Dinamika Perjalanan Bank Sampah di Makassar Selama Pandemi Covid-19

oleh -429 kali dilihat
Dinamika Perjalanan Bank Sampah di Makassar Selama Pandemi Covid-19
AKtivitas di bank sampah Asoka, Jalan Kumala 2 Tamalate Makassar menurun selama pandemi. Sampah disemprot desinfektan terlebih dahulu sebelum dikemas dalam karung - Foto/Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Pandemi covid-19 telah mengubah banyak kebiasaan rutin, termasuk di sektor pengelolaan sampah. Salah satu corong penanganan daur ulang sampah yang selama ini berkontribusi besar dalam pengurangan sampah agar tidak semuanya terbuang ke TPA adalah bank sampah. Nah, bagaimana nasib bank sampah selama pandemi?

Artikel ini akan menuliskan tentang potret bank sampah di Makassar selama pandemi. Seperti diketahui, Kota Makassar merupakan satu kota di Indonesia yang dikenal memiliki geliat tinggi dalam pengembangan bank sampah.

Keberadaan bank sampah di Makassar sudah tersebar hingga ke tingkat RT/RW—komunitas bank sampah tersebut sekaligus menjadi elemen penting dalam upaya mengubah paradigma masyarakat dalam penanganan sampah yang semakin mencemaskan.

Bank sampah merupakan konsep pengumpulan sampah kering dan pemilahan dengan manajemen layaknya perbankan, tapi objek tabungan bukan uang melainkan sampah. Warga yang menabung juga disebut nasabah yang ditandai dengan buku tabungan. Skema bank sampah dilakukan dengan cara menimbang jenis sampah tertentu yang kemudian dihargai dengan uang.

KLIK INI:  Terkini, Intensitas Hujan Makin Tinggi, Makassar Terkepung Banjir
Perkembangan pesat bank sampah

Bank sampah dibangun untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar dapat ‘berkawan’ dengan sampah dan mendapat manfaat ekonomi dari sampah. Selain itu, bank sampah diharapkan mendorong kesadaran warga untuk memilah sampah bahkan mengelolahnya secara mandiri demi mengurangi timbulan sampah di TPA.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, bank sampah telah berkontribusi besar dalam mengurangi sampah hingga 1,7 persen pada 2017. Ini suatu potensi besar dalam penanganan sampah plastik.

Tak heran bila sejauh ini antusias warga untuk mendirikan bank sampah juga terus meningkat sebagai bagian dari tumbuhnya kesadaran mengelola sampah. Pada tahun 2014, bank sampah di Indonesia berjumlah sekira 1.172 unit, setahun kemudian meningkat jumlahnya menjadi 3.075 unit.

Penambahan terus terjadi, pada tahun 2016 menjadi 4.280 unit. Lalu, meningkat lagi menjadi 5.244 di tahun 2017 dan mengalami perkembangan pesat di tahun 2018 yakni menjadi 8.036 unit di seluruh Indonesia. Data terbaru yang terkonfirmasi dari Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), bank sampah secara nasional hingga tahun 2020 sudah mencapai lebih dari 11.000 unit.

KLIK INI:  Kolaborasi Dukung Pengembangan Desa Wisata di Manyampa 

Semarak bank sampah yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan tentu cukup menggembirakan. Peran bank sampah tidak saja dalam hal pengurangan sampah yang berakhir di TPA, tetapi dalam upaya membangun kesadaran warga akan pentingnya menangani sampah secara benar.

Sayangnya, sejak masa pandemi Covid-19, bank sampah juga mengalami penurunan kinerja. Hal ini membuat distribusi sampah secara otomatis akan berakhir di TPA.

Geliat bank sampah di Makassar selama Pandemi

Di Kota Makassar misalnya, dari 800 bank sampah unit (BSU) yang ada (data ASOBSI), hanya ada 150-an yang aktif di masa pandemi. Dari total bank sampah di tersebut, rinciannya adalah 602 adalah BSU, 38 lainnya adalah bank sampah instansi/kantor dan ada 272 lainnya adalah bank sampah sekolah. Total nasabah dari 800 bank sampah tersebut cukup besar yakni lebih kurang 24.080 Kepala Keluarga.

Sebagian besar bank sampah tidak aktif selama pandemi karena alasan keamanan dari penularan virus corona. Sedangkan bank sampah instansi dan sekolah tentu otomatis tidak aktif seiring pembelakuan aturan belajar dari rumah dan skema work from home.

Penurunan aktivitas bank sampah juga disebabkan oleh turunnya minat warga untuk menyetorkan sampahnya ke bank sampah terdekat. Dampak pemberlakuan pembatasan sosial (social distancing) membuat kebanyakan warga tidak memilah sampah untuk disetor ke bank sampah, tetapi lebih memilih diserahkan pada petugas kebersihan.

KLIK INI:  Selamat, SD Negeri Borong Makassar Raih Adiwiyata Nasional 2021

Sebagai contoh, BSU Pelita Bangsa yang terletak di Kelurahan Balla Parang Kecamatan Rappocini, mengakui adanya penurunan nasabah selama pandemi. Ketua BSU Pelita Bangsa mengatakan, di masa normal, setiap minggu ada penimbangan. Namun semenjak pandemi, ia melakukan pembatasan dengan hanya sekali dalam sebulan melakukan penimbangan.

“Kami batasi penimbangan sampah selama pandemi. Nasabah yang menimbang juga tidak serentak datang ke sini, jadi per lima orang antri sesuai dengan protokol kesehatan,” katanya.

Menurut Ketua BSU Pelita Bangsa, Rosmini, mengatakan, selain penurunan nasabah, aktivitas pemilahan sampah di tempatnya juga otomatis berkurang.

“Masyarakat takut turun langsung bersentuhan karena pandemi. Kalau dulu kan orang berkumpul tidak masalah, apalagi di kelurahan Balla Parang sudah ada korban yang meninggal karena Covid-19,” katanya.

Walau begitu, BSU Pelita Bangsa tetap beraktivitas dengan konsisten mengikuti protokol kesehatan. Mereka melayani nasabah dengan APD lengkap seperti kacamata, masker, cuci tangan dan lainnya.

KLIK INI:  4 Fakta Unik di Balik Tragedi Terbakarnya TPA Antang

Selain penurunan nasabah dan aktivitas di bank sampah yang terbatas, harga beberapa jenis sampah selama pandemi juga mengalami penurunan drastis.

“Selama pandemi, kita menjual ke bank sampah pusat. Ada penurunan harga, namun belakangan ini (new normal: red) harga sudah mulai membaik. Sudah ada kenaikan sedikit walau belum normal betul,” katanya.

BSU Pelita bahkan mengaku omset penjualannya turun dratis selama pandemi. Di masa normal, mereka masih dapat penghasilan sekira Rp 3 jutaan sebulan, di masa pandemi hanya sekira Rp 2 juta bahkan pernah anjlok hingga Rp 1 jutaan saja.

Aktivitas bank sampah yang menurun selama pandemi juga diakui oleh Pengelola UPT Bank Sampah Pusat Makassar, Mustafa. Menurutnya, selain banyaknya BSU yang tidak jalan selama pandemi, terjadi pula penurunan dari segi harga jual sampah tertentu.

Data dari Bank Sampah Pusat Makassar menunjukkan, sampah yang masuk menurun dratis. Sebelum pandemi, sampah yang masuk antara 9 hingga 10 ton, di masa pandemi hanya 5 ton saja (Data diambil pada September-Oktober 2020).

Begitupun dengan harga pasaran sejumlah jenis sampah yang anjlok, misalnya  harga kardus yang di masa normal harganya Rp 2000 perkilogram, di masa pandemi turun menjadi Rp 900, kini harganya perlahan naik menjadi Rp 1700 perkilo. Begitu juga dengan plastik yang biasanya Rp 7500, di masa pandemi menjadi Rp 3000.

KLIK INI:  Survey Global Walls, Persepsi Kebahagiaan Berubah di Masa Pandemi

“Hampir semua jenis produk sampah itu bukan turun sedikit, tapi boleh dikatakan mencapai 60 persen dari harga normal. Penurunan harga ini kelihatannya berlaku seluruh Indonesia. Namun, sejak bulan Juli,  sudah ada kenaikan harga dan mulai mendekati angka normal,” katanya.

Walau harga sampah menurun dan aktivitas di bank sampah juga terbatas, Bank Sampah Pusat tetap memberikan semangat pada para pegiat bank sampah.

“Bagi saya, urusan ekonomi adalah persoalan kedua, yang terpenting adalah bagaimana kami tetap menginspirasi para komunitas bank sampah untuk terlibat aktif dalam persoalan sampah. Jadi kalau mereka belum mau menjual sampahnya karena harga turun, minimal mereka melakukan edukasi dan pemilahan sampah di lapangan,” katanya.

Pihak bank sampah pusat optimis peran bank sampah ke depan akan terus membaik lagi. Terlebih, pemerintah melalui KLHK telah menyalurkan bantuan berupa APD yang bisa dipakai di BSU untuk melindungi diri dari penuranan virus selama menjemput sampah.

Bank sampah di era kenormalan baru

Ketua Umum ASOBSI, Saharuddin Ridwan mengatakan, penurunan aktivitas bank sampah selama pandemi adalah hal wajar, namun tren tersebut, katanya, akan segera membaik seiring waktu apalagi memasuki fase kenormalan baru.

KLIK INI:  Seringnya Bencana Terjadi di Indonesia Akibat Perubahan Iklim

“Ya, ada penurunan drastis di sektor bank sampah, sejak bulan Februari seiring pandemi. Hal itu terjadi karena adanya anggapan di masyarakat bahwa sampah bisa jadi sumber penularan virus. Namun, di bulan Agustus, saya melihat aktivitas bank sampah khususnya di Makassar mulai bangkit lagi.” Kata Sahar.

Penurunan nasabah bank sampah selama pandemi, kata Sahar juga disebabkan oleh berkurangnya aktivitas massal di masyarakat misalnya tidak pesta atau acara hajatan. “Selain berkurangnya pesta, sebagian bank sampah unit juga menahan sampahnya karena harga memang lagi turun,” kata Sahar.

Saharuddin berharap kerja-kerja bank sampah tetap eksis meski di masa pandemi. Dalam pantauan ASOBSI, pemilahan sampah di BSU tetap berjalan meski tidak semua bank sampah aktif melakukannya selama musim pandemi.

“Bagi saya, bank sampah harus tetap jalan. Masyarakat juga kita edukasi untuk tetap memilah sampahnya untuk ditimbang di BSU. Ke depan, pemerintah harus memastikan stabilitas harga bisa kembali normal secepatnya,” kata Saharuddin.

Saharuddin menegaskan, ASOBSI terus menjalin komunikasi yang baik dengan semua pegiat bank sampah di daerah. Kesulitan yang dihadapi saat ini, selain akses yang dibatasi juga masalah harga.

“Kami mendorong sinergitas multi pihak antara ASOBSI dengan pemerintah, termasuk dengan industri dan asosiasi-asosiasi terkait  diantaranya asosiasi daur ulang plastik. Jadi, ada tiga hal penting dari bank sampah, pertama aspek lingkungan, kedua pemberdayaan masyarakat, ketiga baru ekonomi. Jadi koordinasi antar stakeholders sangat penting, ” kata Saharuddin.

Saharuddin berharap peran bank sampah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 13 Tahun 2012 tetap diperjuangkan. Dalam Permen tersebut dikatakan bahwa bank sampah adalah gerakan nyata daripada 3R yang diharapkan berkontribusi besar dalam pengurangan sampah.

KLIK INI:  Kenya Melawan Pandemi dengan Gaya Rambut Covid-19

“Kita berharap bank sampah menjadi satu alternatif dalam hal mengurangi sampah yang terbuang ke TPA, meskipun komposisi sampah saat ini sebetulnya 60 sampai 70 persen masih organik, sisanya 30 sampai 40 persen unorganik. Itupun tidak semuanya bisa bernilai ekonomi,” jelas Sahar.

Terkait harga sampah plastik yang tidak stabil, Saharuddin berharap suatu saat ada industri plastik yang berminat berinvestasi di Makassar. Potensi ini bisa berdampak positif,  kata Sahar, karena sejauh ini vendor harus memikirkan biaya operasional yang tinggi, mengingat semua bahan baku harus dikirim ke Jawa.

“Kenapa tidak misalnya kalau ada industri plastik yang mau berinvestasi plastik mungkin bisa di Makassar sebagai pintu gerbang Indonesia Timur. Ini bisa kerjasama dengan Pemerintah Provinsi dalam menyiapkan lahan di KIMA misalnya. Jadi, nanti dari daerah lain kalau mau mengirim tidak usah lagi ke Jawa, cukup di sini saja,” katanya.

Saharuddin juga berpesan agar bank sampah tetap bergerak di koridornya dalam rangka penyelamatan lingkungan. “Bank sampah sebetulnya dari, oleh dan untuk masyarakat. Mari menjadikan bank sampah sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Jadikan bank sampah sebagai media untuk kita mengedukasi anak-anak dan generasi penerus dalam membangun paradigma yang ramah lingkungan,” pesan Sahar.

Tugas kita semua, kata Sahar adalah merawat keberlanjutan dari kerja-kerja bank sampah. “Harapan kita  bank sampah dapat mendukung target pemerintah dalam pengurangan dan penanganan sampah di Indonesia sebagaimana  dengan Perpres tentang pengelolaan sampah rumah tangga,” ucapnya.

Sahar juga berpesan kepada masyarakat agar tetap membudayakan pemilahan sampah dari rumah. “Sampah yang bernilai ekonomis bisa dibawa ke bank sampah. Sedangkan sampah organik bisa dijadikan kompos, sisanya baru dibuang ke TPA,” pungkas Sahar.

*Liputan ini dibuat pada periode September-Oktober 2020 dan telah diterbitkan di Buletin Sinergi Hijau, Edisi Desember 2020.

KLIK INI:  KLHK Gelar Festival Peduli Sampah Nasional Secara Virtual Hingga Desember 2021