Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat  di Tapanuli Utara dan Lutra

oleh -9 kali dilihat
Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat  di Tapanuli Utara dan Lutra

Klikhijau.com – Hari Bumi menjadi momen refleksi untuk menyadari peran penting masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga alam. Sayangnya, sebagai pelindung hutan dan biodiversitas, belum semua mendapat pengakuan dasar atas wilayah adatnya.

Ford Foundation, sebagai lembaga filantropi yang berfokus pada keadilan iklim bagi masyarakat adat, konsisten mendukung Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dalam melakukan proses registrasi untuk memitigasi penyusutan area 82 juta hektar hutan di Indonesia.1

Salah satu implementasi programnya adalah proses registrasi wilayah adat seluas 186 ribu hektar di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

“Sejak tahun 2010 hingga Maret 2024, BRWA telah berhasil meregistrasikan 28,2 juta hektar wilayah adat, dimana 72% diantaranya merupakan ekosistem penting yang harus dijaga yaitu mangrove, karst, areal koridor satwa, dan area kunci biodiversitas. Kerja sama dengan Ford Foundation dan juga beberapa pihak lainnya diharapkan dapat mengakselerasi proses capaian perlindungan hutan teregistrasi, terverifikasi, dan tersertifikasi di Tapanuli Utara dan Luwu Utara,” ujar Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Semakin besar wilayah adat yang teregistrasi dan diakui, maka area biodiversitas dan ekosistem hutan yang terjaga akan semakin luas.

KLIK INI:  Menjaga Kualitas Kopi di Tengah Krisis Iklim

“Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat adat dan komunitas lokal telah menerapkan tata kelola pelestarian dan konservasi alam. Upaya yang berlandaskan pada kearifan lokal ini terbukti efektif dalam praktik pengelolaan sumber daya sekaligus melindungi alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya,“ tambahnya.

Lebih lanjut, Widodo menjelaskan penerapan kearifan lokal pada wilayah adat mencakup pada area tanah, hutan, dan air beserta isinya dilakukan berdasarkan tata kelola yang diatur oleh hukum adat, praktik pengelolaan wilayah perairan, dan larangan penggunaan alat tangkap yang merusak, serta melakukan rotasi tanam dan diversifikasi tanaman pada wilayah perladangan untuk memulihkan unsur hara.

“Peringatan Hari Bumi dapat menjadi momen bagi semua pihak untuk terus mendukung upaya pengakuan masyarakat adat dan komunitas lokal untuk menjaga dan mengelola wilayah adatnya. Dengan demikian, peran mereka sebagai penjaga bumi melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan tradisi dan budaya dapat terus berlangsung,” imbuhnya.

Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation Indonesia memandang peringatan Hari Bumi dapat menjadi tonggak untuk kembali memastikan pentingnya menjaga alam, salah satunya untuk mencegah bencana hidrometeorologi sebagai dampak perubahan iklim.

KLIK INI:  Di Kanada, Masyarakat Adat Papua Desak Komitmen Pemerintah Selamatkan Hutan

“Kerja sama kami dengan BRWA di kedua kabupaten diharapkan dapat melindungi dampak perubahan iklim yang terjadi di wilayah tersebut yang mengakibatkan bencana banjir dan longsor, seperti yang terjadi di Tapanuli Utara pada Desember 2023 dan Luwu Utara menjelang Hari Raya Idulfitri pada April 2024. Kerugian akibat bencana alam yang harus ditanggung oleh masyarakat setempat baik dalam bentuk materiil dan nonmaterial akan sangat besar dibandingkan dengan upaya dalam mendukung peran masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam dengan baik,” tuturnya.

Lebih jauh, Alex menyatakan kedepannya upaya pemberian akses yang memadai bagi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memperoleh hak untuk mengelola wilayah adat perlu terus didukung oleh semua pihak. Melalui pengakuan atas kesetaraan dan keadilan, harapannya program Ford Foundation dan para mitra implementer, termasuk BRWA dapat berkontribusi dalam mitigasi krisis iklim yang kian mendesak.

Kerja Kolaboratif Hasilkan Kebijakan Berkeadilan

Implementasi program BRWA yang didukung Ford Foundation selama enam bulan terakhir juga didukung oleh berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, media, pihak swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam berbagai aksi nyata.

Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mendukung pengakuan wilayah adat, seperti melakukan persiapan dokumen yang dibutuhkan dalam proses verifikasi, mengadakan lokakarya kepada pihak-pihak terkait, dan menyelenggarakan rapat koordinasi antara Ditjen Bangda (Bina Pembangunan Daerah) Kemendagri, Direktorat Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat – Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), dan Kementerian LHK.

Kerja kolaboratif ini terbukti mampu mengatasi berbagai tantangan yang terjadi selama proses administrasi dan registrasi, khususnya di Tapanuli Utara. Heber Tambunan, Kadis Lingkungan Hidup Tapanuli Utara, mengakui bahwa sinergi semua pihak mampu mengatasi tantangan atas keterbatasan waktu, pendanaan, dan terbatasnya kapasitas serta pemenuhan informasi bagi seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Bupati Tapanuli Utara dan seluruh jajaran pemerintah daerah mempunyai perhatian khusus dalam pengakuan yang adil atas wilayah adat yang menjadi tempat hidup dan menggantungkan aktivitas ekonomi masyarakat. Sayangnya, area ini kerap masuk dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, kami terus memperjuangkan hak-hak mereka agar wilayah adat yang sudah dikelola selama turun-temurun tetap berada dalam kedaulatan mereka,” ujar Heber.

KLIK INI:  Madani: Capres Harus Prioritaskan Pemenuhan Energi Berbasis Lokal

“Kepedulian ini kami tuangkan dalam penetapan kebijakan formal daerah berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati Tapanuli Utara tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk 10 Komunitas di Kabupaten Tapanuli Utara. Sementara dalam bentuk pendanaan, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tapanuli Utara telah menganggarkan lebih dari Rp 200 juta dalam rangka keseluruhan proses pemenuhan hak kelompok masyarakat adat di 6 wilayah,” ungkapnya.

Keberhasilan BRWA dalam proses verifikasi hingga tahap penetapan suatu wilayah adat tidak luput dari praktik baik yang dilaksanakan di lapangan. Praktik baik tersebut antara lain berupa adanya kolaborasi yang mencakup unsur kepemimpinan pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam menjalankan regulasi, adanya pengalokasian anggaran pemerintah daerah, serta prosedur di lapangan yang menggunakan pendekatan per kabupaten sehingga menjadikan setiap proses kegiatan berjalan secara paralel.

“Sebagai lembaga yang berperan melakukan registrasi wilayah adat, BRWA yang didukung oleh Ford Foundation mengapresiasi komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara dan Luwu Utara dalam registrasi dan pengakuan wilayah adat. Harapannya, dengan menegaskan hak wilayah adat akan memotivasi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan pengetahuan serta kearifan lokal. Semoga pembelajaran di kedua daerah ini menjadi sebuah praktik baik yang dapat diduplikasi di daerah lainnya, yang disesuaikan dengan keunikan lokal masing-masing wilayah adat,” tutup Widodo.

1 Catatan Refleksi 12 Tahun Working Group ICCAs Indonesia

KLIK INI:  Dinamika Perjalanan Bank Sampah di Makassar Selama Pandemi Covid-19