Meribang Sawah

oleh -355 kali dilihat
Lukisan sawah-/foto-ndahsekalipemandangan
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Hatinya ditumbuhi duri-duri, menusuk-nusuk tidak berjeda. Pikirannya bercabang, dari cabang itu tumbuh tunas yang mengakar kuat mengusiknya. Tidak ada seutas benang bisa ia tarik—apa penyebab ia bisa begitu. Yang paling mungkin adalah ia merasa sendiri. Tapi, kesendirian harusnya membuatnya damai di tengah riuh cemas yang memekikkan telinga—mendenyutkan kepala.

Lelap telah lama menyingkir dari matanya. Jika pun tidur, hanya sejenak kemudian terbangun tengah malam. Menyerapi segala sepinya. Di seputaran matanya telah tampak kehitaman, bertengger dengan manja. Tubuhnya kian kurus, tulang di dadanya tampak menonjol. Matanya menukik ke dalam. Wajahnya kusut. Konsentrasinya lebih banyak pecah. Tubuhnya ringkih—lemah lunglai.

“Jika dua malam ke depan aku tidak bisa tidur, aku akan pulang kampung, ke kampung orang tuaku,” pikirnya. Ia menganggap kampung bisa membuatnya lelap, membikin hatinya teduh.

“Kampung, hahhahahhaa.” Ia tertawa ketika dalam rencananya menyebut nama “kampung”—sesuatu yang asing baginya. Ia lahir di rantauan yang terpaksa. Ada satu kisah menimpa orang tuanya, yang rasanya malu jika  harus dibeberkan. Itu aib kecil yang berusaha ditimbunnya sedalam mungkin. Serapat yang ia bisa.

KLIK INI:  Kisah Perjuangan Perempuan Penyelamat Sawah Terakhir di Paddinging
*****

Saat terbangun tengah malam atau tidak bisa tidur. Hal yang paling diingatnya adalah cerita ayahnya perihal pertemuan dengan ibunya, dan juga sawah. Sawah telah jadi kenangan tersendiri bersama ayahnya yang terus basah. Ya, ayahnya sering, sangat sering bercerita tentang sawah kepadanya, hingga  lahirkan rasa penasaran meluap penuhi pikirannya. Ia hanya bisa melihat sawah melalui foto, tapi itu tidak cukup, ia ingin rasakan berjalan di pematangnya. Menjagai burung pipit yang menjadi hama  menakutkan petani jelang panen atau merasakan bau lumpurnya,  yang menurut ayahnya—baunya melenakan.

“Sepulang dari sawah, di awal malam. Ayah melihat ibumu di jendela rumahnya. Ayah belum pernah seberdebar saat ibumu menatap ayah sambil tersenyum. Berhari-hari ayah susah tidur memikirkannya.”

“Ayah takut sama perempuan?” ledeknya

“Bukan takut, tidak ada lelaki yang layak takut pada perempuan, sebab perempuan bukan untuk ditakuti, tapi untuk dicintai dan dilindungi.”

“Terus, kenapa ayah berdebar?”

“Kedudukan ayah tidak mungkin menjangkau ibumu. Di kampung, sitinaja ‘pantas, patut’  dijunjung tinggi, ada adat sitinaja harus dipikirkan jika ingin bertindak, termasuk dalam hal asmara. Tapi, tidak ada yang bisa memilih kepada siapa ia jatuh cinta,” terang Ayah.

“Maksud ayah, Ibu terlalu tinggi. Ibu kan lebih pendek dari ayah.”

“Ibumu adalah karaeng ‘bangsawan’, sementara ayah hanya rakyat biasa, dianggap tidak sitinaja  memperistri ibumu yang karaeng. Pernah ada pemuda yang menjalin hubungan dengan anak karaeng. Ia dikepung oleh keluarga kareang pada subuh buta. Untung saja pemuda tersebut melarikan diri lebih cepat ke provinsi lain. Jika tidak, ia pasti mati subuh itu.”

Ayahnya adalah pecinta sejati yang tidak gentar rintangan. Ia membawa lari perempuan yang dilihatnya di jendela sepulang dari sawah itu.  Kepergian gadis  karaeng tersebut membuat warga gempar. Namun, tidak ada yang curiga jika ayahnya adalah pelakunya.

“Ketika usiamu dua puluh lima tahun, kau harus pulang kampung. Kepala boleh rantau, tapi hati tetap kampung halaman. Kau harus mencari istri di kampung kita,” terang ayahnya. Dan itu masih membekas hingga kini.

KLIK INI:  Hujan yang Berhenti di Bibirmu
*****

Matahari bergeser ke barat. Pekat mulai merayapi bumi. Petir bersahutan,  hujan tumpah. Senja  hampir pamit, tapi Rukman tidak beranjak dari dangaunya. Ia tetap bertahan, rasa gentar terlihat di wajahnya—ia takut petir akan mengoyak tubuhnya.  Orang-orang di kampungnya percaya jika petir menyukai air dan akan menyambar orang yang ada di dekat air, misalnya sawah. Tapi, ia juga tidak mau ambil risiko dengan menerabas hujan yang akan membuatnya jatuh sakit. Maka, ia memutuskan menunggu hujan deras berhenti—beralih gerimis.

Berbatang-batang rokok tembakau yang di-guser (gulung sendiri) ia habiskan. Jika saja tidak hujan, dua petak sawahnya yang belum dicangkul mungkin saja selesai hari itu. Kemudian memasuki tahap berikutnya—appakaeso ‘meratakan sisa cangkulan agar bisa ditanami’. Semuanya dilakukan manual. Traktor belum ada saat itu, masih menjadi barang mewah bagi petani. Ia juga tidak memiliki sapi atau kerbau untuk membajak sawah. Keterbatasan itu tidak dijadikannya alasan untuk malas. Ke sawah  baginya adalah hiburan. Seperti ia sedang berlibur—barangkali.

Hujan tidak reda hingga sore. Sebagai lelaki yang telah memasuki usia nikah. Ia kerap diusili kerinduan kepada perempuan. Perawakannya yang gagah untuk ukuran lelaki di kampungnya tidak membuatnya sulit menaklukkan perempuan. Tapi, ia tidak mempunyai keberanian bertatapan dengan lawan jenisnya. Kerinduan itu ia pendam. Ia ingin serahkan urusan pernikahannya nanti kepada orang tuanya. Ia akan berlapang dada perempuan mana yang dipilih ayah-ibunya kelak. Itu cara pengabdian dan terima kasihnya yang sederhana kepada  orang tuanya.

Sekumpulan burung pipit mengusiknya. Burung pipit itu bergerombol mencari makan di jerami, tidak jauh dari dangaunya. Jelang malam,  burung pipit akan keluar mencari makan. Dan ia telah menunggu dengan debar, sebab dijerami itu ia tannang sikko’ ‘memasang perangkap’. Burung pipit yang berhasil ditangkap akan dipelihara di rumahnya. Itu salah satu hiburan dari rasa capeknya.

Berhentinya hujan menandai ia akan segera meninggalkan dangaunya. Biasanya ia telah berada di rumah sebelum magrib. Tapi, hari itu hujan menderas hingga ia terlambat pulang. Ia harus memutar jalan lebih jauh. Ia takut lewat jalan biasa jika sudah gelap, sebab ada kuburan karrasa ‘keramat’ harus dilewati—konon orang yang dikuburkan di sana adalah orang yang mati terbunuh.

Dengan tergesa, ia mengambil cangkulnya kemudian meninggalkan dangaunya. Saat itu waktu mulai merapat ke dalam malam, ia memilih jalan lain, meski cukup berbahaya karena harus melewati sungai yang tentu airnya akan menderas seusai hujan. Jalanan itu jarang dilewati karena akan tembus tepat di samping rumah Karaeng Lamanang yang disegani dan memiliki tiga ekor anjing galak.

KLIK INI:  Benalu di Senja Hari
*****

Karaeng Lamanang memiliki seorang anak perempuan, namanya Suratmi, cantik dan berkulit bening. Tapi, tidak ada lelaki yang berani mendekatinya. Suratmi jarang bergaul. Tapi, meski ia beda dusun dengan Suratmi, tapi pesona kecantikannya menyebar jamur musim hujan. Kecantikan itu acap jadi perbincangannya sesama jejaka di kampungnya. Hanya dua atau tiga kali ia bertemu dengan Suratmi di pasar kecamatan, tapi tidak ada sapa. Suratmi tidak pernah lepas dari pengawalan ibunya atau kakak lelakinya atau sepupu-sepupunya.

Di malam yang masih belia itu, Suratmi sedang termenung di jendela kamarnya ketika Rukman lewat. Gonggongan tiga ekor anjing secara bersamaan mengagetkan Suratmi dari lamunannya. Ia melihat Rukman lari ketakutan dan memanjat pohon cengkeh yang licin secepat daun yang diseret balobo ‘air yang meluap karena hujan’ untuk menghindari gigitan anjing tersebut. Dari pohon cengkeh itulah, keduanya leluasa bertatapan.

“Kurang ajar, kau mau menggoda Ratmi?” Kareang Lamanang tanpa ia sadari telah berada di siring ‘kolong’ rumahnya dengan badik terhunus.

“Ti…ti..ti..tidak karaeng, saya hanya kebetulan lewat dan hampir digigit anjing-ta. Jadi saya lari dan memanjat.”

“Aaahhhh, alasan, kau memang kurang ajar. Ata ‘budak’ sepertimu tidak layak menatap anak karaeng.”

Kejadian memilukan hari itu membuatnya terbuang dari kelelakiannya. Ia diseret oleh Karaeng Lamanang hingga ke rumahnya.  Kedua orang tua Rukman disuruh mengajari anaknya sopan santun. Siri’-nya ‘harga diri’ terasa koyak, tercabik-cabik. Ia bertekad akan membalas Karaeng Lamanang lebih sadis dari yang dilakukan kepadanya. Janji itu melekat kuat di hatinya. Tidak pernah goyah.

Di rumah Karaeng Lamanang terdengar gempar. Suratmi memberontak. Ia tidak terima Rukman diperlakukan tidak manusiawi oleh ayahnya. Ia tiba-tiba benci status karaeng yang membuat sekat batas. Suratmi menangis sejadi-jadinya. Bayangan Rukman yang diperlakukan keji oleh ayahnya berlalu lintas di pelupuknya.

Dan segalanya terjadi begitu saja, dua minggu pasca kejadian itu. Keduanya bertemu di pasar  kecamatan dan memutuskan lari dari kampungnya—menuju tempat yang jauh, tempat yang tidak mungkin ditemukan. Dan di hari pasar berikutnya rencana itu mereka jalankan. Mereka silariang ‘kawin lari’. Tidak ada lagi jalan pulang ke kampungnya. Suratmi mendobrak tradisi keluarganya, tidak bersuamikan karaeng. Dan yang paling mungkin, ia akan dibuang dari keluarga besarnya. Baginya tidak masalah, ia telah berjuang mengikuti kata hatinya, dan juga membuktikan cinta serta rasa bersalahnya kepada Rukman.

KLIK INI:  Akar Leluhur
*****

“Dua puluh tiga tahun lalu, aku dan ibumu sampai di kota ini, dan tidak pernah pulang, tidak ada jalan pulang bagi ayah. Kau harus mengunjungi kampung kita. Kau akan melihat bagaimana sawah digarap, ditanami, dan dipanen.”

Umurnya saat ini masih dua puluh satu tahun, artinya ia harus menunggu empat tahun lagi untuk pulang ke kampung orang tuanya. Rasa penasarannya ingin melihat sawah telah membatu. Selama hidup, ia tidak pernah melihat sawah, itu misteri yang maha dalam, pekat.

Waktu berjalan dengan penuh pertanyaan. Bagaimana rupa sawah sesungguhnya. Bagaimana rasanya menggarap sawah, merasakan lumpurnya menyentuh kulit. Bagaimana menanam padi, bagaimana memanen. Ia hanya tahu rasanya beras yang telah menjadi bobboro ‘nasi dari beras’. Tidak pernah lebih.

Tapi, kenapa harus di usia 25 tahun baru bisa ke kampung ayah-ibunya? Tanya itu menggantung saja dalam benaknya. Ia mencoba berbaik sangka, mungkin saat itu orang tua Suratmi—kakeknya telah meninggal, pesona kareang  telah pudar, tidak mengakar kuat seperti dulu.

Waktu yang ditunggu lima tahun itu terasa sangat lama. Meski datangnya pasti dan ia telah mempersiapkan segalanya untuk pulang. Membawa segala rindu orang tuanya, membawa segala beban. Akankah ia diterima keluarga ibunya sebagai anak dari Suratmi atau ia akan dibunuh sebagai tumbal cinta terlarang kedua orang tuanya? Namun, tidak ada gentar di matanya, seperti ayahnya ketika silariang dulu.

“Kebenaran harus diungkap, sekalipun harus ada tumbalnya,” bujuknya pada diri sendiri.

*****

Ia jadi lelaki yang menepati janjinya, setelah tidak berhasil tidur selama dua malam. Ia benar-benar pulang ke kampung ayah-ibunya. Jelang senja yang gerimis, saat usianya dua puluh lima tahun sembilan hari atau tepat dua bulan kematian ayah-ibunya ia sampai ke kampung orang tuanya. Setelah bertanya dua tiga kali, ia akhirnya temukan rumah orang tua Rukman—kakeknya. Sayang,  rumah itu tidak lagi berpenghuni.

Konon,  setelah Karaeng Lamanang tahu yang  membawa lari Suratmi adalah Rukman. Orang  tua Rukman diusir paksa dari kampung. Dadanya sesak mendengar kabar tersebut.   Ia memutuskan ke kampung seberang  menemui orang tua ibunya. Tapi, sebelum ia ke sana. Ia ingin melihat sawah terlebih dahulu. Menunaikan rasa penasarannya yang gelitar. Menenangkan  degup jantung yang palpitasi. Tapi, apa yang ia cini’  ‘lihat’ tidak seperti  cerita ayahnya, jika di kampung ayahnya sawah berhektar-hektar luasnya.  Ia tidak temukan sawah, yang ia temukan hanya perumahan, mini market, dan gedung. Ia mengira ayahnya adalah pembohong.

Ribang dan penasarannya perihal sawah kian buncah…####

KLIK INI:  7 Puisi Tema Lingkungan dengan Metafora Terbaik dan Menyentuh