Klikhijau.com – Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan agar pemerintah dan semua pihak dapat memperkuat mitigasi dan antisipasi kebakaran hutan.
Hal itu disampaikan dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang digelar Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari, Kamis, 24 September 2020.
Analisa dari MADANI Berkelanjutan menunjukkan bahwa terjadi perluasan Area Potensi Terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus.
Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.
Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya.
Perkuat mitigasi kebakaran hutan
Data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari.
Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.
Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng.
Hal itu karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.
“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar,” jelas Teguh Surya.
Menurut Teguh Surya, ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di sutu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut.
Oleh sebab itu, lanjutnya, diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla.
Kebakaran hutan dan RUU Cipta Kerja
Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat.
RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
Dalam kajian MADANI, hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau.
Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi.
Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya.
Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita.
Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, kata Teguh, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi.
“Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat,” pungkas Teguh.