Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkelanjutan dengan Perspektif Kebudayaan

oleh -255 kali dilihat
Perihal Permen LHK tentang Food Estate, WALHI: Membuka Kran Deforestasi Akut!
Hamparan sawah/Foto-IK

“Semoga semua yang ditanam, bendungan, kolam-kolam digunakan untuk kebaikan semua makhluk sebagai jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan”

Klikhijau.com – Kalimat tersebut adalah risalah prasasti talang tuwo pada abad ke-7, tepatnya tahun 684 pada masa kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Raja Sriwijaya) memerintahkan untuk membuat Taman Srikerta, salah satunya dengan pesan demikian.

Saya jadi teringat dengan Arne Naess, seorang filsuf lingkungan hidup dari Norwegia pada tahun 1973 yang menyampaikan sebuah kritik, bahwa akar masalah kerusakan lingkungan hidup adalah ketika kita berpikir lingkungan adalah obyek untuk dieksploitasi. Naess mengkritik antroposentrisme, yang menempatkan manusia adalah segala-galanya.

Naess berargumen bahwa manusia dan lingkungan harus dihargai sama tingginya, dan menempatkan seluruh makhluk hidup secara setara. Pandangan Naess ini kemudian menjadi salah satu mazhab dalam diskursus lingkungan hidup yang disebut “deep ecology”.

Jika kita perhatikan risalah Talang Tuwo tersebut yang menyatakan bahwa segalanya untuk kebaikan semua makhluk, pandangan tersebut sama halnya dengan deep ecology yang baru dikemukakan oleh Arne Naess tahun 1973.

KLIK INI:  Viral, Foto Pembungkus Indomie Bertuliskan 55 Tahun Indonesia yang Mencemaskan Netizen

Nilai-nilai lama risalah kerajaan Sriwijaya merupakan falsafah yang agung, keluhuran budi yang mengekspresikan hubungan manusia dengan alam dalam tatanan kehidupan masyarakat.

“Jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan”. Iya, segala hal yang ditanam dan dibangun bukan untuk mendapat kekayaan melimpah secara finansial, namun untuk meraih kebahagiaan.

Dari refleksi ini, kita bisa menyimpulkan, sesungguhnya kita kaya akan nilai-nilai dan pemikiran kebudayaan yang agung pada masa lampau. Masyarakat Sumatera Selatan, misalnya. Sebenarnya mereka telah memiliki rujukan, yang tidak perlu dicari kemana-mana, semua telah ada dalam sejarah peradaban di Sumatera Selatan.

Tatanan kebudayaan Sumsel dengan gamblang memberikan panduan bagaimana hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam.

Bagaimana dengan posisi kita sekarang? Sejauh mana modernitas masyarakat mampu mengelola lingkungan hidup untuk kebaikan semua makhluk hidup demi kebahagiaan?

Atas nama pembangunan kita telah lama terjebak dalam teknokrasi perencanaan pembangunan sektoral, di mana sumberdaya alam dipecah-pecah dalam fungsi-fungsi sektor seperti kehutanan, perkebunan, pertanian dan sebagainya yang seperti tidak terkait satu sama lain.

KLIK INI:  Manusia Hanya Punya Dua Pilihan Terhadap Lingkungan, Menjaga atau Merusaknya, Pilih Mana?

Eksploitasi sumberdaya alam pada satu komponen akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam lain. Aliran sumberdaya alam, hubungan antara komponen dalam sistem ekologi adalah timbal balik, dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Pengelolaan sumberdaya alam yang terpecah-pecah dalam sektor dan logika masing-masing akan menghilangkan harmoni dalam keutuhan sebuah bentang alam.

Maka dari itu, pendekatan lanskap bisa dikembangkan sebagai manifestasi nilai-nilai luhur untuk mengelola sumber daya alam.

Tak hanya di Talang Tuwo, Prinsip tersebut bisa dilacak di Lombok ada Awig-Awig, di Jawa ada Gugur Gunung dan Memayu Hayuning Bawana, dan Bali ada Tri Hitta Karana.

Konsep ini pada prinsipnya adalah pengelolaan bentang alam secara terpadu, dengan melibatkan seluruh pihak terkait terutama masyarakat lokal untuk kebaikan semua makhluk hidup menuju kebahagiaan bersama.

Menurut prinsip tersebut, berbagai bencana lingkungan adalah sebuah akibat dari pola pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak selaras dengan nilai-nilai leluhur. Konsep pembangunan yang tamak tidak dikenal oleh peradaban dengan pendekatan lanskap ini.

Maka dari itu, kita perlu bersama-sama menghembuskan napas kebudayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai pelestarian alam secara terpadu dan utuh, tidak terpecah-pecah, namun dalam satu kesatuan prinsip pengelolaan yang menghargai eksistensi semua makhluk dan menuntun diri menuju jalan kebahagian bersama.

KLIK INI:  Ini Jawabannya Kenapa Lingkungan Harus Tetap Sehat dan Lestari