Pohon-pohon yang Ditumbuhi Gerimis

oleh -280 kali dilihat
Pamata
Lukisan: Inggrita Putri Kusuma Wardani dengan judul Kemana Melaju Air Mata?
Irhyl R Makkatutu

Seorang lelaki menghampiriku. Ia mengenakan baju kaos oblong partai politik. Berwarna biru berpadu putih. Di tangannya ada kapak dengan gagang berwarna hijau.

Kemarin siang ia juga mengunjungiku. Menatapiku dengan penuh kagum. Aku dielus penuh sayang. Rasanya mataku menggerimis karena terharu.

Namun, setelah kuperhatikan tatapannya. Aku bergetar, pohon-pohon yang ada di sekitarku terkejut.

“Kamu kenapa Sureng?” Aku mendengar pohon mangga bertanya.

KLIK INI:  6 Puisi Presiden Malioboro “Umbu Landu Paranggi” yang Bernapas Alam

Pohon mangga itu, memang sangat perhatian padaku. Dulu ketika pohon bissuhu yang telah meranggaskan daunnya, karena kulit batangnya dihilangkan dengan sengaja oleh Patabbang. Setiap ada rantingnya yang patah, pohon mangga itulah yang melindungiku.

Dan ketika pohon bissuhu itu di tebang oleh Patabbang, pohon mangga itu kembali setia melindungiku.

Perlindungannya itu, menggetarkan hatiku. Membuatku nyaris jatuh cinta. Jika saja tak segera kusadari kepantasan diriku bersanding dengannya.

“Kamu kenapa, Sureng, kenapa kurasakan matamu menggerimis?” Pohon mangga itu kembali menegaskan pertanyaannya.

Aku memilih diam saja. Tak menanggapi pertanyaan itu. Aku merasakan firasat buruk dari tatapan lelaki itu, yang di pinggangnya terselip parang panjang.

Merampas dari naungan ibu

Aku telah mengenal watak manusia dengan baik. Orang tuaku sering bercerita tentang mereka. Cerita itu turun temurun dari leluhur kami.

Katanya, jangan mudah percaya oleh kekaguman manusia atas dirimu. Kekagumannya itu dibaluti keinginan yang kuat, yang akan menyakitimu.

KLIK INI:  Hujan Hijau

“Bukankah manusia yang memelihara kita, Ibu?” Tanyaku dengan lugu.

“Iya, benar, merekalah yang menumbuhkembangkan dan merawat kita, tapi mereka akan menuntut balas jasa yang tak bisa kau bayangkan. Kejam,” kata ibuku.

Aku tak menghiraukan apa yang dikatakan Ibu. Meski ia telah melist bukti-bukti kekejaman manusia terhadap kami.

“Nenek dari nenekku, begitu pun kakek dari kakekku merasakan bagaimana rasanya tubuh ditetak, bagaimana rasanya jatuh menghantam tanah, bagaimana rasanya dipotong-potong kecil, anggota tubuh dimutilasi, dipisahkan satu demi satu. Tak dibiarkan utuh,” kata ibuku dengan mata yang menggerimis.

“Lalu apa yang mesti dilakukan, Bu?” Tanyaku.

“Tetaplah menebar kebaikan, menyegarkan bumi, membiar burung-burung menghinggapimu, menghalau angin, memerangkap polusi, menahan tanah. Dan berdoalah, kelak ketika yang namanya manusia menetak-netak tubuhmu, bagian-bagian itu bisa bermanfaat untuk banyak manusia dan alam ini.” Pesan itu, aku ingat adalah pesan terakhir Ibu.

Karena tiga jam kemudian, Patabbang datang, mencabutku dari naungan Ibu. Aku dibawah ke tempat baru, di sandingkan dengan pohon mangga yang usianya lima atau enam tahun di atasku.

Ketika pertama melihatnya, aku bergetar takut. Takut akan diterkam. Namun, ia kemudian melindungiku dari puparagam bahaya.

“Kenapa kamu terlihat sedih, Sureng?” Tanyanya lagi.  Aku hanya menggeleng. Meneteskan air mataku. Pohon-pohon kopi yang merasakan tetesannya mendongak.

“Kenapa menangis Sureng?” Tanya mereka.

Aku memilih diam saja.  Sebab jika kuutarakan firasatku yang buruk. Mereka pasti akan terguncang.

“Apa karena anak Patabbang?” Tanya pohon langsat yang berdiri di sebelah kiriku, jaraknya sekitar 3 meter. Aku lihat pohon pisang yang berdiri tak jauh dari pohon langsat itu mengarah ke arahku.

Aku hanya diam. Diam adalah cara terbaik agar kecemasan tak memangsa mereka.

KLIK INI:  Lelaki Penjaga Kebun

Aku ingat, ketika pohon bissuhu itu akan ditebang oleh Patabbang. Kami tak bisa tidur nyenyak.

Bahkan beburung kami larang datang bertengger di tubuh kami. Sebab bisa saja kami jadi korban hempasan bissuhu itu. Itu artinya riwayat kami akan berakhir, manfaat kami mendinginkan bumi, menahan longsoran, menebarkan oksigen, menawarkan kehidupan, menyimpan air akan berakhir.

Jika kami disuruh memilih, kami akan tetap bertumbuh, menyebarkan manfaat tanpa batas. Tapi, manusia tak pernah membiarkan kami memilih. Aku selalu ingat cerita Ibu, yang diceritakan turun temurun. Mereka semua dirampas manusia, tubuhnya dimutilasi. Tak sedikit yang berakhir di tungku perapian.

Ketika lelaki itu pulang kemarin tanpa menyakitiku. Hanya menatapku penuh kagum dan mengelusku saja. Aku sangat bahagia. Aku mengundang angin menggoyangkan tubuhku. Aku menari.

KLIK INI:  Cerita Warga Berdaya dan Kota yang Anti Ketahanan Lingkungan
Rakus tak pernah puasa

Tak ada kebahagian yang abadi. Tak ada pula yang bertahan lama. Kebahagiaan akan segera bertukar tempat dengan kesedihan. Begitupun sebaliknya.

Seperti halnya ketika lelaki itu pulang kemarin. Aku sangat bahagia, kesedihanku menguar lalu hilang di angkasa.

Saat bahagia mengepungku. Kesedihan menghinggapi entah siapa.  Dan hari ini, ketika lelaki itu datang, dengan masih mengenakan baju partai berwarna biru berpadu putih, dengan kapak di tangannya, dan parang panjang di pinggangnya seperti kemarin.

Dengan tatapan kagum seperti kemarin pula, yang membuat mataku menggerimis haru, yang kemudian menanakku dalam kesedihan. Hari ini, aku jauh lebih kacau.

Lelaki itu, aku tahu adalah anak dari Patabbang, lelaki yang merampasku dari Ibu, lalu disandingkan dengan pohon mangga yang setia melindungiku mengelus tubuhku, tubuhku bergetar hebat karena rasa takut.

“Kamu kenapa bergetar, Sureng?” Tanya pohon mangga itu lagi seperti kemarin. Aku diam saja. Tak ingin menyebar kecemasan kepadanya.

KLIK INI:  Pintu dari Babatan Hutan

Getaranku dirasakan pohon langsat, pohon kopi,  bahkan pohon manggis yang berdiri cukup jauh dariku.

“Kenapa kamu bergetar, Sureng?” Tanya mereka serentak.

Aku diam saja. Tak ingin mereka terteror oleh ketakutanku. Tatapan benci terlihat dari mereka kepada lelaki yang memakai baju partai itu.

Mereka hendak mengeroyok lelaki itu, namun begitu kapaknya menghantam tubuhku. Mereka hanya terpaku. Kecemasan dan kesedihan tanak di matanya.

Kapak lelaki itu terus saja menghantam tubuhku, mataku tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Aku tetiba lupa cara menangis.  Angin datang membelai tubuhku, menghiburku. Lalu mendorongku dengan kencang.

Tubuhku yang telah meluka, terhempas menerpa pohon kopi, pisang, langsat, dan semut-semut yang berumah di tubuhku ikut terhempas.

Aku menatap pohon manga itu, ingin mengucapkan dua kata padanya, bahwa aku men……., tapi aku terkulai tanpa tenaga. Kulihat pohon-pohon yang lain tetiba saja matanya ditumbuhi gerimis. Kesedihan merebak di antara kami

Aku lihat pohon mangga itu menangis sejadi-jadinya memanggil namaku, Sureng, Sureng,Sureng. Air matanya tumpah. Dan untuk pertama kalinya aku ingin pohon mangga itu memanggil namaku dengan benar, Suren.

Iya, namaku Suren, tapi aku berada di sebuah kampong yang masyarakatnya susah berhenti di konsonan N, maka namaku ditambah konsonan G, jadinya Sureng. Aku berasal dari keluarga Meliaceae.

Lelaki berbaju partai itu tersenyum setelah aku terhempas. Pengecut sekali.

Kindang, Agustus 2022

KLIK INI:  Dari Pohon Enau Itu