Koalisi Keadilan Iklim: Merdeka Tanpa Keadilan Iklim

oleh -76 kali dilihat
GreenFaith Bangun Kesadaran Komunitas Agama, Beraksi untuk Keadilan Iklim
Ilustrasi aksi anak-anak muda suarakan dampak perubahan iklim - Foto/Unsplash

Klikhijau.com – Koalisi Keadilan Iklim menyorot tegas pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, yang disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 16 Agustus 2023, yang dinilai belum menunjukkan urgensi pemerintah mewujudkan Keadilan Iklim. Padahal dalam pidato tersebut, Presiden menyebutkan, perubahan iklim menimbulkan ancaman serius terhadap pembangunan dan ekonomi dunia termasuk Indonesia.

“Rancangan APBN 2024 hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi dan tahun politik, namun luput mengedepankan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Dinamisator Koalisi Keadilan Iklim.

Lampiran pidato presiden telah memasukan ketahanan lingkungan dan perubahan iklim sebagai misi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Namun, kami mencermati bahwa lingkungan hidup dan perubahan iklim masih dilihat secara sektoral. Pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai semata pertumbuhan. Pemerintah tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim sebagai faktor pengurang pertumbuhan ekonomi. Padahal, kenyataannya, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim cukup besar, serta berdampak pada progres ketahanan dan kesejahteraan Masyarakat,” ujar Torry.

Torry menambahkan perubahan iklim hanya muncul beberapa kata dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan di beberapa bab Lampiran Pidato Presiden sebagai salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian.

KLIK INI:  Paradigma Keberlanjutan di Mata Para Pengusaha Muda ASEAN

“Namun ide-ide besar dalam Lampiran Pidato Presiden belum menjawab persoalan mendasar terkait perwujudan keadilan iklim, salah satunya manfaat bagi kelompok paling rentan di masyarakat, seperti petani dan nelayan, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia, dan kaum miskin perkotaan,” tambah Torry.

Ekonomi hijau

Sementara itu, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan secara umum, pihaknya mengapresiasi arahan presiden soal transformasi ekonomi hijau. Pemanfaatan nilai ekonomi hayati dan investasi hijau memang harus didorong sepenuh tenaga. Namun, ia melihat bahwa fakta di lapangan, niatan tersebut dijalankan secara sebaliknya.

Menurutnya, ekonomi hijau kerap disederhanakan sebagai perdagangan karbon, dengan  penguasaan ekonomi masih berada pada kekuatan elite. Sementara, rakyat yang paling berpotensi terkena dampak malah tetap terpinggirkan.

“Ditambah belum adanya kerangka pengaman yang harus diterapkan untuk memastikan mekanisme ini benar-benar akan menurunkan emisi. Akhirnya, ekonomi hijau hanya menjadi sebuah alat untuk menyejahterakan elite, tapi mengabaikan urusan emisi,” kata Nadia Hadad.

Nadia menambahkan konsep pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau seharusnya dilandaskan pada kesadaran batas ekologis dan ketersediaan sumber daya alam yang tidak kekal.

“Pertumbuhan yang hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) belum tentu menjamin bahwa rakyat sejahtera. Ekonomi hijau harus dibentuk dengan meletakkan daya tampung dan daya dukung alam sebagai dasar. Ekonomi akan tumbuh dengan baik jika berbentuk sirkular dan bukan linear, terdesentralisasi dan bukan desentralisasi, diversifikasi tanaman dan bukan monokultur,” urai Nadia.

“Begitu juga soal transisi energi. Spirit melakukan transisi energi adalah hal yang patut dihargai. Namun, kebijakan yang diambil masih berkutat pada aspek BBN (bahan bakar nabati) yang bahan bakunya didominasi kelapa sawit, yang berisiko mendorong deforestasi. Transisi energi juga semata berfokus pada narasi penjualan kendaraan listrik tanpa memandang sumber tenaga listrik. Persoalan mendasar transisi energi, yakni penutupan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan penghentian penambangan batu bara, masih sangat lambat implementasinya. Padahal, pembukaan lahan untuk BBN maupun penjualan kendaraan listrik dengan tetap mempertahankan PLTU sama sekali tak memecahkan persoalan. Kebijakan ini hanya seperti memindahkan luka dari satu bagian ke bagian lain,” tambah Nadia.

KLIK INI:  Jadi Cover Depan Vogue, Greta Thunberg Kritik 'Greenwashing' Industri Fesyen

Sementara itu, Puspa Dewi, Kepala Divisi Kampanye WALHI mengatakan Pidato presiden membanggakan capaian pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) dan program-program unggulan. Namun pencapaian-pencapaian ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh PSN sejalan dengan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Tidak ada evaluasi bagaimana PSN memiliki peta jalan spesifik tentang penurunan emisi dan bagaimana PSN menaikkan atau menurunkan kapasitas adaptasi wilayah, bahkan beberapa PSN justru menambah ancaman krisis iklim” kata Puspa Dewi.

Menurut Dewi, fakta menunjukkan bahwa aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih bersifat terpisah. Berbagai indikator pembangunan tidak memasukkan indikator penurunan emisi dan kemampuan adaptif.

Aksi mitigasi terutama di sektor energi dan FOLU (forest and other land use) juga belum memiliki skema dan menjamin transisi dan resiliensi berkeadilan. Terbukti dengan terjadinya trade-off bahkan pengorbanan lingkungan dan warga di berbagai tempat demi mencapai tujuan mitigasi, misalnya dalam hilirisasi nikel untuk mendukung elektrifikasi. Kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana ekologis menjadi bagian inheren dari tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saat ini,” kata Dewi.

Dewi Rizki, Direktur Sustainable Governance – Strategic Focus KEMITRAAN menyampaikan, bahwa penanganan dampak perubahan iklim membutuhkan tata kelola yang menjamin terwujudnya Pembangunan yang Berkelanjutan.

“Dalam konteks tersebut, presiden perlu mencanangkan prinsip-prinsip tata kelola penanganan dampak perubahan yang transparan, akuntabel, berkeadilan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, yang selama ini belum tersentuh oleh pembangunan berkelanjutan.”

KLIK INI:  Ternyata Gowa Dikepung Tempat Sampah Siluman

Selain dari tata kelola, Dewi juga menyoroti masalah pendanaan perubahan iklim yang masih sangat jauh dari terpenuhi, mengingat sebagian besar wilayah terdampak adalah daerah-daerah yang tidak banyak menyumbang sumber daya alamnya namun secara masif terimbas dampak perubahan iklim, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Untuk mewujudkan keadilan iklim, kelompok rentan dan terpinggirkan di wilayah-wilayah yang terkena dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas, mengingat mereka tidak memiliki kapasitas untuk menanggulangi permasalahan yang mereka hadapi secara mandiri,” pungkas Dewi Rizki.

Usulan Koalisi

Koalisi Keadilan Iklim melihat situasi saat ini semakin membuka kesenjangan keadilan iklim di Indonesia. Tidak ada kemerdekaan tanpa sebuah keadilan. Untuk itu, Koalisi Keadilan Iklim mendesak agar Pemerintah:

Pertama, merancang dan menerapkan agenda perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasional dengan parameter dan indikator transisi berkeadilan, adaptasi efektif, serta integritas lingkungan dan sosial. Pemerintahan selanjutnya perlu memiliki dasar untuk memperbaiki strategi pembangunan agar sejalan dengan prinsip-prinsip dan perwujudan keadilan iklim.

Kedua, secara serius menerapkan transisi energi yang berkeadilan iklim (just transition) dengan membuat peta jalan yang jelas terhadap pensiun dini PLTU batu bara, peralihan penggunaan minyak and gas dan akselerasi penggunaan energi terbarukan agar terjadi penurunan emisi secara riil dan memastikan tidak adanya warga maupun lingkungan yang dikorbankan dalam upaya penurunan emisi.

Ketiga, memperluas perlindungan hutan alam, gambut, dan mangrove yang belum terlindungi kebijakan dengan memperkuat mekanisme perlindungan dan pengelolaan berbasis masyarakat. Selain itu, penyelesaian tumpang-tindih, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap seluruh bentang hutan alam.

Keempat, memfokuskan diri pada upaya penciptaan mobilitas yang berkelanjutan yang meletakkan transportasi publik yang aman, layak bagi semua kelompok masyarakat, dan berkelanjutan untuk menurunkan emisi dari sektor transportasi, mengurangi polusi udara, dan kemacetan yang menjadi problem utama transportasi di perkotaan.

Kelima, melakukan evaluasi dan transformasi proyek-proyek strategis nasional agar menjadi model pembangunan wilayah berketahanan dan berkeadilan iklim dengan emisi yang rendah serta meningkatkan kemampuan adaptasi, menyelesaikan konflik tanah dan sosial yang mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan warga lokal.

Keenam, menyelesaikan berbagai persoalan tata kelola sumber daya alam dengan memberikan jaminan pada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, termasuk penyelesaian hak atas tanah, pengesahan RUU Masyarakat Adat, dan kasus-kasus perizinan yang menjadi sumber korupsi.

Ketujuh, menerima usulan masyarakat sipil untuk memulai pembahasan RUU Keadilan Iklim melalui partisipasi yang mengakar dan melibatkan berbagai komponen masyarakat khususnya kelompok rentan, perempuan, disabilitas, generasi muda, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, buruh, petani, nelayan dan kelompok lainnya, dan memastikan pelibatan kelompok rentan tersebut berdasarkan ekoregion yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

KLIK INI:  Puang Jama dan Bibit Pohon Durian Abu Bakar Ash-Shiddiq