Menyatu Bumi

oleh -78 kali dilihat
Ilustrasi Bumi
Ilustrasi Bumi/foto-javlec.org
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Kabut mengepung. Sore hampir pamit. Gerimis tiba dengan lembut. Di atas Binara Cinta Kaisah Ayatulauni, ia menatap jauh. Hanya saja tatapan itu tak pergi jauh. Kabut mengaburkannya.

Ia melipat tangan di depan dada. Mencoba melerai gigil. Sia-sia saja. Gigil terus menerabas ke dalam tubuh. Menggeledeh semua isinya.

Kabut semakin menebal, burung sriti yang beterbangan nyaris tak terlihat. Jika kabut menghilang, ia leluasa menikmati kepak sayap burung kembaran walet itu. Sebabia berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl)

Gigil semakin menerkam-nerkam. Diseruputnya kopi hitam tanpa gula. Kopi yang telah ditinggal oleh hangatnya. Kini telah bersalin wajah jadi es kopi secara natural. Tanpa es dan lemari pendingin.

KLIK INI:  Pintu dari Babatan Hutan

Pagi tadi, cerah memberi harapan. Jika hujan akan lupa berkunjung. Namun, saat siang cerah dirampas mendung lalu gerimis tiba mengundang gigil.

Sialnya, ia keluar rumah sebelum mendung tiba.  Melajukan motor revo biru dengan pelan ke Tandabaca, di Dusun Sapayya, Kindang. Empat buah ban mobil bekas menggantung mesra di jok belakang motor revo yang telah menunggak pajak selama lima tahun itu.

Sesampai di Tandabaca, mendung pun tiba, untung hanya mengirim gerimis, bukan hujan lebat. Ia turunkan perlahan ban mobil bekas itu dari sadel motornya.

“Untuk apa ban bekas itu?” Tanya Radding yang baru pulang dari kebunnya. Pertanyaan itu tak terhitung berapa kali ia dapatkan.

“Sesuatu,” jawabnya.

Ban mobil bekas itu akan ia gunakan sebagai jalan—menjadi tangga untuk untuk akses jalan ke Tandaca yang berada di atas bukit. Ia suka memanfaatkan barang-barang bekas yang telah berubah sampah di mata banyak orang.

Memanfaatkan barang-barang bekas adalah upayanya menjaga Bumi, melestarikan lingkungan, merawat kehidupan.

Setelah memasang empat ban bekas itu, ia menyeduh kopi, lalu naik ke Binara Cinta Kaisah Ayatulauni. Ia ingin mendesain pamflet lomba untuk hari Sabtu nanti, saat PasaRasa digelar.

KLIK INI:  Kecamuk Cuaca
Ingatan tiba memanja

SemalamKantuk berkali-kali jatuh ke matanya. Dan ia melawan kantuk itu. Ingatan membawanya jauh ke masa kecilnya yang sederhana, tapi disesaki keceriaan. Saking larutnya dalam ingatan masa kecilnya itu, ia lantas mengabaikan chatmu, Demita.

Dulu, semasa kecilnya, ban mobil bekas adalah benda yang mewah. Tak semua orang memiliknya, hanya yang punya mobil saja. Itu pun tak hanya satu orang, Haji Lamaring. Lelaki pertama yang bergelar haji di kampungnya, juga lelaki pertama yang memiliki mobil.

Sekarang, siapa pun bisa memiliki ban mobil bekas. Termasuk dirinya yang tak punya kendaraan roda empat itu.

Dulu, jangankan ban mobil, ban motor bekas saja adalah barang langka. Padahal ban motor bekas adalah media permainan yang mengasyikkan. Ban bekas itu akan digelindingkan, dipukul dengan ranting kayu dari belakang sambil berlari.

Bagi anak yang tak punya ban motor bekas, mereka akan menggunakan selang air atau bambu yang diraut lalu ditautkan ujungnya hingga membundar.

Selang air dan mambu yang telah membundar itu akan digelinding menyerupai ban motor bekas. Di kampungnya yang terpencil, permainan ini dinamai padende.

Dan Sabtu nanti, saat PasaRasa ia dan rekan-rekannya akan menggelar permainan tradisonal padende itu. Permainan yang menyatu dengan alam, dengan media yang ramah lingkungan.

KLIK INI:  Sebagai Hujan di Tubuhmu
Berita yang tiba dengan cepat

Diseruputnya kopi hitam tanpa gula itu sekali lagi. Rasa dingin menyergap tenggorokannya. Ia ingin bergegas pulang, kabut telah menipis, tapi gerimis masih melembut. Ia suka gerimis, jadi tak masalah menerabasnya.

Ketika hendak pulang, dua anak kecil datang. Mereka membawa ban motor bekas.

“Jadi lomba padende,” tanya mereka.

“Jadi, sudah siapkan berlomba?

“Siap,” Jawab mereka berdoa.

Berita tentang lomba padende rupanya telah menyebar. Lomba permainan tradisional memang rutin dilakukan di Tandabaca untuk memeriahkan PasaRasa setiap hari Sabtu siang.

Sore telah pamit, dan ia memutuskan pulang. Tapi, dua anak kecil itu terlihat ceria mengejar ban motor bekas yang ia gelindingkan dengan ranting kayu. Ia tetiba melihat masa kecilnya pada dua anak.

Ia berjalan perlahan meninggalkan Tandabaca, hatinya melangitkan doa, semoga Sabtu nanti hujan tak menggebrak.

Diliriknya dua anak kecil itu. Woa, ini masih Kamis, tapi mereka telah berlatih.

Ban motor bekas itu rasanya pula menggelinding di kepalanya, mengantarkan kembali menjadi anak kecil di usianya yang ke 37 tahun 19 hari.

KLIK INI:  Wujud Cinta pada Bumi dengan 6 Aksi Sederhana Ini!
Ide liar Demita

Kopi hitam tanpa gula itu tersaji di atas meja. Pagi masih sangat belia. Sepiring pisang goreng dari jenis pisang emas masih menyisa hangat.

Sejak semalam hujan tiba menggebrak. Air kali depan rumah berubah jadi kopi susu. Kopi kesukaan orang-orang kota.

Pagi ini ia akan ke Tandabaca, membenahi jalan. Tapi, hujan sepertinya akan membuat agenda itu tersendat.

PasaRasa akan digelar besok. Kemarin ia telah membawa empat ban mobil bekas. Ia bayangkan tangga dari ban mobil bekas itu, yang ia kumpulkan dengan setengah hidup akan jadi tempat selfie, ketika telah diolesi cat warna warni.

Jika hujan tak mereda, semua agenda akan kacau balau. Ia bayangkan anak-anak yan telah berlatih menggelindingkan ban dengan ceria. Pasti akan ditetak kecewa ketika lomba tak jadi.

Ia menyeruput kopinya. Tatapannya mengarah ke luar, menatap pohon cengkeh yang telah empat tahun alpa berbuah.

Karena alpa berbuah itulah, banyak yang beralih ke perkebunan hortikultura. Menyandarkan asap dapur pada buah cengkeh adalah perjudian yang maha berani.

Melihat itu, ia kemudian berinisiasi membuka pasar setiap hari Sabtu Sore di Tandabaca, sebuah tempat di atas bukit yang dipaluti persawahan. Pemandangannya eksotis.

KLIK INI:  Mata Sulida

Di PasaRasa itu pula ia ingin melelehkan semua dahaganya akan permainan masa kecilnya. Didatanya semua permainan masa kecil yang tumbuh di ingatannya, ingin dilestarikannya dengan cara suka rela.

Ia rela menjadi sponsor tunggal untuk semua jenis perlombaan. Hanya saja, nasib baik selalu saja berpihak pada kebaikan. Semesta selalu turut merestui, maka ia selalu bertemu dengan orang baik yang selalu mendukungnya, termasuk dalam hal hadiah. Kamu salah satunya, Demita.

Lomba padende adalah salah satu yang sedang ingin ia lestarikan. Sebelumnya itu telah digelar lomba dongga ‘engrang’. Permainan tradisional ini telah digolongkan sebagai olahraga tardisional yang kini semakin langka.

Permainan ini sederhana saja, bahannya pun sederhana dan mudah ditemukan. Dan tentu saja ramah lingkungan, jadi meski dibuang ketika rusak tidak akan mencemari lingkungan, justru akan jadi pupuk organik untuk menyuburkan tanaman.

Dongga’ terbuat dari dua batang bambu seukuran lengan orang dewasa. Tingginya bisa disesuaikan dengan orang yang akan menggunakannya.

Bambu akan dilubangi pada bagian atas ruasnya, lalu dipasangi kayu yang akan jadi pijakan. Orang yang menggunakannya cukup naik ke pijakan itu, berdiri lalu berjalan dengan bambu tersebut. Jika tidak terlatih akan sulit melakukannya.

Menggelar permainan tradisional adalah hiburan penuh nostalgia bagi para tetua kampungnya yang terpencil. Mereka akan berbondong-bondong datang, menonton sambil berbelanja dengan bahagia.

KLIK INI:  Perjalanan Menuju Laut
Ingatan penuh seluruh

Ia menatap ke luar lewat jendela. Ditatapinya hujan yang perlahan berubah jadi gerimis itu. Jika telah berhenti total, ia akan bergegas ke Tandabaca, membenahi jalan yang banyak dikeluhkan pengunjung karena dianggap cukup menanjak.

Ia tetiba saja mengingatmu penuh seluruh, Demita. Ia suka idemu yang ingin membuka perkebunan di Tandabaca, pada lahan yang masih kosong itu. Perkebunan yang berpihak pada lingkungan, perkebunan berkelanjutan.

Ia mempercayai dan mendukung idemu itu, Demita—demi menyiapkan pangan sehat dan memerangi perubahan iklim yang semakin liat saja ancamannya.

Diseruputnya lagi kopinya yang telah dingin. Ngopi adalah ritus paginya, ia pernah baca, jika minum kopi adalah sebuah upaya melestarikan lingkungan. Karenanya pula, ia ingin membuka warung kopi di Tandabaca yang bisa dibayar dengan sampah.

Ide itu kian meliar, bagaimana jika idenya dan idemu menyatu, Demita—sebuah warung kopi di tengah perkebunan berkelanjutan? Itu akan menyatukan Bumi

Ia kembali menatap keluar jendela, hujan tak lagi menderas, kini telah berganti gerimis. Diseruputnya kopinya sekali lagi.

Juni 2023

KLIK INI:  Dadamu Deru Ombak