Sepenggal Cerita Sepulang dari Pulau Lakkang

oleh -607 kali dilihat
Sepenggal Cerita Sepulang dari Pulau Lakkang
Pulau Lakkang - Foto/Ist
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Jumat pagi menjelang siang di pertengahan Maret, cuaca lumayan bersahabat. Saya bersama seorang teman bergegas untuk mengunjungi Pulau Lakkang yang berada di seberang Kampus Unhas Tamalanrea.

Bermodalkan pengalaman teman yang telah kesana 2014 lalu, kami berdua menulusuri jalan demi jalan, dari pondokan yang terletak di daerah yang biasa disebut workshop Unhas menuju dermaga penyeberangan Kera-kera.

Sebenarnya jarak kedua tempat ini tak terlalu jauh, hanya berkisar beberapa kilometer saja. Nahasnya kami memulai perjalanan kala terik matahari mulai meninggi.

Waktu tengah menunjukkan pukul 11 ketika kami tiba di dermaga penyeberangan. Dermaga yang konon selalu ramai ini nampak kosong plong, tak ada satupun kepala manusia yang terlihat. Hanya satu motor mio dan beberapa tumpukan sampah plastik yang berserakan di dermaga kayu ini.

Beberapa waktu berrselang, satu demi satu pengunjung mulai berdatangan, sembari menanyakan keberadaan Daeng Sija, warga Lakkang yang sehari-harinya bekerja mengemudikan perahu penyeberangan.

Rasanya baik Daeng Sija maupun pengunjung bukan lagi orang baru yang hendak ke Pulau Lakkang, seperti saya ini.

KLIK INI:  Tebing Apparalang dan ‘Kebenaran’ Lagu Nenek Moyang dari Ibu Sud

Sebuah kapal kecil yang dikemudikan lelaki tua bersama anaknya bersandar di pinggir darmaga. Mereka membawa kabar bahwa Daeng Sija biasanya melaksanakan sholat Jumatnya di Mesjid Al Markas.

Artinya kami masih harus menunggu 1-2 jam setelah sholat jumat untuk bisa menyeberang menggunakan perahunya. Adzan mesjid pun berkumandang di pinggiran darmaga dan kami pun memutuskan untuk sholat terlebih dahulu.

Selepas sholat, darmaga kian meramai. Beberapa ibu-ibu telah berdatangan bersama seorang gadis mengendarai motor Nmax. Layaknya sebutir gula di kerumunan semut, perempuan muda ini kerap dilirik puluhan pemuda.

Kesan manis pun surut tatkala perempuan ini membuang sampah plastik di pinggir sungai. Sepertinya membuang sampah di sungai tak menjadi hal yang aneh baginya dan beberapa pengunjung lainnya.

Beberapa menit berlalu bersama rasa kecewa yang mulai nampak di wajah kami, yang mengkhawatirkan bila nanti tak ada kapal lagi yang berlabuh di dermaga.

Syukurnya, tak lama berselang, sebuah besi tua yang ditopang dua perahu bermuatkan beberapa orang bersandar di dermaga kera-kera. Senyum riang pun merona di setiap wajah pengunjung yang hendak menyeberang ke pulau Lakkang.

Sebelum kapal penyeberangan bersandar, ada kejadian tak mengenakan dialami salah seorang pengunjung yang terjatuh di sungai, tepat beberapa meter sebelum tangga dermaga.

KLIK INI:  Desa Wisata Kahayya, Tempat Tetirah Bagi yang Luka Cinta

Barangkali karena tak sabaran untuk menyeberang ke tepi dermaga, seorang lelaki muda ini terjatuh ke sungai lantaran menginjak papan tangga di ujung kapal warga.

Celakanya, meski berhasil diselamatkan empunya kapal, dua buah gawai smartphone miliknya turut tercemplung air sungai.

Sontak, puluhan pemuda setempat yang tengah nongkrong di tepi dermaga menertawai kejadian yang bagi mereka lucu, sembari meneriakkan “selamat ulang tahun” dan “anda kena prank”. Para pengunjung dermaga juga tak usai membicarakan kejadian ini hingga di sepanjang perjalanan menuju Pulau.

Mengarungi Sungai Tallo

Perjalanan dari dermaga kera-kera menuju dernaga Lakkang ditempuh dalam waktu 30 menit menggunakan kapal penyeberangan sederhana.

Kapal Penyeberangan ini berbentuk persegi panjang dengan panjang kira-kira 10 meter. Kapal ini mampu menampung puluhan penumpang dan beberapa motor diatasnya.

Secara umum, ada dua jenis kapal penyeberangan, yaitu yang menggunakan besi di alas maupun penyangga kapal, dan kapal kayu berbahan papan yang disambung satu demi satu.

KLIK INI:  Dinamika Perjalanan Bank Sampah di Makassar Selama Pandemi Covid-19

Disamping itu, dalam kondisi tertentu, biasanya ada beberapa kapal nelayan kecil yang juga difungsikan untuk mengangkut penumpang serta bahan belanjaan dari daratan ke pulau.

Memasuki musim penghujan seperti sekarang membuat air sungai kian meninggi. Air sungai juga nampak begitu keruh bewarna kuning kecoklatan. Permukaan sungai dihiasi sampah plastik yang mengalir menuju laut lepas.

Sampah-sampah ini kerap tersangkut di pinggiran dermaga pulau, bertumpuk dan mengotori pulau wisata ini.

Sepanjang perjalanan, mata pengunjung disuguhkan jajaran pohon nipah yang berbaris rapi di tepi sungai. Pohon nipah dikenal sebagai tanaman hutan bakau. Bagi warga sekitar, daun nipah yang telah dikeringkan akan dimanfaatkan sebagai atap tradisional untuk rumah maupun pondokan di tengah sawah.

Wajar saja, ketika berangkat menuju dermaga Kera-kera, saya mendapati beberapa ibu tengah menyusun daun-daun kering kemudian mengikatnya sedemikian erat.

Di sela-sela pohon nipah, ada beberapa tambak ikan milik warga setempat. Potensi tepi sungai begitu dimanfaatkan masyarakat sejak beberapa generasi lalu untuk mengais rejeki.

Terlebih lagi, untuk menangkap ikan, mereka harus keluar menuju laut. Karena air sungai yang keruh menyulitkan nelayan menangkap ikan.

KLIK INI:  Satker LHK Sulsel Gelar Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Makassar

Setelah lebih kurang setengah jam di perjalanan, dermaga Pulau Lakkang siap menyambut pengunjung. Umumnya, ada beberapa dermaga di Pulau yang terbagi menjadi dermaga penumpang dan dermaga nelayan.

Kapal yang kami tumpangi berhenti tepat di dermaga ketiga, tepat di sebelah jajaran huruh keramik bertuliskan selamat datang di ‘Lakkang Island’.

Biaya penyeberangan kapal cukup terjangkau. Pengunjung hanya perlu membayar 3-5 ribu rupiah untuk sekali menyeberangi sungai dan 5-10 ribu untuk biaya membawa motor.

Pulau Wisata Lakkang

Sesampainya di dermaga Lakkang, kami menyusuri jalan setapak yang sedikit becek setelah dilanda hujan sejak beberapa hari lalu. Pejalan kaki yang melewati setapak juga harus berbagi jalan dengan pengendara motor yang dari dan hendak menuju dermaga.

Di sepanjang jalan, yang terlihat hanya tambak-tambak ikan milik warga setempat yang airnya juga mulai meninggi seiring naiknya air sungai dan tingginya debit hujan.

Di ujung jalan ini mengantarkan kami pada beberapa persimpangan lorong-lorong kecil. Dari situ juga, mulai terlihat rumah-rumah sederhana yang penghuninya tengah asik bersantai di halaman rumahnya.

KLIK INI:  Saat Jokowi Menanam Mangrove, Herianto Terkantuk-kantuk di Luppung

Masyarakat Lakkang begitu ramah kepada pengunjung. Nyaris tak ada satu rumahpun yang pengunjungnya tak menawarkan kami untuk singgah beristirahat.

Pulau Lakkang nampaknya cukup luas, hanya saja masih banyak wilayah yang tak ditinggali masyarakatnya. Dari pengamatan citra satelit, 2/3 dari luas wilayah Lakkang merupakan kawasan persawahan milik warga.

Pemukiman hanya terletak di muara sungai, tak jauh dari dermaga. Meski begitu, pemukiman warga cukup padat. Nyaris tak ada tanah kosong di bagian depan pulau.

Bangunan rumah warga sebagian besar yang kami temui merupakan bangunan batubata permanen. Menurut penuturan warga, segala kebutuhah material untuk bahan bangunan didatangkan dari daratan Makassar menggunakan perahu barang.

Sebab itu, biaya membangun rumah di pulau nampaknya akan cukup mahal. Peralatan sehari-hari warga pulau juga tak jauh berbeda dari tingkat konsumsi masyarakat daratan Makassar pada umumnya. Beberapa rumah warga terlihat menggunakan AC dan kulkas di dalam rumahnya.

Mengunjungi Pulau Lakkang tak afdol rasanya jika tak menyempatkan singgah melihat bunker milik jepang yang berada tak jauh dari dermaga. Bunker peninggalan perang dunia kedua ini berada di pinggiran hutan bambu.

Bentuknya cukup sederhana, hanya ada dua lubang yang saling terhubung, dengan tangga kecil menuju kamar bawah tanah. Ukuran bunker seluas kurang lebih 4 meter persegi. Warga mengaku, bunker ini kerap digunakan masyarakat setempat untuk membuat acara bersama warga pulau, ala-ala pesta bawah tanah.

Sialnya, kala kami menyambangi bunker ini, air nampak tengah memadati dasar bunker. Ketika musim hujan tiba, air hujan akan tertampung di dasar bunker, menjadikan bangunan tua inii tak dapat digunakan.

KLIK INI:  Orang Utan, Idola Wisatawan Mancanegara di Taman Nasional Tanjung Puting

Di permukaan tangga, terlihat tumpukan sampah yang ikut tergenang masuk ke dalam bunker. Wajar saja, beberapa meter dari bunker terdapat tempat pembuangan akhir sampah warga sekitar yang berada persis di tengah hutan bambu.

Masih menurut penuturan warga yang tak lain seorang ibu, dulunya bunker ini digunakan sebagai tempat persembunyian tentara Jepang. Dugaan ini diperkuat dengan adanya bunker berbentuk lorong bawah tanah di dekat bunker kamar.

Kondisinya cukup berbeda dengan bunker pertama, bunker ini nampak terawat dengan adanya pagar di sekelilingnya. Konon, bunker lorong ini dijadikan sebagai gudang penyimpanan senjata milik tentara jepang untuk mengantisipasi serangan mendadak dari pihak Sekutu.

Dari bunker, kami berjalan menuju pinggiran pemukiman warga. Di tempat ini, hamparan hijau sawah terbentang sejauh mata memandang. Kala itu, biji beras tanaman padi telah membesar di pucuk daun, sepertinya sebentar lagi akan memasuki musim panen.

Untuk menghindari ancaman burung, warga memilih menggunakan jaring menutupi setiap petak sawah. Beberapa anak kecil terlihat bersenda gurau di pondok kayu pinggir sawah. Beberapa lainnya tengah sibuk mengusir burung yang hendak masuk ke jaring sawah.

Menjelang Ashar, kami bergegas ke pondok kayu yang berada di pinggir jalan besar, sebelah kantor lurah Lakkang untuk menyeduh beberapa bungkus mie instan yang kami beli di perjalanan. Tak lama berselang, hujan turun dengan derasnya, membuat kami harus menunggu redanya hujan untuk bisa kembali ke dermaga Kera-kera.

Ketika itu, 3 anak perempuan menyambangi kami, mengobrol banyak hal tentang nama dan asal mereka yang tak dapat ku bedakan satu dengan lainnya. Mulanya mereka begitu malu menyapa kami, entah mungkin karena belakangan ini agak jarang pengunjung dari luar yang mendatangi pulau.

KLIK INI:  Bantimurung Kembali Dibuka, Ini Syarat untuk Berkunjung!

Seorang diantara mereka menggenggam gawai smartphone yang menjadi bahan mainan mereka. Ketika sedang membuat kopi, anak-anak yang kini tengah duduk di bangku sekolah dasar sedang asyiknya bermain tiktok, berjoget sembari menyanyikan lagu dugem andalan para tiktokers.

Selama pandemi, aktivitas belajar daring telah mendorong anak-anak ini untuk begitu dekat dengan perkembangan teknologi. Mereka terlihat begitu lihai menggunakan gawai, mendengarkan lagu streaming via youtube dan menonton video di instagram. Mereka juga menanyakan ID Tiktok ku, walau menggunakan aplikasi ini sekalipun rasanya tak pernah.

Ketika saya menanyakan impian mereka kelak, hanya seorang diantaranya yang menjawab, ingin jadi polwan katanya. Dua lainnya hanya ketawa kegirangan.

Jam menunjukkan pukul 5 sore ketika hujan telah sedikit reda, kami bergegas kembali menuju dermaga, berharap masih bisa menemui kapal penyeberangan ke dermaga Kera-kera.  Setibanya di dermaga, tak terlihat sedikitpun tanda-tanda kehidupan.

Gerimis kian membasahi tubuh kami yang masih harus ke dermaga sebelah, setelah melihat seorang iibu berdiri di tempat itu. Beruntung, masih ada kapal nelayan yang bersedia mengantar kami menyeberangi sungai Tallo.

Lantunan suara Adzan terdengar ketika kami sampai di dermaga Kera-kera, bersambut percikan air hujan yang tiada hentinya membasahi pakaian. Pengalaman yang menarik walau hanya beberapa jam saja di pulau seberang. Semoga segera bersua kembali, Lakkang.

KLIK INI:  Dimotori YKL, Puluhan Komunitas Aksi Bersih Pantai Tanjung Bayang