Ecobrick, Solusi Atau Halusinasi Menghilangkan Sampah?

oleh -2,252 kali dilihat
Karya kreasi ecobrick yang diinisiasi FKH Makassar. Foto: Ahmad Yusran
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Ecobrick pertama kali diperkenalkan oleh Russel Maier, seniman asal Kanada setelah dia menyelesaikan mengenai proyek ecobrick-nya di Indonesia. Ide itu didapat ketika Maier mencari cara bagaimana mengatasi plastik-plastik bekas pakai yang banyak di lingkungan. Hingga pada suatu hari ketika dia berada di lembah Sagada, Filipina, gagasan itupun muncul.

Maier sadar jika plastik memiliki sifat yang anti air, awet, tak mudah dihancurkam, hingga yang tak banyak diketahui orang bisa menahan peluru. Dengan melihat sifat-sifat dasar plastik ini, mengapa tidak jika plastik dimampatkan menjadi sesuatu yang lebih praktis. Lahirlah ecobrick.

Cara membuatnya sangat mudah. Hanya dibutuhkan botol bekas, kumpulan plastik bekas pakai, gunting, dan batang kayu. Potonglah plastik-plastik bekas pakai menjadi potongan-potongan kecil, masukan ke dalam botol, dan mampatkan dengan tusuk kayu sampai benar-benar padat. Jika botol terisi penuh, satu buah ecobrick telah jadi.

Kunci membuat kreasi ini adalah soal kepadatan. Semakin padat akan semakin baik, tapi jika kurang padat botol bisa meliuk dan patah. Model bentuknya pun dapat dimodifikasi dari kebun, lego, serta perabot-perabot lainnya.

KLIK INI:  Bagaimana Membuat Suara Alam Terdengar dalam Pengadilan Kebijakan?

Ecobrick dipercaya memiliki banyak manfaat, khususnya dalam mengatasi sampah. Konon satu botol ecobrick bisa berisi hingga 2,5 kg plastik yang cukup untuk mengotori satu lapangan sepak bola. Ide ecobrick juga telah diadopsi oleh berbagai komunitas peduli lingkungan untuk menjaga nasib bumi, mengurangi risiko bencana, konservasi, hingga pemanfaatannya secara ekonomi.

Pelatihan-pelatihannya pun banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas dalam rangka meningkatkan nilai lebih plastik bekas pakai melalui ecobrick, yang dipercaya menjadi salah satu pengolahan plastik menjadi produk yang ramah lingkungan.

Ecobrick dapat digunakan pula dalam keseharian seperti pembuatan furniture, sekat, dinding, dan yang pernah saya lihat adalah gapura. Sebagaimana namanya, brick ini memang berarti bata-bata yang biasa digunakan dalam bangunan. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang aplikatif bagi banyak orang.

Isolasi Sampah?

Popularitas ecobrick sebagai “isolator sampah” yang trennya juga telah mengglobal dan diadopsi oleh berbagai komunitas pecinta lingkungan memang menyisakan pertanyaan. Salah satunya, apakah memang benar ecobrick ini manjadi solusi sampah atau jangan-jangan ecobrick sekadar halusinasi mengatasi sampah?

KLIK INI:  Mengapa Generasi Muda Lebih Peduli Lingkungan dan Isu Keberlanjutan?

Suatu hari, ketika Maier bersama istrinya berkunjung ke Kampung Ecobrick yang berada di Kelurahan Kebonmanis bersama istrinya Ani Himawati, dia menekankan jika bahan yang digunakan untuk pembuatannya adalah plastik bekas pakai, tidak “sampah plastik”.

Plastik bekas pakai dan sampah plastik tentu berbeda. Plastik bekas pakai bisa dimanfaatkan kembali, sedangkan sampah merupakan hasil akhir yang tak bisa dimanfaatkan dan tak bisa didaur ulang. Dia juga memberi edukasi untuk tidak menggunakan diksi “sampah” yang berdampak pada perilaku masyarakat dalam memperlakukan plastik yang telah dipakai.

Bagi Maier, melakukan daur ulang terhadap plastik bekas pakai memang bukan solusi terhadap masalah-masalah plastik. Sebab, daur ulang plastik pada akhirnya mengirimkan plastik pada proses satu arah ke biosfer pula.

Di sisi lain memang ecobrick ini bisa menjadi cara instan dalam memanfaatkan sampah. Namun, sebenarnya tidak mengurangi sampah, hanya sekadar menunda sampah. Plastik bekas pakai tersebut tidak hilang atau kurang, hanya berubah bentuk.

Ecobrick dalam terma yang berbeda sebenarnya fungsinya sama dengan pot tanaman hias yang terbuat dari plastik, lampu hias plastik, wadah serbaguna dari plastik, hingga tas sampah portable. Untuk benar-benar mengurangi plastik memang dibutuhkan waktu yang lama dan proses yang tak mudah.

Teknologi terbaru pun belum ada yang benar-benar bisa dikatakan berhasil menjawab masalah ini. Masih dibutuhkan terobosan-terobosan. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik seminimal mungkin dalam kehidupan sehari-hari.

KLIK INI:  Kurban Asyik, Tanpa Kantong Plastik