedikit yang ingin menghabisiku. Kegamangan dan sedih melanda sedih berhari-hari—bahkan berbulan-bulan.

KLIK INI:  Lelaki Penjaga Kebun

Untungnya, banyak pula yang membelaku. Untuk pertama kalinya aku benci puisi Chairil itu. Tapi, karena telah jatuh cinta sedalam-dalamnya. Rasa benci itu meluntur perlahan. Lalu lenyap begitu saja.

Maafkan

Maafkan. Harusnya kuperkenalkan namaku sejak awal. Namaku beringin. Aku bisa meneduhkan siapa saja. Bisa menadah sinar matahari. Menyimpan air dalam tubuhku.

Aku terkadang dianggap angker. Jujur saja. Aku suka dengan anggapan itu. Itu membuatku selamat dari berbagai ancaman “pembunuhan”.

Dianggap angker memberiku napas lebih panjang. Hanya segelintir manusia saja yang mengusikku. Jadi, aku bisa hidup seribu tahun untuk memberi manfaat yang banyak bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Iya, tak hanya manusia, aku juga jadi rumah bagi banyak burung, bahkan cacing tanah menyukaiku. Mereka bisa berumah di celah-celah akarku.

Nama ilmiahku Ficus benjamina. Kerenkan?.

KLIK INI:  Kecamuk Cuaca

Kembali ke lelaki gondrong itu. Setelah ia selesai memakuku. Ia menatapnya dengan sangat bangga. Dikeluarkannya gawai dari sakunya. Lalu memotretku.

Aku merasa haru. Semua pori dalam tubuhku menggerimis. Daun dan reranting menari bahagia. Orang-orang yang berlalu lalang mampir membaca pengumuman itu. Minggu depan di malam Minggu. Akan ada perayaan peringatan hari lahir penyair idolaku itu. Chairil Anwar.

Akan banyak puisi Chairil yang dibaca dan aku akan meneduhkan semua orang yang hadir. Bagaimanapun, akhir-akhir ini panas terasa lebih memanggang kota ini.

Air yang kusimpan dalam tubuhku seakan terkuras habis. Pertumbuhan daun dan ranting melambat. Tapi, aku telah bersumpah akan tetap bertahan. Akan tetap bermanfaat.

“Air tak lagi mengalir ke kamar mandi fakultas,” ujar seorang Dosen Muda.

“Mungkin air tanah telah habis,” jawab Dosen Senior.

Mereka berbincang sambil mengisap rokok di bawahku. Aku hampir batu-batu oleh asap rokoknya.

“Pemanasan global semakin nyata adanya,” timpal Dosen Perempuan yang baru datang. makeupnya  telah luntur di hantam panas. Padahal hari masih sangat pagi.

“Untung ada pohon beringin ini, bisa meneduhkan kita,” timpal Dosen Muda itu.

“Ini harus dijaga,” kata Dosen Senior

“Bagaimana air sudah mengalir,” tanya Dosen Perempuan tersebut.

“Belum,” jawab Dosen Muda itu.

KLIK INI:  Pengukuran Hutan Dunia Akan Dilakukan Satelit NASA

Mereka tak tahu, sejak kemarau. Aku telah berhenti mengalirkan air ke dalam sumur bor mereka. Aku berada pada ranah serba salah. Jika aku alirkan air yang kusimpan melalui akar-akarku. Maka aku sendiri yang akan keropos lalu menemui mautku.

Jika aku mati, manfaatku akan berhenti. Aku tahu, aku bukanlah jenis pohon yang dapat berguna setelah matinya. Aku berbeda dengan pohon lain, yang kayunya bisa digunakan untuk membuat rumah atau kursi.

Karenanya aku ingin hidup seribu tahun lagi untuk memberi manfaat. Tak boleh tidak. Tiada guna hidup tanpa manfaat.

“Barangkali beringin ini menyerap semua air tanah,” ungkap Dosen Senior itu.

“Hahaha, ada-ada saja, justru pohon inilah yang menyimpan dan menyuplai air,” jawab Dosen Perempuan itu.

Aku terkejut mendengar dugaan Dosen Senior berbaju putih itu. Aku menggoyangkan badanku, dua atau tiga helai daun jatuh.

“Lihat, siapa yang memaku pohon ini?” tanya Dosen Muda.

KLIK INI:  5 Puisi Chairil Anwar Bermetafora Alam yang Akan Terus Hidup Seribu Tahun

“Pasti ulah mahasiswa,” jawab Dosen Senior.

“Mereka menyakiti pohon ini,” kata Dosen Perempuan tersebut sambil mencabut pengumuman itu. Aku ingin protes. Ia mencabut puisi kesukaan dari tubuhku.

Yang tercabut hanya papan pengumuman tersebut. Tidak dengan pakunya. Aku juga heran, sebatang paku tak akan menyakitiku—tak akan membunuhku. Aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Jelang acara

Tiga hari jelang acara peringatan kelahiran Chairil. Tubuhku menggigil. Sakit pada sekujurnya. Paku yang ditancapkan lelaki gondrong itu telah menyakiti. Melukai dan memotong banyak suratku.

Aku ingat protes Dosen Perempuan itu. Tapi aku terlalu sombong dan merasa tak mungkin satu batang paku dapat membunuhku.

Rupanya itu tidak benar. Paku itu, yang perlahan berkarat dalam tubuh—karatannya menyebar cepat dan memotong semua aliran nafas.

Aku jadi takut, tak lagi bisa melihat pementasan puisi Chairil Anwar itu. Karena sekarat karena paku yang ditancapkan lelaki gondrong itu.

KLIK INI:  Pantai Matamu

Saat aku mengumpulkan napas, seorang perempuan muda bersama tiga lelaki datang pula menempel pengumuman. Mereka memakuku. Tulisan pengumumannya adalah seruan aksi jaga iklim dalam rangka peringatan hari bumi.

“Jaga bumi, jaga pohon,” begitu pengumuman yang dipaku pada tubuhku.

Aku membiarkan mereka memakuku. Dan saat acara pementasan baca puisi berlangsung. Tubuhku telah sangat payah. Aku meranggaskan semua daunku. Orang-orang yang hadir bersorak. Itu pemandangan yang eksotis. Menakjubkan bagi mereka.

Saat usai pementasan puisi, napasku juga usai. Aku gagal hidup seribu tahun.

 Kindang, Oktober 2023

KLIK INI:  Ingin Tahu Hal Luar Biasa dari Pohon? Klik Ini!