Anis Punggung-merah, Burung Endemik Penghias Lantai Hutan

oleh -33 kali dilihat
Anis Punggung-merah, Burung Endemik Penghias Lantai Hutan
Burung Anis Punggung-merah - Foto: Taufiq Ismail
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Pada suatu pagi yang cerah, saya bertandang ke kawasan wisata Bantimurung, Taman nasional Bantimurung Bulusaraung. Tepatnya pertengahan September 2023. Pagi-pagi sekali, suasananya begitu syahdu. Hanya beberapa petugas yang sedang menjalankan rutinitasnya. Termasuk menghalau dedaunan dan sisa sampah plastik yang menghiasi jalan menuju air terjun.

Air terjun Bantimurung nampak megah. Batu gamping di balik air terjun, nampak samar-samar. Airnya mulai berkurang. Gemuruh air yang jatuh juga tak begitu terdengar. Aliran air mengikuti lekukan batu karst. Meski begitu pamornya tak berkurang. Apalagi paduan pepohonan yang selau menghijau di sekitarnya.

Saya berhenti sejenak. Memandangi air terjun. Menikmati kemolekannya. Menikmati terpaan sinar matahari yang masih malu-malu menembus pepohonan yang rindang. Apalagi kehadiran beberapa ekor kupu-kupu terbang hilir mudik. Sesekali mendarat di batuan yang basah. Menikmati garam mineral darinya.

Saya berjalan sendiri. Mengayuhkan langkah demi langkah. Menikmati indah karunia Ilahi.

Saya kemudian mendaki anak tangga persis di samping air terjun. Sesekali singgah sejenak dan memandangi air terjun dari samping. Sembari mengambil napas yang dalam. Usia tak lagi muda, tak bisa dipungkiri, meski semangat selalu membara.

KLIK INI:  Data Lengkap 9 Jenis Burung yang Diamankan BKSDA Kalteng

Kali ini saya bermaksud mengabadikan satwa liar di kawasan wisata yang telah masyur sejak bangsa ini masih di bawah koloni negara lain. Karena itu, senjata: kamera, menggantung di bahu kanan. Selalu bersiap membidik.

Bagi saya, Bantimurung selalu spesial. Meski wisatawan yang berkunjung kadang tak terbendung, namun masih menyisakan ruang bagi satwa liar untuk berekspresi. Ada banyak satwa yang bisa kita jumpai satwa berkunjung: kupu-kupu, burung, soa-soa, hingga kelelawar. Bahkan  binatang-binatang liarnya lebih dari itu. Terutama bagi mereka yang mengincarnya. Mengincar untuk dipotret atau sekedar menikmati parasnya.

Bantimurung selalu memberi kejutan. Saya acap kali mengunjungi wilayah ini. Entah karena mengantar kolega, sekedar jalan-jalan, termasuk juga menjadi lokasi riset tugas akhir magister saya.

Seperti biasa, saya selalu menikmati tetirah saya. Berjalan sendiri sepanjang sungai yang kali ini menyuguhkan pemandangan yang tak biasa. Airnya berwarna hijau toska. Pantulan alga dan lumut hasilkan warna yang semarak. Pemandangan seperti ini hanya tersaji saat kemarau tiba.

Ada banyak titik pertemuan dengan satwa liar di sini. Utamanya burung, lebih sering menampakkan diri di atas air terjun. Wilayah ini seolah tak terjamah oleh manusia. Hanya sebagian pelancong yang kerap meramahinya.

Raja udang erasia, Alcedo atthis, sering bertengger di tepain sungai. Mengincar ikan-ikan kecil di tepi sungai. Tak berselang berapa lama juga saya berjumpa dengan cekakak merah, Halcyon coromanda. Bertengger pada ranting di atas sungai. Saat memerhatikannya dia terbang ke badan sungai. Setelah itu ia menukik, menangkap mangsanya. Sekali hentakan ikan kecil, ia telan bulat-bulat.

KLIK INI:  Mengenal Lebih Dekat Burung Puffin, Burung yang Alami Kematian Massal

Saya meninggalkan dua burung itu, setelah puas membekukannya dengan lensa idaman. Saya terus mengayuhkan langkah. Hanya sepelemparan batu, setelah berjalan, saya bertemu dua pemuda. Pemuda Bantimurung yang sedang menanti wisatawan. Menawarkan alternatif menikmati dinginnya air sungai Bantimurung. Menawarkan wisata kano.

Saya mengenal keduanya. Bertukar cerita sejenak. Bertanya kabar dan perkembangan usaha tirta mereka. “Lumayan, satu dua wisatawan singgah berkano. Apalagi anak muda, sangat gemar mengayuh perahu untuk mengisi konten media sosialnya,” pungkas Takbir, Ketua Kelompok Pengelola Ekowisata Bantimurung.

Saya pun berpamitan. Melanjutkan perjalanan mencari satwa. Berharap ada tambahan koleksi foto binatang liar di habitatnya. Saya selalu menyiapkan kamera dalam keadaan siap tempur. Berjalan lebih perlahan. Memasang telinga. Menyimak suara-suara ocehan satwa, sebagai pertanda kehadirannya.

Saat mendengar ocehan dari arah kanan. Saya mengikutinya. Keluar dari jalur setapak. Menerabas tumbuhan perdu yang menghias lantai hutan. Semakin dekat sumber suara itu, namun saya sudah berada persis di tepi sungai. Saya berhenti sejenak. Membuka telinga lebih lebar. Saya kemudian memastikan bahwa sumber suara berada di balik pohon di sebrang sungai. Saya harus menghapus asa berjumpa dengan si pemilik suara merdu itu.

Saya Kembali ke jalur. Kembali ke jalan setapak bersemen. Berjalan dengan penuh harapan. Saya kemudian berjalan pelan kemudian berhenti. Berhenti tepat di gubuk pertama. Gubuk yang difungsikan sebagai tempat berjualan aneka makanan dan minuman ringan saat akhir pekan. Di hari kerja seperti saat itu, tak berpenghuni.

KLIK INI:  Pohon Sengon, Tanaman HTI yang Mudah Beradaptasi

Saya melihat sekilas burung coklat mendarat. Saya kemudian mencari sosoknya. Berusaha bersembunyi. Berlindung di sisi pohon. Tak lama kemudian dia menampakkan diri. Berjalan seolah tak ada beban. Hilir mudik, sesekali terbang kecil. Seperti si doi mencari makan.

Saya terus berdiam di balik pohon. Membidiknya. Saya sedikit kesulitan mendapat parasnya tanpa penghalang. Selalu ada rintangan menghalangi pandangan kamera. Si doi terus aktif berjalan. Hanya sesekali tertegun, memantau sekitarnya. Jika merasa aman ia lalu kembali berjalan. Sesekali mematukkan paruhnya pada lantai hutan. Saya kira ia sedang mencari cacing ataupun ulat. Serangga kecil jadi incarannya.

Saya biarkan dia terus beraktivitas. Berusaha seolah tak berada di rumahnya. Membiarkannya beraktivitas seperti biasa. Saya kemudian mengecek panduan lapangan pengmatan burung di telepon pintar. Berusaha mengidentifikasi spesiesnya.

Saya kemudian mendapatinya. Parasnya serupa dengan burung anis. Mencoba memastikannya dan akhir saya yakin bahwa spesies yang ada di sekitar saya adalah anis punggung-merah.

Saya jadi semangat memotret kala membaca sebarannya. Mendapatinya bahwa si doi adalah salah satu spesies endemik Sulawesi. “Wah.. senangnya,” batin saya.

Saya sudah cukup lama di sana. Masih tertegun. Bersabar menanti sang anis menunjukkan pose terbaiknya. Saya kira sudah lebih dari setengah jam. Kaki sudah mulai pegal berdiri. Tangan juga sudah mulai tremor. Menanggung kamera dan lensa yang lumayan berat. Maklum, rasanya membawa tripod itu sedikit repot. Kedua, tripod bagi saya lebih cocok jika hunting-nya hanya menunggu satwa dan sudah punya spot pengamatan yang stabil.

Karenanya sementara saya lebih suka meng-handle kameranya dengan mengandalkan kekuatan lengan.

Saya kemudian memutuskan untuk menyudahi perburuan anis. Saya lalu melangkah kembali ke jalan. Begitu saya berdiri persis di badan jalan, si doi kemudian tiba-tiba terbang mendarang persis di seberang jalan. Terbang dari arah yang tak disangka-sangka. Seperti ia juga tak menyadari kehadiran saya di sisi jalan lain. Jadilah kita berpapasan tanpa disengaja.

Saya kaget. Kaget tapi senang. Jantung saya berdegup kencang. Saya berusaha menenangkan diri. Rasanya seperti bertemu kekasih hati yang lama tak bersua.

KLIK INI:  Kenalkan Darah Naga, Pohon Aneh dari “Tempat Persembunyian Dajjal”

Saya kemudian menjalankan prosedur tetap pengamatan satwa liar sensitif seperti burung. Bergerak perlahan namun pasti dengan harapan tak menarik perhatian satwa target. Dengan perlahan saya mengangkat kamera yang menggantung di leher. Perlahan sekali. Mengangkat kamera hingga mata saya sudah mengintipnya. Mengintipnya dari view finder kamera.

Membidiknya dengan puluhan kutipan dalam sekecap. Sesekali dia menoleh. Sepertinya ia mendengar suara tombol shutter. Si doi berusaha mencari asal sumber suara. Saya kemudian berhenti sejenak, tak mengganggunya dengan suaran bidikan. Namun saya juga tak berani menurunkan kamera untuk menatapanya langsung. Konon satwa juga sensitif dengan mata kita. Bisa jadi bertatapan dengan manusia ataupun satwa lain apalagi mamalia dan reptil besar menjadi suatu ancaman.

Saya menikmati masa itu. Mengagumi kemolekannnya dari balik lensa. Saya kemudian memencet tombol play saat mata masih berada di jendela view finder. Menampilkna hasil jepretan. Saya mengamati dengan seksama. Nampak ada sesuatu di ujung paruhnya.

Saya coba perbesar, ternyata seekor ulat. Saya jadi tahu alasan kenapa ia tiba-tiba terbang dan berpapasan dengan saya.

Kebanyakan satwa, jika sudah mendapat makanan di suatu tempat ia kemudian menjauh untuk menikmatinya. Jadi setelah menemukan makanan saat menjelajah di lantai hutan, ia kemudian terbang menjauh. Dan secara kebetulan kami berpapasan.

KLIK INI:  Menguak Rahasia Jambu Bol sebagai Tanaman Obat 

Rasanya sudah puas menikmati parasnya. Saya kemudian menurunkan kamera. Membiarkannya menggantung di leher. Betul saja, dalam sekejap si doi kemudian terbang menjauh. Hanya terbang pendek kemudian berjalan terburu-buru di balik dedaunan yang rindang. Saya kemudian kehilangan parasnya.

Wah seru.. hati begitu riang. Rasanya puas berkelana hari itu. Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Telaga Kassi Kebo. Menikmati kesejukannya. Setelah itu memutuskan balik kanan, matahari juga sudah hampir di atas kepala.

Dalam perjalanan saya jadi teringat akan anis punggung merah. Hari itu adalah kali kedua perjumpaan dengannya. Karenanya saya selalu menantinya kala melintas di sekitar lokasi perjumpaan sebelumnya.

Saya juga jadi teringat kala Pak Pado, petugas Resor Pattunuang, Taman Nasional bantimurung Bulusaraung, bercerita tentang temuan sarang burungnya. Waktu itu ia menunjukkan kepada saya sarang burung sang anis. Menunjukkan sarang burung bernama latin: Zoothera erythronota itu pada bunga kembang sepatu di sekitar tepian hutan karst. Tinggi sarang hanya sekitar dua meter. Pada sarang tersebut hanya menemukan satu butir telur.  Pak Pado membiarkannya.

Semoga sang anis, burung endemik Sulawesi ini terus menghias di lantai hutan. Menjadi bagian tak terspisahkan dari ekosistem alam.

KLIK INI:  Demi Jaga Kelestariannya, KLHK Lepasliarkan Elang Laut Dada Putih