Air Hilang dalam Hujan

oleh -64 kali dilihat
Ilustrasi-hujan
foto-etsy.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Pernikahan Gerimis

 

“Kau masih suka gerimis?” tanyaku. Kau hentikan seruputan kopimu. Tatapanmu mengarah ke mataku. Tatapan yang pernah begitu akrab dan menyeret banyak cerita.

Kau tak langsung menjawab pertanyaanku itu. Kau mainkan gelas kopimu, yang isinya tinggal setengah.

“Tak pernah luntur,” jawabmu akhirnya. Jawaban yang masih sama, masih puitis.

“Syukurlah,” balasku kikuk.

Aku ingin bertanya, kapan terakhir kau menikmati gerimis dan dengan siapa?  Pertanyaan itu tak sampai padamu. Bertahan saja di kepalaku jadi busa sabun.

Sudah empat bulan ini tak ada mendung. Tak ada gerimis. Tentu saja kau tak bisa menikmatinya. Lagi pula kau sudah cukup tua untuk bermain gerimis, hehehe.

“Aku akan memotong ayam putih jika gerimis turun. Rinduku telah amat tanak untuk menikmatinya,” katamu.

Tercengang aku mendengarnya. Usia tak pernah merampas kesukaanmu pada gerimis, rupanya. Dan ee kenapa harus ayam putih, kenapa bukan….?

“Dan kau harus berjanji akan membakar ayam yang kupotong, rindu benar aku dengan sambel petai buatanmu,” katamu lagi.

Aku hanya diam. Namun mataku mengarah ke matamu. Aku mencari sisa gerimis di sana. Tak ada. Gerimis disapu kemarau.

“Kenapa belum menikah?” tanyaku tiba-tiba.

Aku pikir kau akan tersinggung. Rupanya tidak. Kau hanya tersenyum.

“Saat gerimis tak lagi alpa bertandang membasahi rambutmu,” jawabmu.

Wajahku terasa kemarau.

2023

KLIK INI:  Upaya TN Kayan Mentarang Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitarnya

Pohon-Pohon Berjanggut

 

Bagi lelaki tua berjanggut 99 helai itu. Berkunjung ke hutan adalah ritus bulanannya. Setiap bulan, sehelai janggotnya akan tercabut.

Bila ada yang tercabut. Ia akan membungkusnya dengan daun inrallang, lalu membawanya ke hutan. Menyelipkan janggutnya tersebut ke akar atau ke batang kayu.

 

Inrallang adalah jenis tumbuhan menyerupai nilam. Dulu sering dijadikan sabun pakaian sekaligus pengharum pakaian.

Jenggutnya lelaki itu dulu sangat lebat, namun seiring usianya, saat ini tersisa hanya 99 helai saja. Itu artinya ia masih akan ke hutan sebanyak 99 kali. Jumlah yang masih cukup banyak.

“Saya masih akan ke hutan sebanyak 99 kali,” katanya.

“Kenapa tidak dicukupkan 100?” tanyaku.

“Saya hanya mengikuti jumlah janggutku, saat ini tersisa 99 helai saja, setiap bulan akan tercabut satu helai dan saya akan menyimpannya pada pohon-pohon yang ada di hutan,” terangnya dengan mata binar bahagia. Ada bayangan gerimis pada matanya itu.

“Kenapa harus di hutan, kan bisa dibuang di mana saja,”

“Saya hanya mengikuti tradisi keluarga, di keluarga kami, anak lelaki tertua harus melakukannya,”

“Tapi kenapa, Puang,”

“Itu cara keluarga kami menjaga dan merawat hutan, kami menganggap hutan adalah keluarga,”

Aku menatap wajah Puang Carita, satu helai janggutnya yang telah memutih tercabut. Matanya berbinar, yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ia bergegas ke halaman rumahnya memetik tiga lembar daun inrallang. Lalu ia membungkus janggutnya itu.

Setelahnya, ia berjalan perlahan menuju hutan.

“Bulan depan, datang lagi jika ingin ikut ke hutan,” katanya. Lalu ia melanjutkan langkahnya hingga ke jauh menuju hutan, menuju keluarganya yang lain.

“Jika kamu ke hutan dan melihat lumut bergelantungan di pepohonan, jangan dicabut, itu jelmaan janggut kami sekeluarga,” teriaknya dari jauh.

Aku hanya mengangguk, anggukan yang tak lagi nampak di matanya.

2023

KLIK INI:  Menyongsong Kebangkitan Industri Perkayuan Nasional untuk Kesejahteraan Masyarakat

Air Hilang dalam Hujan

 

Air hilang bersama kemarau. Itu benar. Ketika musim hujan datang dan kemarau menghilang. Air juga ikut hilang. Itu keanehan yang maha nyata di kampung kami.

Padahal harusnya tak begitu kan? Mestinya air akan melimpah karena hujan telah datang, tapi nyatanya…. Aahh aneh sekali.

“Mungkin lammasai,” ujarku. Lammasa artinya merembes, tidak ke samping, tapi ke bawah—menyusup ke dalam tanah.

“Ini pertama kalinya begitu, air bersih semakin susah, sialnya sumur banyak telah ditimbun, sebagian berubah jadi empang,” kata Puang Kamilung dengan heran.

Ia tak jadi mengisap rokok yang dilintingnya sendiri, tatapannya tetiba saja terlihat kosong.

“Sejak musim hujan tiba, istriku harus mengangkat air untuk keperluan dapur. Untuk mencuci, mandi,  dan cebok, kami mengandalkan air hujan,” keluhnya

Itu rasanya masuk akal jika mengandalkan air hujan, yang tidak masuk akal karena bukan hanya sumber air bersih yang menghilang. Kemarin ketika aku ke kebun melintasi sungai B. Air sungai juga nyaris mengering.

Selokan yang mengairi sawah warga pun demikian. Anehnya, saat hujan tiba. Selokan akan penuh air, suara gemuruh air sungai akan sampai, bahkan ke dalam kamar.

Namun, saat hujan reda berubah gerimis. Air perlahan surut nyaris matti ‘tidak lagi mengalir’.

***

Saat kemarau, banyak warga membangun rumah kayu. Kayu-kayu itu dibawa dari hutan secara diam-diam.

Jalan setapak yang telah dicor menuju kebun semakin memudahkan akses masuk ke hutan, menebangi pohon-pohon penyimpan air.

Jika kamu berkunjung ke kampungku, ada lima hal bisa kamu temukan, hutan yang gundul, air yang semakin sulit didapat, rumah kayu yang indah, warga yang sibuk menggali sumur, dan mata yang menyimpan hujan kesedihan.

2023

KLIK INI:  Perempuan yang Berjalan di Gelombang