Tentang PCBs dan Upaya Indonesia dalam Mengatasinya

oleh -23 kali dilihat
Polychlorinated Biphenyls -foto/vtdigger

Klikhijau.com- Polychlorinated Biphenyls (PCBs). Teridentifikasi pertama kali pada abad ke-19. Pada tahun 1929 mulai produksi dalam skala industri oleh Perusahaan Swann Chemical di Anniston, AL. Pada tahun 1920-1980 PCBs mulai digunakan secara intensif

PCBs  adalah senyawa kimia organoklorin buatan manusia. Senyawa ini diidentifikasi berdampak buruk pada mahluk hidup dan lingkungan, senyawa ini tidak akan terbentuk secara alami kecuali saat terjadi kebakaran hutan, (Syofyan, 2021)

Dampak buruk PCBs lainnya terhadap kesehatan manusia, yakni dapat menimbulkan kanker, iritasi mata dan kulit.

PCBs adalah bahan yang diperoleh dari ekstrak tar batubara, produksi komersial PCBs dimulai setelah diketahuinya sejumlah sifat bahan tersebut seperti stabilitas kimia, tidak mudah terbakar, tahan panas, dan isolasi listrik.

KLIK INI:  Bagaimana Bisa Penelitian Kesehatan Berkontribusi Terhadap Krisis Iklim?

Polychlorinated Biphenyls digunakan sebagai cairan dielektrik pada kapasitor dan transformator listrik, PCBs juga digunakan sebagai perekat, cairan hidrolik, cairan hidrolik, dempul, plastik, kertas bebas karbon, minyak pelumas, dan finishing lantai namun dalam jumlah yang lebih sedikit.

PCBs termasuk salah satu senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs). POPs sendiri secara global produksi, distribusi, dan penggunaannya telah dilarang.

Pelarangan itu karena senyawa ini sangat berbahaya dan beracun, tidak mudah terurai di lingkungan (persisten) serta menumpuk di dalam jaringan lemak makhluk hidup (bioakumulatif) melalui rantai makanan.

Salah satu bukti bahaya PCBs adalah dalam kasus Kanemi Yusho. Kasus jadi perhatian publik karena adanya keracunan massal di utara Kyushu, Jepang. Penyebabnya adalah PCBs

Tumindi, (2021) menjelaskan bahwa pada tahun 1968 bulan Januari, minyak dedak padi diproduksi oleh Perusahaan Kanemi di Kyushu terkontaminasi dengan PCBs dan polychlorinated dibenzofurans (PCDFs) selama produksi.

KLIK INI:  Si Kecil Pembawa Petaka yang Bernama Puntung

Untuk menghilangkan bau pada minyak. Minyak dipanaskan menggunakan PCBs sebagai media pemanas, disirkulasikan melalui pipa.  PCBs larut dalam minyak, karena lubang di pipa, PCBs bocor ke dalam minyak dedak padi.

Minyak dedak padi yang terkontaminasi kemudian dijual ke peternak unggas untuk digunakan sebagai suplemen pakan dan konsumen untuk digunakan dalam memasak, dengan mengkonsumsi kandungan PCBs ini menyebabkan penumpukan lemak dalam tubuh, menimbulkan berbagai gejala.

Kasus pencemaran makanan ini menyebar ke seluruh Jepang Barat pada Oktober 1968, kepada masyarakat yang mengambil minyak dedak padi yang terkontaminasi PCBs yang digunakan sebagai media panas untuk proses penghilang bau.

Jumlah korban dalam kasus tersebut mencapai lebih dari 13.000. Secara umum gejala keracunan PCBs adalah lendir mata, pigmentasi pada kuku dan selaput lendir mulut, eksim hitam, perubahan bentuk kuku, serta pembengkakan kelopak mata dan persendian.

KLIK INI:  Meresepi Manfaat Olahan Kakao dan Cokelat untuk Kesehatan

Tumindi, (2021) juga menjelaskan bahwa PCBs merupakan limbah historis karena penggunaannya pada masa lalu.

Di Indonesia produksi PCBs sudah dilarang. Tidak lagi diproduksi sejak tahun 1982, namun PCBs masih banyak ditemukan pada peralatan-peralatan elektrik yang masih beroperasional namun memiliki umur pakai terbatas.

  Upaya Indonesia menekan PCBs

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten).

Hasil penelitia menunjukkan bahwa kontaminasi PCBs telah menyebar di Indonesia dengan adanya konsentrasi PCBs di lingkungan dan manusia, beberapa produk makanan seperti beras, ayam, kerang hijau, dan makanan laut lainnya juga dilaporkan mengandung PCBs.

Loganathan & Masunaga, (2020) menerangkan jika PCBs merupakan molekul stabil yang tahan terhadap hidrolisis, oksidasi, dan perubahan suhu.

KLIK INI:  Yayasan Madani: Mitigasi dan Antisipasi Kebakaran Hutan Harus Diperkuat!

PCBs tidak mudah larut dalam air tetapi larut dalam lemak, sehingga mudah terakumulasi dalam jaringan lemak hewani dan dapat diturunkan ke generasi berikutnya melalui plasenta atau ASI.

Keberadaan PCBs sulit dibatasi sebab merupakan polutan lintas batas. Ia dapat bertransportasi secara global melalui media lingkungan, baik di udara, air, atau spesies hewan, melewati batas negara (Silvani et al., 2019)

Manusia dan mahluk hidup lain dapat terpapar PCBs melalui makanan, minuman, udara, tanah, dan air yang terkontaminasi (Ilyas et al., 2011)

KLIK INI:  9 Komponen Kunci dari Makanan Berkelanjutan

Indonesia, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Stockholm pada tahun 2009, telah mengambil langkah signifikan dengan menetapkan batas waktu identifikasi sumber PCB pada akhir tahun 2022, menghentikan penggunaan peralatan yang mengandung PCB dan terkontaminasi PCB pada akhir tahun 2025, dan menetapkan periode pemusnahan sampah hingga akhir tahun 2028.

Salah satu upaya itu adalah tercapainya target Indonesia bebas PCBs tahun 2028, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan penanggung jawab teknis di Direktorat Pengelolaan B3 bersama United Nation Industrial Development Organization (UNIDO) dengan pendanaan dari Global Environment Facility (GEF) melakukan proyek kerja sama teknis dengan judul “Introduction of an Environmentally Sound Management and Disposal Systems for PCBs”

“Hari ini sejak penandatanganan Konvensi Stockholm 22 tahun lalu, KLHK tetap berkomitmen kuat Indonesia dalam mendukung pencapaian target global pemusnahan PCBs pada akhir tahun 2028 dan sedang berproses dalam mengintegrasikan dan mengimplementasikan melalui penguatan mekanisme nasional terkait pengawasan kinerja pengelolaan lingkungan melalui mekanisme PROPER,” ungkap Rosa Vivien Ratnawati belum lama ini.

KLHK melalui Dirjen PSLB3 telah melakukan kegiatan inventarisasi PCB melalui proyek PCB antara tahun 2016 hingga 2019, dan hasilnya menunjukkan terdapat potensi senyawa PCB menyebabkan pencemaran lingkungan.

KLIK INI:  PT KS Dihukum atas Kebakaran Lahan Ribuan Hektare di Kalteng

Berat total bahan PCB yang terkontaminasi di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 240.000 ton. Data tersebut memperjelas bahwa pengelolaan PCB di Indonesia menghadapi serangkaian tantangan yang harus kita hadapi bersama.

Hasil lain dari proyek ini adalah diundangkannya Peraturan Pemerintah Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 29 Tahun 2020 tentang pengelolaan PCB dan pembangunan fasilitas pengolahan PCB dengan metode non-termal di Indonesia, yang saat ini dipasang di lokasi milik PT Prasadha Pamunah Limbah Industri. (PPLi).

Fasilitas ini merupakan fasilitas pengolahan limbah PCB non-termal pertama dan satu-satunya. Ini milik Indonesia dan merupakan penerapan teknologi ramah lingkungan (clean technology) yang mampu menurunkan konsentrasi PCB pada minyak dielektrik hingga di bawah 2 ppm sehingga dapat digunakan kembali dan dapat membersihkan kontaminasi PCB pada material padat seperti casing trafo.

KLIK INI:  Semangka, Buah Pelepas Dahaga yang Kaya Manfaat bagi Kesehatan