Pohon Kehidupan

oleh -156 kali dilihat
Pohon Kenangan Ibu
Ilustrasi pohon/foto-lovepik
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Kakiku basah oleh air mataku sendiri. Aku berjalan sambil menunduk. Aku tak bisa menahan sedih karena harus ditetak pisah.

Umurku saat itu baru lima tahun satu bulan dua puluh empat hari. Masih terlalu bocah untuk merangkum semua kenangan, semua peristiwa yang merasuk ke kepalaku.

Aku ingat, saat itu, ketika sore, tubuhku panas dan dianggap biasa saja oleh kedua orang tuaku. Aku memang terbiasa sakit, yang membuat panik semua orang.

Saat diperiksa, dokter menemukan kelainan salah satu saraf di kepalaku bermasalah. Membuatku mudah sakit serupa orang epilepsi. Bahkan dokter menvonis, jika penyakitku tak segera diobati.

KLIK INI:  Mata Kunang-kunang

Penyakit itu akan ikut tumbuh berumah dalam diriku. Dan itu akan merampas segala senyumku. Menciptakan ketakukan bagi orang yang mencintaiku dan membuka pintu bagi yang tak menyukai hadirku dengan celaan.

Pada hari Rabu sore, aku melihat dua orang yang entah berjenis kelamin apa berkunjung ke rumah. Mereka menatapku penuh cinta. Wajah keduanya teduh dan aku segara ingin ikut kepada mereka.

Malam di malam Kamis. Ketika orang tuaku telah pulas. Kedua orang itu datang lagi, entah lewat mana. Sebab semuaa pintu telah tertutup.

Keduanya mengajakku bermain. Menghadiahi kupu-kupu entah dari taman mana. Naluri bocahku buncah. Aku ingin memiliki kupu-kupu itu. Kupu-kupu yang tak pernah kutemui sebelumnya. Sayapnya sangat indah dengan kepakan yang lembut.

“Sabar, tak lama lagi kamu akan sampai ke taman kupu-kupu ini berasal. Besok, sebelum malam berakhir aku akan datang menjemputmu,” ujar salah satu dari mereka. Dan itu buatku tak bisa lena hingga pagi.

Pagi harinya, setelah Ibu menyiapkan susu. Aku membaringkan tubuh lemasku di pangkuan Ayah di depan TV sambil menikmati acara kesukaanku—film kartun. Karena kurang tidur, kepalaku berat dan  perut terasa koyak. Muntahku berhamburan memenuhi karpet. Aku langsung ambruk tak sadarkan diri. Dan dua orang itu datang lagi membawakan lebih banyak kupu-kupu. Maka aku memilih tak bangun.

KLIK INI:  Sebatang Pohon Mata

Kudengar Ibu menangis panik. Wajah Ibu pasti kusut, kecantikannya pasti dirampas kesedihan. Aku ingin mengatakan padanya, tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Tapi suaraku tak bisa keluar, napasku berat dan kupu-kupu kian banyak mengitariku, seakan mereka datang menjemput menuju taman yang dijanjikan dua orang yang entah berjenis kelamin apa itu.

“Laoni, sadar, Nak!” Ucap ayah di telingaku. Aku hanya menggeliat. Suara tangisan Ibu kian jadi. Suara parau Ayah di telingaku kian tercekik.

Aku tahu mereka sedih tapi tak bisa kutolong. Aku lebih tergoda oleh kupu-kupu yang ditawarkan lelaki tersebut, dan kontrak dengan Berhendak tak bisa aku abaikan—tak ada yang bisa menolak kontrak itu, semuanya tertata rapi pada sebuah pohon. Pohon kehidupan.

Semua nama ada di sana. Menggantung, menunggu gilirannya gugur. Saat namanya gugur, Asa dan Parana akan datang menjemput—keduanya pula yang datang menjemputku.

Namaku, ada di sana. Pada pohon kehidupan itu. Hanya tertahan sedikit—hampir luruh ke atas hamparan rumpuk hijau—serupa lapangan bola, tapi dipaluti cahaya dan tarian kupu-kupu.

Namaku, sedikit saja tertiup angin pasti langsung gugur. Tapi di taman itu, tak ada angin, yang ada hawa sejuk yang nyaman. Aku betah dan tak ingin pulang. Tiga percikan air ke wajahku tak membuatku sadar. Jiwaku tertahan pada taman itu.

Dengan kepanikan yang buncah, Ayah membawaku ke Puskesmas Kecamatan. Hanya saja aku tak merasakannya, tapi aku melihat langsung bagaimana Ayah panik dengan mata memerah menahan air mata yang pada akhirnya mengalah dan membuncah keluar. Menganak sungai di pipinya.

KLIK INI:  Mengenang Ajip Rosidi dalam 9 Puisinya yang Bercerita tentang Alam

Aku tak pernah melihat Ayah menangis secekam itu. Aku belum pernah menyaksikan Ibu menanak  kesedihannya sedalam itu. Tak pernah.

Aroma bunga-bunga

Sekarang aku sedang duduk di sebuah taman dengan percik gerimis yang indah. Aroma bunga dari tetumbuhan yang tak pernah kutemui sebelumnya memanja di hidungku.

Aku suka ke taman ini, yang dihampari bebungaan sejauh mana pandangan diedarkan. Sungai-sungai mengalirkan air  yang jernih. Aku bahkan dapat melihat tahi lalat kecil di daguku ketika bercermin di air itu.

Tak ada serakan sampah di taman ini. Tak ada. Tak ada bau menyengat. Tak ada, yang ada hanya keindahan.

Aku suka memanja di taman ini. Mengenang masa singkatku bersama kedua orang tuaku yang penuh cinta merawatku. Tapi mereka tak tahu, bahwa aku telah mengikat kontrak dengan Berghendak perihal kehidupan yang awet.

Orang tuaku memberiku nama Laoni. Aku suka nama itu, lembut dan lucu. Tak ada yang salah mengucapkan namaku. Bahkan, seorang lelaki tua yang kemudian kupanggil kakek mudah mengeluarkan namaku dari celah gigi palsunya.

Laoni, sebuah nama yang dirangkai dari cinta dan doa-doa, dari darah seekor sapi jantan yang di sembeli sambil membaca namaku.

Nama itu, tanpa embel-embel tambahan nama lain, hanya Laoni saja—tak lebih. Orang tuaku tak suka kerumitan yang menyebabkan mudah dilupa.

KLIK INI:  Kopi Hilang di Meja Warkop
Tiada jalan pulang

Sekarang aku tak punya jalan pulang pada orang tuaku—pertemuan sebuah pertemuan. Ada sekat yang sebenarnya sangat tipis, tapi juga sangat tebal, antara aku dan mereka. ibuku. Namun, semua ingatan selama lima tahun satu bulan dua puluh empat hari itu menjadi kenangan yang terus menggerimis di kepalaku.

Aku tak pernah tahu, bagaimana bocah sekecil diriku bisa mengingat semua itu. Sepertinya di tempatku sekarang, yang tak kasat mata. Tak pernah ada kata lupa.

Kenangan itu menjadi sebuah titik besar yang entah bagaimana aku bisa mengingat dan merasakannya semua di sini. Di taman tanpa sampah ini.

Bukan hanya aku, tapi semua orang mengalaminya, tempat ini adalah tempat yang luasnya tak pernah dijumpai ujungnya. Kami, yang ada di sini bukan tanpa pilihan. Kami adalah orang-orang pilihan yang disayang Berhendak.

“Laoni, rupanya kamu di sini,” sapa Rifana lembut. Aku dan Rifana hampir bersamaan sampai di tempat ini, di Istana Berhendak. Ia lebih cepat tiga menit dariku. Ia menatapku penuh persahabatan saat kami pertama kali bertemu.

Tidak muda hingga bisa sampai ke Istana Cahaya ini, tempat berhendak bertahta. Banyak rintangannya. Semua penghuni, yang belum tanggal gigi susunya harus melewati ujian selama empat puluh hari, tanpa apa-apa, tak ada petunjuk. Dan bagi yang telah tanggal gigi susunya lebih rumit lagi. Harus melalui serangkaian pemeriksaan yang tak bisa dikelabui dengan sogok atau tipu.

KLIK INI:  Segala yang Hanyut ke Laut
Mengarungi sedih

Rifana mengajakku ke tepi langit. Ia menunjukkan sesuatu. Aku ingat, itu tempat ibu dan ayahku. Aku melihat Asa dan Parana ada di sana.

Di tempat orang tuaku itu. Dulu, penuh pepohonan. Hujan datang dengan sangat lembut. Namun, apa yang kulihat sekarang terasa menyesakkan. Pepohonan telah menghilang. Bahkan pohon depan rumah juga telah berganti kios. Tempat ibu berjualan.

Dari tepi langit, aku lihat kampung ibu dikepung hujan. lalu tanah bergerak. Air datang menyapu apa saja. Kios ibu ikut terseret.

“Kenapa bisa begitu?” Tanyaku pada Rifana.

“Itu karena ulah mereka, para manusia yang tak menyayangi Bumi. Mereka terlalu rakus meghabisi pepohonan, mengeruk isi perut bumi. Menimbuni Bumi dengan sampah,” jawab Rifana. Aku menatapnya nanar.

Kulihat Asa dan Parana sibuk menjemput orang-orang di kampung orang tuaku. Aku berlari ke pohon kehidupan itu. Mencari nama ibu dan ayahku. Apa telah gugur atau masih kokoh.

Aku temukan nama keduanya sedang melambai-lambai ke arahku. Tetiba mataku menggerimis. Aku berada di gerbang antara, antara haru dan sedih.

KLIK INI:  Air Hilang dalam Hujan