Mengenang Sastrawan Abdul Hadi WM Melalui 5 Puisinya yang Beraroma Alam

oleh -56 kali dilihat
Abdul Hadi WM-foto/Alif.id

Klikhijau.com –  Prof Dr Abdul Hadi Wiji Muthari atau lebih dikenal dengan nama Abdul Hadi W.M. Lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tanggal 24 Juni 1946. Ia dikenal sebagai  sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat.

Pada hari Jumat, 19 Januari 2024 Abdul Hadi mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Gatot Soebroto, DKI Jakarta

Semasa hidupnya, Abdul Hadi telah menulis beberapa buku puisi, diantaranya Laut Belum Pasang (Litera, 1971), Cermin (Budaya Jaya, 1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, 1975), Meditasi (Budaya Jaya, 1976), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, 1977), Anak Laut Anak Angin (1984), dan Pembawa Matahari (Bentang, 2002)

Selain menulis buku puisi, Abdul Hadi juga menulis buku terjemahan dan esai. Khusus dalam puisi-puisinya, kita dengan mudah menemukan puisi yang beraroma alam, berikut 5 di antaranya:

KLIK INI:  Tak Ada Sesiapa di Perut Ikan

Bunga Gugur

 

Gerimis pecah berderai
seperti airmataku
Bunga lepas dari tangkai
gugur dan layu

Di ufuk barat
matahari mulai terbenam
langit akan gelap
dan sebentar lagi malam

Di udara kudengar
jerit pilu perpisahan
dari seekor burung
ketika si jantan gugur dan jatuh
terkena letusan senapan.

KLIK INI:  Cerita Warga Berdaya dan Kota yang Anti Ketahanan Lingkungan

Laut

 

Dan aku pun memandang ke laut yang bangkit ke arahku
selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-buncah
dan selamat pagi laut kataku pula, siapa bersamamu menyanyi setiap malam
menyanyikan yang tak ada atau pagi atau senja? atau kata-kata
laut menyanyi lagi, laut mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan
selamat pagi laut kataku dan laut pun tersenyum, selamat pagi katanya
suaranya kedengaran seperti angin yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun
dan di atas sana hanya bayang-bayang dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan
dan alun yang berbincang-bincang dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang
dan burung-burung bebas itu di udara bagai pandang asing kami yang lupa
selamat pagi laut kataku dan selamat pagi katanya tertawa-tawa
kemudian bagai sepasang kakek dan nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam
kami pun diam oleh tulang belulang kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam menerkam
kalau maut suatu kali mau mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami
atau bisikan ini yang senantiasa merisaukan engkau: siapakah di antara kami
yang paling luas dan dalam, air kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam menyelam?
Tapi laut selalu setia tak pernah bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku
laut melemparkan aku ke pantai dan aku melemparkan laut ke batu-batu karang
andai di sana ada perempuan telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang
laut tertawa padaku, selamat malam katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam kataku
dan atas selamat malam kami langit tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja
begitulah tak ada sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya

1973

KLIK INI:  Kopi Hilang di Meja Warkop

Lagu dalam Hujan

 

Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung

Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca

Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata

Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas

Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api

1970

KLIK INI:  Memeluk Bumi di Sebatang Porang

La Condition Humaine

 

Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
— tidak berbuah tidak berdaun –
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya

Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak

1975

Mengail di Kali

 

Di kali kecil
keruh karena sampah dan kotoran
ikan-ikan tinggal sedikit
dan payah berkembang biak
karena beribu penyakit

Tapi kita masih mengail di sana
Kita masih ingin mendapatkan ikan
ingin memakan dan menghabiskan mereka
hingga musnah semuanya

Mengapa tidak kita pikirkan:
bersihkan kali, jangan buang sampah
dan kotoran semaunya
biar ikan-ikan hidup
dan berkembang biak
seperti sedia kala.

KLIK INI:  Meribang Sawah

Dari berbagai sumber