Cerita tentang Kopi TOPIDI, Cita Rasa yang Tersembunyi di Balik Kepopuleran Malino

oleh -2,431 kali dilihat
Cerita tentang Kopi TOPIDI, Cita Rasa yang Tersembunyi di Balik Kepopuleran Malino
Nyaatakan rasa dengan Kopi Topidi

Klikhijau – Kopi TOPIDI (Tolong pikirkan dirinya), mungkin baru Anda dengar. Diam-diam ada cita rasa tersembunyi di baliknya—saya membuktikannya saat berkunjung ke desa tempat kopi itu bertumbuh.

Topidi, sesuai dengan letaknya yang tersembunyi dalam akses dan catatan sejarah atas keberadaannya di Sulsel. Hampir tidak ditemukan penulisan tentang Topidi. Namanya pun terlindung di balik kepopuleran Malino.

Topidi, mungkin hanya terdengar dari komunitas touring, kelompok pencinta alam, atau kegiatan pengkaderan mahasiswa.

Lima tahun lalu desa Topidi masih ketegori dusun yang masuk dalam area desa Biroro kelurahan Bontolerung Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa. Topidi sebagai dusun ditulis oleh Irma, salah seorang mahasiswa yang pernah melakukan kegiatan pengkaderan melalui sosiologi pedesaan.

KLIK INI:  Kopi yang Nikmat Nan Otentik, Direbus atau Diseduh?

Akses menuju Topidi, dari dulu hingga saat ini masih berupa jalan yang dipenuhi bebatuan. Jalan  yang  berkelok dan menanjak menjadi tantangan tersendiri menuju daerah ini.

Meski dapat dilalui kendaraan roda empat, namun harus ada yang mengalah untuk menepi dan berhenti. Jalan yang sempit dan penuh jurang. Jalan ini terwujud berkat gotong royong masyarakat Topidi membangun jalan sedikit demi sedikit. Secara swadaya mereka membangun jalan dengan batu kurang lebih 3 kilometer.

Desa Topidi terletak di daerah yang dikeliling gunung dan perbukitan yang dihuni 38 KK. Kabar terakhir saat mendatangi Topidi pada 21 Juni 2020 lalu telah mencapai 40 KK. Tahun 1915, Topidi masih didiami 30 KK.

Bentang alam Topidi yang berada di ketinggian, menjadi lahan subur tumbuhnya tanaman kopi. Letaknya yang berada tepat di kaki Gunung  Bawakaraeng, menyebabkan kontur tanah cenderung miring.

Keindahan alam di desa Topidi
Keindahan alam di Desa Topidi – Foto/Wahyuddin Junus

Keadaan ini menuntut masyarakatnya memanfaatkan lahan untuk pertanian dengan teknik terasering (sengkedan). Persawahan  secara sengkedan ini, justru menjadi daya tarik dan enak dipandang mata.

KLIK INI:  Tentang Telur, Menu Sarapan Paling Populer di Dunia
Pada mulanya adalah bagaimana membuka rahasia kopi topidi

Di Topidi, kabut dan dingin tak pernah punya akhir. Setiap yang datang membawa kisahnya tersendiri. Bagaimana menyaksikan pesona kabut dan bagaimana berdamai dengan dingin. Panorama bentangan alam dipersaksikan bak lukisan, mata seakan-akan mengandung spirit cahaya.

Perjalanan kali ini membawa hal-hal baru yang membuat ingatan lama ikut juga hadir, walau tanpa diminta. Tapi selalu ada yang tak berubah pada kita sejak sebelum berangkat. Ini tentang kopi. Rasa penasaran akan Topidi membuat perjalanan kali ini bisa terwujud.

Menurut Daeng Halim, salah seorang petani kopi dan juga warga topidi, kopi pertama kali ada jenis robusta. Tanaman kopi robusta telah ada di Topidi sejak zaman Belanda ungkap Daeng Halim. Keberadaan Kopi jenis Arabika mulai ditanam sejak 36 tahun yang lalu.

Kopi tersebut ditengarai ditanam secara turun termurun dari warga Topidi. Jika kita melihat hamparan lahan, hampir semua tanamam kopi yang ada sekarang adalah kopi Arabika.

KLIK INI:  Kombucha, Teh Asal Asia yang Tersohor dengan Segudang Manfaat

Itulah yang dikenal saat ini sebagai kopi topidi. Kopi ini sendiri tumbuh di ketinggian kurang lebih 1250 – 1500 mdpl.

Kopi topidi telah berkembang pesat dan berkonstribusi atas penanaman kopi di Dusun Cindakko, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, Maros. Sebanyak 22.000 bibit kopi yang berasal dari lokasi pembibitan kopi di Desa Topidi, Malino, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan.

Informasi ini disampaikan oleh Daeng Anggi, salah seorang petani, saat bincang santai di atas rumah mungil di atas bukit.

Secara historis, penamaan suatu kopi dengan identitas tempat bisa bermakna macam-macam. Kopi topidi telah menjadi nama yang disepakati para petani kopi di Topidi.

KLIK INI:  Teh dan Kopi, Penyelamat dari Risiko Kematian karena Penyakit Diabetes

Maka sudah selayaknya para roaster atau trader yang menjual kopi ini memulai memasarkan kopi dengan dilengkapi identitas daerah penghasil tempat kopi itu ditanam.

Dari sisi konsumen, para penikmat kopi spesial pun menjadi tahu kopi yang diminumnya dari mana dan bahkan oleh siapa ditanam.

Kopi topidi telah lama diketahui oleh pedagang-pedagang kopi baik dari Toraja maupun Enrekang. Mereka jauh-jauh datang ke Kabupaten Gowa (Malino) hanya untuk memenuhi kuota mereka.

Tak cuma itu kopi topidi mereka sebut sebagai kopi dari Malino ini, biasa mereka jadikan sampel bahwa kopi ini berasal dari Toraja/Enrekang.

Namun sesungguhnya itu kopi yang berasal dari topidi. Sampai-sampai ditengarai, pernah ada trader kopi dari Jerman berkunjung ke perkebunan kopi di Malino tepatnya di desa Topidi, setelah disuguhi kopi dia bersikeras bahwa kopi yang diminumnya itu kopi Enrekang.

KLIK INI:  Perihal Kue Bandang, Bahan, dan Cara Membuatnya

Persoalan kopi spesial tiap daerah penting untuk segera dibenahi. Upaya identifikasi lokasi asal produksi kopi menjadi terasa mendesak dilakukan. Setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing, dan kita sebagai penikmat kopi akan lebih mudah mencari kopi sesuai kegemaran.

Malam itu obrolan saya dengan Daeng Halim dan Daeng Anggi teramat panjang dan penuh warna. Untuk secangkir kopi tak pernah habis cerita tentangnya karena jalan kopi masih panjang.

Malam itu juga belum terungkap kopi topidi yang ada saat ini didatangkan dari mana. Keaslian tanaman kopi sendiri dalam pengertian ulayat atau indigenous adalah tanaman asli dari Ethiopia. Itulah yang berkembang di berbagai negara dengan kekhasan masing-masing.

Suasana alam
Suasana alam di Desa Topidi juga cocok untuk perkemahan alam – Foto/Ist
Tengah malam, Rumah panggung mungil, Naurah Camp

Mendiami malam seperti sebuah babakan drama yang panjang. Rasanya kita terpenjara di sebuah tempat terpencil di pinggir peradaban . Di sini,  semua terasa dingin. Hanya satu yang tidak, kehangatan warganya.

Ini kali ketiga saya mendatangi topidi. Tak ada terjadi secara kebetulan.  Saya mengetahui kopi topidi dari Agha Madaga Sibanti, tetangga rumah.

KLIK INI:  Menyerap Beragam Manfaat Kopi tanpa Gula bagi Kesehatan

Kami biasa memangilnya Om Agha. Ia telah mengenal alam topidi (tentu dengan kopinya) 5 tahun yang lalu. Ia secara teratur bolak balik Makassar-Topidi setiap waktu. Topidi coffee selalu terselip dalam setiap perbincangan kami.

Setahun yang lalu Om Agha touring bersama komunitasnya di Topidi. Dari sana terselip ulasan tentang topidi, ‘Surga’ tersembunyi di kaki Gunung Bawakaraeng. Menyajikan eksotisme alam pegunungan dan kesejukan udara’.

Topidi sederhananya, jika diperas akan tersaji dalam 3 kata, kabut, kopi, dan dingin. Kehadiran kopi di topidi menjadi menu istimewa di antara bentang alam yang melenakan mata.

Dalam pergulatan ruang terpatri manifestasi rasa kopi. Dari sana tergambar. Seindah apa pun hidup terukir, sesempurna apa pun hidup yang terjalani dapatkah ia bermakna tanpa ada rasa pahit.

Dalam malam yang suntuk, sementara mata belum ingin terpejam. Sentuhan secangkir kopi membuat pembincangan tentang topidi yang sarat pesan. Ada makna lain dari Topidi, Tolong Pikirkan Dirinya!

KLIK INI:  6 Kopi Indonesia yang Ekspansi Keluar Negeri, Menembus Sekat Batas