- Keladi Hias dan Ibu - 05/04/2025
- Katilaopro, Pakan Andalan Anoa yang Meresahkan Petani - 02/04/2025
- Gelisah Burung-Burung - 30/03/2025
Klikhijau.com – Jelang malam, seekor kareo padi berkeliaran di tandabaca yang sepi. Mungkin burung yang di kampung saya, Desa Kindang bernama teo itu mengira tak ada orang, makanya ia berani.
Saya yang sedang berada di atas Rumah Pohon Binara Cinta Kaisah Ayatulauni terperangah melihatnya. Sangat jarang bisa menyaksikan teo dari jarak kurang lebih lima meter.
Karena itulah, kemarin, Jumat, 15 Juli 2023 saat jelang malam itu, menjadi salah satu moment yang cukup berkesan di tandabaca.
Saya tidak ingin melepas kesempatan langka itu. Mulailah saya bergerak dengan pelan, mengarahkan kamera gawai kepad burung dari famili Rallidae itu. Memotretnya berkali-kali, sayang, karena jaraknya lumayan jauh, hasilnya kurang maksimal.
Teo itu berjalan ke arah pohon cengkeh, melompat ke atas. Tatapan saya tak lepas darinya dan ia tak menyadari kehadiran saya. Saya berusaha tak menimbulkan suara, sebab burung yang juga dikenal dengan nama ruak-ruak itu sangat sensitif dengan suara.
Ia melompat dari satu ranting ke ranting lainnya, sebelum menyeberang ke cengkeh yang lain—yang lebih rindang dan saya tak bisa lagi melihatnya, juga tak mencoba mencarinya.
Sepertinya, teo itu mencari tempat bermalam. Dan ia memilih pohon cengkeh yang rindang agar lebih aman.
Burung bernama latin Amaurornis phoenicurus itu adalah satwa yang habitatnya di lahan basah, yakni rawa, tepi sungai, danau, dan sawah.
Karena tandabaca dikelilingi oleh hamparan sawah, maka tak mengagetkan jika teo sering terlihat. Jika pun tak terlihat, suara khasnya akan mengirim kabar akan keberadaannya.
Burung dari filum Chordata ini memiliki suara yang khas. Suaranya sangat riuh, yakni berbunyi “uwok-uwok” dengan ketukan “turr-kruwak, per-per-a-wak-wak-wak.”
Teo masuk kategori salah satu jenis burung air. Ia memiliki tubuh ramping dengan ekor yang pendek—ukurannya sekitar 20 cm.
Burung dari genus Amaurornis itu memiliki bulu berwarna coklat keabuan tua. Lehernya berwarna putih pada yang menjadi ciri khasnya. Warna itu membuatnya pula terlihat menarik.
Eddy, et.al. (2020) mengatakan jika kareo memiliki variasi makanan yang beragam terdiri atas invertebrata (cacing dan molusca) sehingga menjadi pengendali hama di ekosistem sawah.
Selain itu, teo juga memakan biji-bijian, bagian tumbuhan seperti akar, tunas dan daun, beras, jagung, buah bahkan sisa makanan manusia.
Kenangan masa kecil
Dulu, saat saya masih duduk di Sekolah Dasar (SD) berburu teo adalah salah satu aktivitas menyenangkan. Sepulang sekolah, kami anak-anak kampung akan ke sawah atau ke rawa-rawa memasang sikko’ (perangkap) untuk menangkap teo.
Terkadang kami pulang jelang magrib, karena menjagai perangkap menangkap mangsanya. Namun, hasilnya lebih banyak nihil daripada berhasil.
Jika kami berhasil menangkap teo. Maka akan disembeli (dipotong) lalu di masak untuk dinikmati bersama. Cara masaknya lebih banyak dibakar atau digoreng.
Jika dibakar maka daging teo akan “dilahara”, yakni dicampur dengan kelapa parut. Kelapa parut tersebut akan diberi bara api lalu ditiup hingga kelapa masak dan mengeluarkan aroma khas yang wangi.
Lahara, sepertinya berasal dari kata lawar, yakni jenis masakan Bali berupa campuran sayur-sayuran dan daging cincang. Masakan ini dibumbui secara merata.
Waktu memasang perangkap teo, paling sering dilakukan seusai panen padi. Jerami padi adalah godaan pakan yang mengundangnya mendekat. Nah, jika ingin memasang perangkap, maka pasang pada sesang atau jalan yang sering di lewati oleh satwa yang juga dikenal dengan nama ayam-ayaman sawah itu.
Saat memasang perangkap itu, kami anak-anak kampung kadang abai pada ancaman. Memasuki rawa atau pinggiran sungai tanpa alas kaki.
Tidak memakai alas kaki tentu saja berisiko kaki akan tertusuk atau terluka. Belum lagi ancaman lainnya, yakni ular bisa sewaktu-waktu menyerang.
Untungnya perihal ancaman ular ini, hal itu sangat jarang terjadi di kampung kami. Bahkan puji syukur kepada sang pencipta, hingga saat ini belum ada kabar ada warga yang diserang ular. Dan semoga itu terus terjaga hingga hari akhir nanti.
Mulai langka
Jika sahabat hijau pernah membaca tulisan Taufik Ismail yang berjudul Kareo Padi, Burung Air yang Mulai Langka sahabat hijau akan menemukan satu fakta miris, yakni burung ini mulai langka.
Apa yang dikatakan Taufik tentu benar, sebab habitat burung yang menyukai berjalan di tanah dengan mengendap-endap ini semakin tergerus.
Selain aktivitasnya yang tergerus, perburuan juga dapat jadi penyebab semakin langkanya satwa unik ini. Apalagi saat senapan angin mulai merajalela dan sangat mudah dimiliki oleh masyarakat.
Teo memiliki keunikan tersendiri. Meski termasuk kelas burung, namun ia tak suka terbang. Lebih suka berjalan di tanah dan menyukai bersembunyi di dalam bemak.
Burung dari ordo Gruiformes hanya akan terpaksa terbang saat terancam. Namun, saat hendak tidur di malam hari. Burung berkaki dan berleher panjang ini akan mencari pohon atau kayu untuk bertengger
Jika saja bisa kembali ke masa kanak, saat masih SD mungkin teo yang saya lihat dari atas Rumah Pohon Binara Cinta Kaisah Ayatulauni di tandabaca itu tak akan lepas dari lemparan batu atau dari ancaman perangkap.
Mungkin saja demikian.