- Bagaimana Tanaman Mendengarkan Kita? - 21/04/2024
- Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia - 28/12/2023
- Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa - 10/11/2023
Klikhijau.com – Hujan rintik tipis mulai terasa saat memasuki kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai. Jalanan yang dilalui lumayan mulus meski sesekali menanjak membelah pegunungan. Kabut berpendar dari kejauhan jadi pemandangan istimewa.
Suasana seketika berubah saat tiba di Desa Bonto Tengnga menuju ke dusun kecil paling pelosok, Balantieng. Jalan berbatu nan terjal menguji nyali. Cuaca semakin gigil di bawah dua puluh derajat Celcius. Tetapi, panorama alamnya justru semakin menggiurkan.
Dari kejauhan tampaklah sebuah pegunungan lain yang dipisahkan oleh lembah yang curam. “Di sebelah itu, adalah Kahayya—satu desa wisata di kabupaten tetangga yang juga terisolir,” kata Muklis, pendamping lokal desa Bonto Tengnga.
Saat mengamati pemandangan indah sembari berswafoto, tetiba muncullah dua anak muda. Wajahnya sangat mirip, belakangan saya tahu kalau keduanya bersaudara kandung. Namanya Muhammad Nur (28) dan adiknya bernama Sudirman (26).
“Mereka ini juru kunci listrik di sini. Kalau mereka berhalangan, warga dusun Balantieng bisa sengsara,” cerita Mukhlis.
Keduanya adalah operator mesin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Balantieng berkapasitas 45 KW yang menyuplai energi listrik 57 rumah. Ada 40 rumah di dusun Balantieng plus rumah ibadah dan 17 rumah lagi di Desa tetangga, Batu Belerang.
Pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan ini telah berdiri sejak tahun 2016.
Sebelum PLTMH ini dibangun, Dusun Balatieng benar-benar terisolasi. Selama berpuluh tahun, warga kampung tak mengenal listrik. Anak-anak yang lahir dan besar di tahun 1990-an, harus berjalan kaki ke rumah kerabatnya di pusat desa untuk sekadar menonton televisi.
Kesaksian Lode (80), seorang sepuh yang dahulu tinggal di dusun terpencil itu membuka tabir masa lalu. Katanya, karena akses jalan yang buruk dan tak ada listrik selama bertahun-tahun, warga lebih senang hidup berpencar di kebun masing-masing.
“Awalnya, hanya ada beberapa rumah di sini. Dulu orang-orang lebih suka tinggal di kebun, jadi dusun ini gelap gulita di malam hari,” kisah Lode.
Tidak adanya energi listrik juga mempengaruhi taraf pendidikan dan perekonomian warga. Selain bertani dan berdagang ico (tembakau), sebagian warga Dusun Balantieng juga bekerja sebagai tukang kayu. Aktivitas pertukangan warga dilakukan secara tradisional dan serba manual.
Pendidikan anak-anak kampung juga di bawah rata-rata. Umumnya hanya tamat SD dan SMP. Selain karena letaknya yang terisolir, tidak adanya sumber penerangan membuat anak-anak lebih tertarik berkebun, membantu orang tua.
Muhammad Nur dan Sudirman punya kenangan suram perihal ini saat masih kanak-kanak.
“Sebelum ada listrik, kami terbiasa tidur lebih cepat paling lambat jam delapan malam. Untuk mengisi baterei handphone saja, kami harus ke rumah keluarga,” kisah Nur.
Kedua anak muda ini hanya bisa sekolah sampai SMP. Satu-satunya pendidikan terbaik pasca tamat yang pernah diikutinya adalah Diklat Teknis PLTMH bagi operator. Kegiatan ini digelar oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral, pada awal tahun 2018.
Dari pelatihan berharga itulah, kakak beradik itu semakin piawai luar dalam sebagai operator PLTMH Balantieng. Kerasnya kehidupan di pelosok desa terpencil membuatnya bersemangat menjalani aktivitasnya, meski bergaji tidak seberapa.
Mereka iklas menjalani rutinitasnya yang penting kampungnya bisa memiliki energi listrik. Empat tahun terakhir, suara musik mulai bersahutan di pagi hari juga televisi yang sudah bertandang di rumah warga.
Selama PLTMH Balantieng berdiri, belum pernah ada kerusakan yang cukup berarti. Boleh dibilang, semua berjalan baik-baik saja. Inilah yang membedakan antara PLTMH di Balantieng dengan di desa tetangga bahkan di desa lainnya di Kabupaten tetangga.
Semua berkat dukungan warga setempat, terutama kerja keras Sudirman dan Nur yang selalu cekatan dalam menjaga keberadaan mesin PLTMH.
Hampir setiap dua hari sekali, secara bergantian harus mengecek keadaan mesin. Keduanya harus memastikan tidak ada gangguan berarti seperti asupan air, atau sampah pengganggu.
Bila tak ada masalah berarti, kedua anak muda yang masih bujangan itu bisa tidur nyenyak dan menjalani aktivitasnya dengan normal. Seperti warga lainnya di Balantieng, Sudirman dan Nur adalah petani.
Namun, selama ada PLTMH, keduanya punya penghasilan tambahan sebagai pembuat mebel seperti kursi, lemari dan lainnya. Selama ada listrik, pertukangan warga telah menggunakan mesin somel listrik.
Tantangan terberat bagi keduanya adalah tidak ada waktu sedikit pun untuk bisa meninggalkan dusun dalam satu waktu bersamaan.
“Harus ada satu di antara kami yang tinggal. Tidak bisa pergi semua. Takutnya ada masalah, jadi harus ada yang selalu berjaga,” ungkap Nur.
Hari paling sibuk dalam kehidupan Nur dan Sudirman adalah saat ada acara hajatan warga atau saat cuaca kurang bersahabat (hujan deras atau kemarau). Dua bersaudara ini benar-benar harus siaga. Tak perduli hari sudah malam atau hujan deras mengguyur, bila listrik padam, keduanya harus turun tangan.
Mereka harus menyusuri jalan penurunan yang gelap dengan jalan kaki. Kalau listrik sudah menyala barulah mereka kembali ke rumahnya, tentu dengan tenaga ekstra sebab harus melewati jalan menanjak.
“Pokoknya, biar tengah malam kalau lampu mati. Tidak ada alasan! Saya turun mengecek dan memperbaiki. Terlambat sedikit, pasti ada orang yang bangunkan untuk memperbaiki kerusakan,” kisahnya.
Walhasil, semua masih bisa ia tangani dengan baik. Listrik beroperasi selama 24 jam dan dusun kecil itu pun menjelma seperti kota kecil di malam hari.
Pengelolaan mandiri berbasis kekeluargaan
Ada dua hal menarik dari segi keberlanjutan PLTMH di dusun terpencil itu. Pertama, sumber daya alam yakni air yang berkelimpahan. Sungai Balantieng dikenal sebagai sungai yang melegenda dengan pasokan air cukup stabil meski kemarau. Kedua, pihak pengelola yang masih mengandalkan modal sosial (social capital) berbasis kekeluargaan.
Sebelum PLTMH berdiri, Dinas Perindustrian Perdagangan Perindustrian dan ESDM Kabupaten Sinjai telah melakukan kajian potensi wilayah pada tahun 2015. Hasil kajian menunjukkan, potensi listrik pada wilayah yang tidak terjangkau listrik PLN tersebut memenuhi standar kelayakan.
“Masyarakat setempat juga bersedia menghibahkan tanahnya untuk pembangunan PLTMH. Proposal kami diterima oleh Kementerian ESDM dan semua prosesnya dikerjakan oleh pusat. Daerah hanya penerima manfaat,” kata Ir. Idham, Kepala Bidang ESDM, Dinas Perdagangan Perindustrian dan ESDM Kabupaten Sinjai.
Setelah dibangun, pengelolanya diserahkan pada warga setempat. “Kami hanya fasilitasi teknik pengelolannya,” lanjut Idham.
Untuk hal kedua ini paling menarik. PLTMH Balantieng dikelola secara swadaya oleh warga setempat, terdiri dari 5 orang, tiga diantaranya bertindak sebagai operator merangkap tim teknis. Dua orang lagi sebagai penasihat. Semuanya berdomisili di dusun Balantieng.
Menurut Kepala Desa Bonto Tenga, Kaswan Mahmud, pengelolaan PLTMH di desanya diserahkan sepenuhnya pada pengelola tanpa ada campur tangan birokrasi desa.
“Kami serahkan sepenuhnya secara mandiri. Sejauh ini berjalan baik. Warga bisa menikmati pasokan listrik sepuasnya tanpa pernah ada kerusakan serius,” kata Kaswan.
Kaswan Mahmud berpendapat keberlanjutan PLTMH di desanya berjalan baik karena peran pengelola khususnya dua operatornya yang tulus mengabdi.
“Kalau berhitung upah, tentu sangat tidak layak. Tetapi, saya salut karena mereka (operator) benar-benar mengabdi sepenuh hati,” ucapnya.
Sebagai catatan, biaya operasional dan gaji pengelola berasal dari iuran warga hanya sebesar Rp 25.000 sebulan. Jadi, kalau dikalkulasi dengan jumlah pelanggan, hanya terkumpul dana sekitar Rp.1.425.000.
Uang tersebut digunakan untuk perawatan dan gaji operator. Menurut pengakuan Sudirman, ia dan adiknya mendapat upah antara Rp.400 ribu hingga Rp. 500 ribu atau sekitar Rp 250 ribua-an per orang setiap bulan.
Di mata Sudirman dan Nur, upah tersebut memang sangat kecil dan tidak sebanding dengan tanggungjawabnya sebagai operator. Tetapi, keduanya menerima apa adanya tanpa protes.
“Mau bagaimana lagi, yah kita jalani saja. Yang penting listrik bisa tetap menyala, saya ikut senang,” tutur Sudirman.
Bahkan dengan upah sebesar itu, pengelola PLTMH masih bisa menyimpan dana cadangan. “Sampai hari ini tersimpan sekitar Rp 3 juta lebih dana cadangan. Dana ini kami simpan untuk antisipasi adanya kerusakan mendadak,” kata Sudirman.
Besaran iuran yang dipungut ditetapkan berdasarkan kesepakatan warga. Sedangkan biaya pemasangan baru, pihak pengelola masih memakai tarif lama yakni Rp. 250 ribu per rumah.
Kendala di lapangan
Sejauh ini listrik di Dusun Balantieng dan 17 rumah di Desa Batu Belerang memang tanpa kendala berarti. Warga desa bahkan cukup beruntung bisa menikmati listrik sepuasnya dengan hanya membayar iuran Rp. 25.000.
Bila dibandingkan dengan tarif listrik PLN, iuran ini masih sangat murah. Namun fakta di lapangan berbicara lain. Kondisi ekonomi masyarakat di pedalaman membuat iuran bulanan tidak berjalan lancar.
“Kadang-kadang ada yang terlambat bayar. Ada yang tiga atau enam bulan baru bayar,” ungkap Nur yang ditugaskan khusus melakukan pencatatan dan penagihan.
“Kalau sudah menagih dan belum dikasih, yah mau diapa lagi,” curhat Nur.
Ini kendala teknis yang dialami dalam empat tahun terakhir. Dana iuran yang terkumpul seringkali tidak bisa membayar upah operator. Tetapi, mereka tetap bekerja dan berupaya memberikan yang terbaik. Mereka pasrah pada situasi.
Terlebih warga dusun yang jadi pelanggan umumnya adalah keluarganya sendiri. “Jadi kalau sudah ditagih dua-tiga kali, yah nanti ada uangnya baru ia bayar,” kata Nur.
Dari buku catatan penagihan, terlihat jelas, ada beberapa warga yang membayar tagihan listriknya untuk 4 hingga 6 bulan. Situasi ini dimaklumi Nur dan Sudirman, karena ada beberapa warga yang memang baru bisa membayar setelah panen hasil kebun.
Meski begitu, tidak jarang sistem pencatatan mereka jadi berantakan karena penundaaan pembayaran yang terlalu lama. “Ada biasa yang sudah lupa pembayarannya, sehingga harus diputihkan 1 atau 2 bulan karena lupa,” tutur Nur.
Padahal, sudah dibuat aturan khusus yang harus ditaati pelanggan PLTMH pada saat pemasangan jaringan. Aturan ini bahkan ditempel di rumah warga, namun tidak diindahkan.
Pada poin 7 aturan yang disepakati disebutkan bahwa: setiap pelanggan (baik pelanggan masyarakat, kepala desa, kepala dusun, tokoh masyarakat, sekolah, Puskesmas, rumah dinas, masjid, dll) wajib membayar iuran listrik setiap bulannya untuk menjamin kelangsungan hidup PLTMH.
Lalu, dipertegas pada poin 8 bahwa setiap pelanggan wajib menyerahkan iuran listrik kepada bendahara dengan membawa kartu iuran paling lambat tanggal 15 setiap bulannya.
Sanksi tegas bahkan mengatur bagi pelanggan yang terlambat iuran listrik selama 1 sampai 2 bulan akan diberikan teguran lisan. Sedangkan, pelanggan yang terlambat membayar iuran selama 3 bulan berturut-turut, maka akan diberi sanksi tegas yakni pemutusan jaringan.
Pemasangan kembali akan dilakukan dengan membayar biaya administrasi sebesar Rp 1 juta.
Faktanya, sanksi tegas sulit diterapkan. Sampai hari ini pihak pengelola belum pernah menjatuhi sanksi pada pelanggannya.
Ini dilema bagi para pengelola. Mereka merasa tidak sampai hati untuk memutus jaringan bagi warga yang berbula-bulan tidak bayar. Sekali lagi, ini beban moril bagi mereka yang masih berada dalam satu rumpun keluarga.
“Kalau 17 pelanggan di desa sebelah, Alhamdulillah pembayarannya lancar. Barangkali karena mereka takut listriknya dicabut,” kata Nur.
Keberlanjutan PLTMH Balantieng
Jaringan listrik PLN kini sudah mendekati dusun Balantieng. Tim suvervisor adminitrsi PLN Sinjai, Ridho Hidayah, mengatakan, pihaknya memang berupaya memperluas jaringan listrik hingga ke pelosok. Namun, otoritas pemasangan listrik adalah hak pelanggan.
“PLN hanya melayani pelanggan yang bermohon. Jadi, kalau sudah ada PLTMH berjalan, kami tentu tidak berhak mengarahkan pengalihan ke PLN. Terserah pelanggan saja,” katanya.
Apakah warga dusun Balantieng, kelak akan berpindah ke jaringan PLN? Hampir semua warga dengan tegas menyatakan akan tetap memakai listrik PLTMH.
“Walaupun PLN sudah masuk, saya tetap akan pakai listrik PLTMH. Selain iurannya murah, selama ini belum ada masalah. Lancar-lancar saja. Jadi, buat apa berpindah,” kata Santuo, pelanggan PLTMH.
Santuo berharap agar para pelanggan lainnya bisa taat aturan dalam membayar demi mengantisipasi masalah-masalah teknis ke depannya.
Kepala Desa Bonto Tengnga juga memastikan, warganya di dusun Balantieng konsisten menggunakan listrik terbarukan.
“Yang jadi Pekerjaan Rumah sekarang ini adalah bagaimana memperbaiki tata kelolanya. Kami juga sedang memikirkan untuk membuat mekanisme yang lebih baik untuk keberlanjutan PLTMH ini,” kata Kaswan.
Menurut Kaswan, kalau pemerintah desa mengambil alih tata kelola PLTMH ini, maka manajemennya akan berada di bawah Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
“Kalau seperti itu, maka setiap rumah nanti harus dipasang KWH. Jadi tarif pembayaran tentu tidak seragam lagi. Tarifnya akan sesuai dengan beban pemakaian,” kata Kaswan.
Ide ini masih sebatas wacana. Kaswan Mahmud menegaskan, cara ini bisa saja ditempuh demi kepentingan keberlanjutan.
“Kasihan juga anak-anak operator ini. Gajinya sedikit, terlambat pula. Sampai kapan mereka mau bertahan dengan kondisi seperti ini?” ucap Kaswan.
Perihal perbaikan tata kelola ke depan, Sudirman dan Nur sangat sepakat. Keduanya berharap ada perubahan ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal kedisiplinan pembayaran iuran agar PLTMH dapat berkelanjutan.
Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Perdagangan Perindustrian dan ESDM Kabupaten Sinjai, Ir. Idham mengatakan, ke depan pihaknya akan mendorong PLTMH Balantieng agar lebih mandiri lagi.
“Kita akan mendorong ke depannya agar aset tersebut diserahkan kepada desa sebagai aset desa. Sekarang ini kan, statusnya masih aset Pemda. Kalau sudah jadi aset desa, tentu bisa lebih profesional dan mandiri,” jelas Idham.
Desa yang berjarak sekitar 65 kilometer dari pusat kota Kabupaten Sinjai ini kini sedang membangun ikon baru yakni kolam renang di atas gunung. Letaknya tak jauh dari Perkampungan Dusun Balantieng. Bahkan, dari lokasi ini, atap rumah-rumah warga sudah terlihat jelas.
Selain kolam renang, pihak desa juga akan membangun penginapan, rumah baca dan beberapa spot yang instagramable. Ini daya tarik tersendiri di desa ini. Terlebih, Pemerintah Desa berencana akan memanfaatkan listrik PLTMH untuk semua fasilitas yang ada.
“Saya tidak mau memakai jaringan PLN. Saya akan memberdayakan PLTMH Balantieng. Apalagi potensi yang terpakai saat ini baru 15 KW. Jadi sumber dayanya masih sangat besar,” tegas Kaswan Mahmud.
Ini tentu menarik, dalam konteks keberlanjutan PLTMH di dusun kecil itu. Sungai Balantieng terus mengalirkan air dengan potensi yang sangat besar. Warga menjaganya. Dukungan pemerintah desa tentu juga amat dibutuhkan demi keberlanjutannya.