Koalisi Keadilan Iklim: Transparansi dan Partisipasi Publik Kunci Keadilan Iklim

oleh -141 kali dilihat
Koalisi Keadilan Iklim: Transparansi dan Partisipasi Publik Kunci Keadilan Iklim
Ilustrasi - Foto: Ist

Klikhijau.com – Koalisi Keadilan Iklim yang terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola (KEMITRAAN) mengapresiasi beragam kesepakatan yang dihasilkan dalam dua perhelatan besar Konferensi Tingkat Tinggi G20 dan COP27 Mesir.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Koalisi, khususnya terkait partisipasi publik yang aktif dan bermakna untuk memastikan keadilan iklim dapat terwujud.

Secara keseluruhan, ada empat hal yang menjadi sorotan utama koalisi: implementasi dan perancangan mekanisme di bawah Just Energy Transition Partnership (JETP); rancangan Aliansi Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo (RDK) untuk menyelamatkan hutan hujan tropis; persetujuan dan perancangan mekanisme pendanaan iklim untuk Loss and Damage; serta pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan dan perluasan ruang sipil dalam memastikan terwujudnya upaya bersama global penanganan perubahan iklim yang berkeadilan iklim dan bermakna.

Koalisi menggarisbawahi pentingnya pengakuan dan pemenuhan ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat oleh pemerintah. Mulai dari transparansi proses pembuatan kebijakan, kejelasan sumber pendanaan, sampai pengidentifikasian dampak dari berbagai keputusan di level nasional-daerah bagi masyarakat, khususnya komunitas rentan.

KLIK INI:  Memahami “Eco-Ableism”, Aktivitas Lingkungan yang Tak Ramah Penyandang Disabilitas

“Jangan sampai kebijakan-kebijakan tersebut tetap akan lari ke segelintir masyarakat atau hanya menguntungkan kelompok tertentu,” kata Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono, yang juga Koordinator Koalisi Keadilan Iklim, dalam konferensi pers secara daring, Senin (5/12/2022).

Torry menuturkan, sesuai dengan prinsip keadilan iklim, pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim perlu dirancang dan diimplementasikan dengan mengedepankan upaya untuk memperkecil ketimpangan, mensinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan.

“Semua skema yang digagas harus memastikan bahwa kelompok paling terdampak atau menderita harus mendapat manfaat yang paling besar. Apalagi dari segi kebijakan, baik JETP dan aliansi tiga negara, baru akan disusun turunan dan detail kebijakannya,” jelas Torry.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyambut baik keinginan Aliansi Indonesia, Brasil, dan RDK, untuk mengangkat peran penting negara hutan tropis dalam perhelatan perubahan iklim internasional.

KLIK INI:  Energi Baru Terbarukan di Desa, Paradoks dalam Kepingan Harapan

Namun, Nadia mengingatkan apabila benar terbentuk, maka upaya dan hasil dari Aliansi tersebut harus memberi manfaat nyata dan berkeadilan bagi masyarakat penjaga dan pengelola hutan tropis Indonesia.

Untuk itu, jelas Nadia, perlu ada peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas dalam menerapkan aksi-aksi iklim di sektor kehutanan dan lahan di dalam negeri yang antara lain terkait dengan Indonesia’s Forestry and Other-Land Use (FOLU) Net Sink 2030, serta pengurangan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).

“Pentingnya memastikan transparansi dan akuntabilitas penerapan kebijakan FOLU Net Sink 2030, terutama terkait elemen pencegahan laju kehilangan hutan alam. Agar kebijakan ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan utamanya, Indonesia harus menjaga seluruh bentang hutan alam Indonesia tanpa terkecuali. Di samping itu, perlunya memastikan peran dan kolaborasi multipihak dalam implementasi dan pemantauannya. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal juga harus menjadi yang utama dan diutamakan, karena hampir seluruh strategi FOLU Net Sink 2030 membutuhkan kontribusi mereka. Dengan demikian keadilan iklim akan terpenuhi,” ujar Nadia.

Hal penting lain yang disoroti Koalisi Keadilan Iklim adalah fenomena memilukan terkait maraknya pelanggaran HAM terhadap aktivis lingkungan hidup di dunia, termasuk Indonesia.

KLIK INI:  Inilah Jenis Limbah Medis yang Harus Anda Ketahui

Global Witness menyebut bahwa pada tahun 2020 lalu sebanyak 227 orang di dunia meninggal karena dibunuh demi memperjuangkan lingkungan hidup, baik hutan, pesisir, maupun pulau-pulau kecil.

Catatan WALHI sebanyak 53 aktivis lingkungan yang dikriminalisasi di Indonesia pada tahun 2021, 10 diantaranya karena menolak Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.

“Fakta ini sangat memalukan. Di tengah buruknya dampak krisis iklim yang semakin parah, masyarakat yang menjaga alam dari kehancuran justru menghadapi ancaman. Tidak ada keadilan iklim, tanpa perlindungan Hak Asasi Manusia,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin.

Loss and Damage & JETP Mesti Dicermati

Dua skema bantuan dana terkait mitigasi perubahan iklim yang disepakati di KTT G20 dan COP27, JETP dan Loss and Damage, menjadi sorotan belakangan ini.

KLIK INI:  Seekor Kucing Hutan Terpantau Berkeliaran di Kawasan Rumah Hijau Denassa

Pada dasarnya, kedua skema tersebut bertujuan membantu pendanaan negara berkembang dalam transisi energi dan mengatasi kerusakan dan kerugian akibat dampak perubahan iklim yang tidak terelakkan.

Parid, yang menghadiri COP27 di Sharm el Sheikh, Mesir, menyatakan bahwa Indonesia harus mendorong dan terlibat penuh dalam pembahasan mekanisme penyaluran dana Loss and Damage dari negara-negara yang “berdosa secara ekologis”, khususnya negara yang pernah masuk sebagai Annex 1 dari Protokol Kyoto, sebagai prioritas dalam COP28 di Uni Emirat Arab tahun depan.

Terkait hal tersebut, Parid mengingatkan penting untuk melihat dinamika politik global negara-negara Utara ke negara-negara Selatan.

“Perlu dicermati risiko negara-negara Utara untuk bermain politik dalam menunda pelaksanaan pendanaan Loss and Damage ini di COP28 nanti. Pendanaan iklim dibawah Copenhagen Accord sebesar 100 miliar dolar AS yang hingga saat ini belum tercapai, harus dijadikan pengingat,” ujarnya.

KLIK INI:  Pramuka dan Sampah Plastik

JETP adalah proyek transisi energi hasil kesepakatan antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang. Dalam tiga hingga lima tahun mendatang, Indonesia akan mendapat dana 20 miliar dolar AS untuk pemanfaatan energi terbarukan.

“Siapa penerima manfaatnya, apakah secara jelas menargetkan mereka yang masih sulit akses ke energi, termasuk ketenagalistrikan di daerah pedesaan dan terpencil, dan apakah menyasar solusi palsu atau semu,” kata Climate Finance Programme-Manager Kemitraan Abimanyu S. Aji Darsoyo.

JETP, ujar Abimanyu, harus benar-benar merefleksikan transisi energi berkeadilan, inklusif, dan menjalankan model bisnis yang mengutamakan aspek sosial-ekonomi masyarakat.

Termasuk di dalamnya mengupayakan sumber energi yang sifatnya lokal, terbarukan, serta mudah di akses oleh kelompok masyarakat disekitarnya, terutama di area area yang belum dapat terjangkau sumber listrik on-grid milik PLN.

KLIK INI:  Akhir Kisah Grandong, Pemakan Kucing Hidup-Hidup yang Menyebalkan

Oleh karena itu, lanjutnya, butuh dialog sosial, partisipasi aktif dan bermakna bagi masyarakat, termasuk pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam membangun mekanisme penyaluran pendanaan yang tepat sasaran dan di bangun secara bottom-up.

Secara khusus, Koalisi juga mencatat bahwa isu perluasan ruang kebebasan dan partisipasi masyarakat sipil juga tidak masuk dalam deklarasi bersama para pemimpin G20.

Pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal juga luput disepakati dalam deklarasi tersebut, meskipun sempat tercantum dalam Chair’s Summary para menteri energi dan iklim G20.

“Krisis iklim, tidak bisa diatasi hanya oleh keputusan-keputusan sepihak, IPCC sudah menjelaskan pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam mengatasi krisis iklim. Kegagalan membangun tata kelola lingkungan hidup secara terbuka dan partisipatif berpotensi pada gagalnya penyelamatan manusia dan planet bumi,” Torry menegaskan.

Sebagai contoh, suara masyarakat lokal dan masyarakat adat sangat penting diikutsertakan dalam berbagai produk kebijakan nasional, seperti pembentukan undang-undang, penyusunan rencana hingga program pembangunan.

Pasalnya, mereka adalah garda terdepan dalam menjaga hutan dan lingkungan, serta yang terdepan pula dalam hal merasakan dampak krisis iklim.

KLIK INI:  Mencemaskan, Skenario Kepunahan Manusia Sedang Berlangsung